TUGAS REVIEW JURNAL
MATA KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN LANJUT
Assessment of Genetic Diversity in Colletotrichum falcatum Went
Accessions Based on RAPD and ISSR Markers
Accessions Based on RAPD and ISSR Markers
1.
Latar
Belakang
Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah hasil
pertanian yang penting di India yang produksinya tertinggi kedua setelah kapas.
Gujarat Selatan merupakan lokasi penghasil tebu dengan sebelas pabrik pengolah
tebu. Selain itu, Pabrik Bardoli yang terletak di Gujarat Selatan merupakan pabrik
pengolah tebu terbesar di Asia. Sebagai bahan baku industri, tebu diolah
menjadi gula pasir, gula merah tebu, bioetanol, molase, pakan ternak, dan sirup
(Patel et al., 2017).
Tebu sangat mudah rusak
oleh berbagai penyakit yang disebabkan virus, bakteri, maupun jamur. Jamur
merupakan penyebab penyakit terparah karena dapat menyerang semua bagian tebu. Jamur
tersebut dapat menyebabkan penyakit layu dan red rot. Red rot adalah penyakit
yang paling berbahaya yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum falcatum Went (telomorph, Glomerella tucumanensis). Infeksi patogen red rot menjadi sangat
berbahaya jika menyerang batang karena dapat menurunkan berat tebu hingga 29%
dan menurunkan kandungan gula hingga 31% (Afghan and Hussnain, 2006).
Metode karakterisasi genetik
yang selama ini digunakan tidak efisien. Hal ini karena C. falcatum cepat berevolusi, sangat bervariasi, dan mudah
beradaptasi setelah melalui seleksi alam. Karena itu diperlukan penanda
molekuler untuk mengkategorikan spesies Colletotrichum. Penanda molekuler
tersebut yaitu Random Amplified
Polymorphic DNA (RAPD) yang merupakan marker Polymerase Chain Reaction
(PCR) yang mengamplifikasi fragmen DNA
secara acak (Xue et al., 2010).
Inter-Simple Sequence Repeats (ISSR) merupakan marker PCR yang mengamplifikasi
genom diantara sequence SSR (Menzies et
al., 2003).
2.
Karakterisasi
Genetik Menggunakan Penanda Molekuler
Karakterisasi genotip adalah
karakterisasi dengan memperhatikan susunan gen atau DNA untuk mengetahui identitas
suatu spesies (Julisaniah et al.,
2008). Selain itu, karakterisasi genotip juga digunakan untuk pengelompokan
atau klaster (Fatchiyah et al., 2011). Karakteristik ini dapat
dievaluasi berdasarkan karakteristik agronomi, morfologi, sitologi, molekuler,
biokimia, fisiologis, dan lainnya. Karakterisasi dengan penanda molekuler dianggap
paling efisien dan reliabel jika dibandingkan dengan jenis karakterisasi
lainnya, karena memungkinkan pembedaan antara aksesi yang memiliki sifat
morfologi dan agronomis serupa (Gonçalves et
al., 2008). Selain itu, penanda molekuler efektif dalam analisis genetik
(Yunus, 2007) karena sifat genetik cenderung stabil pada perubahan lingkungan
dan tidak dipengaruhi oleh umur sehingga dapat memberikan informasi yang
relatif lebih akurat (Julisaniah et al.,
2008).
Seiring berkembangnya teknologi, terdapat
beberapa teknik evaluasi hubungan kekerabatan dengan penanda molekuler. Penanda
molekuler tersebut antara lain adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP), Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Simple
Sequence Repeat (SSR), dan Inter-Simple Sequence Repeats (ISSR). Dari beberapa pilihan penanda
molekuler tersebut, RAPD dan ISSR paling banyak dipilih untuk amplifikasi
menggunakan primer tunggal karena cepat, efektif, spesifik, mudah diulang, dan
reprodusibel (Menzies et al., 2003).
3.
Keunggulan
RAPD dan Penelitian Sebelumnya
RAPD dapat digunakan untuk analisa
varietas, studi keragaman antar spesies, dalam satu spesies dan antar populasi.
RAPD dapat mendeteksi sekuen nukleotida yang polimorfis dengan bantuan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) dan
sebuah primer tunggal (Xue et al., 2010). Teknik RAPD merupakan metode analisis pada tingkat
DNA yang menggunakan primer acak yang dapat digunakan untuk menetapkan hubungan
kekerabatan antar spesies tanaman (Arya et
al., 2011; Vural et al., 2009;
Das et al., 2009; Verma et al., 2009). Beberapa keunggulan RAPD yaitu
prosesnya cepat, biayanya rendah, tidak bergantung pada lingkungan, dan hanya
membutuhkan sejumlah kecil sampel (Verma et al., 2009).
Jika dibandingkan dengan RFLP, metode
RAPD lebih mudah dilakukan, cepat, memerlukan lebih sedikit template DNA, dan tidak memerlukan
informasi awal genom target. Selain itu, RAPD dapat dapat mengidentifikasi
sejumlah besar polimorfisme yang memungkinkan perbedaan antara aksesi dan
identifikasi kemungkinan duplikat (Bastianel et al., 1998). Oleh karena itu, sejumlah penelitian yang
mengevaluasi keragaman genetik dan hubungan taksonomi berbagai tanaman telah
dilakukan berdasarkan teknik ini. Namun RAPD memiliki kekurangan, yaitu
kemampuan amplifikasinya dipengaruhi oleh seluruh parameter yang mempengaruhi
reaksi PCR. Kemampuan pengulangan hasil (reprodusibilitas) RAPD dengan pola
yang sama sangat rendah (Arya et al.,
2011).
Metode RAPD telah berhasil digunakan
untuk membedakan aksesi, mengevaluasi keragaman genetik antar spesies dan
mengidentifikasi duplikasi dalam koleksi plasma nutfah (Daher et al., 2002; Teixeira-Cabral et al., 2002; Picoli et al., 2004; Palomino et al., 2005). RAPD juga telah digunakan
untuk mengidentifikasi gen untuk kepentingan agronomi. Selain itu, RAPD
diaplikasikan untuk memetakan keterkaitan genetik dan berbagai studi tentang
keragaman genetik dan filogeni (Engle et
al., 2001; Ilbi, 2003).
Berbagai penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa RAPD mampu mendeteksi aksesi-aksesi anggrek untuk
identifikasi kultivar Dendrobium (Inthawong et al., 2006). Identifikasi
pola keragaman anggrek (Parab dan Krishnan, 2008; Sulistianingsih et al.,
2010). Deteksi keragaman antar spesies, dalam satu spesies dan antar populasi Trichodesma
indicum (Verma et al., 2009). Karakterisasi anggrek Phalaenopsis (Niknejad
et al., 2009). Analisa keragaman genetik anggrek Aerides (Sivanaswari
et al., 2011). Analisis genetik anggrek Vanda (Tanee et al., 2012)
dan interspesifik hibridisasi Begonia (Chen dan Mii, 2012). Serta
mengidentifikasi variasi genetik spesies Iris (Azimi et al.,
2012).
Evaluasi keragaman genetik pada
tanaman pangan diantaranya yaitu identifikasi kimera pada jeruk (Bastianel et al., 1998). Identifkasi kultivar
lemon (Tusa et al., 2002. Analisa hubungan
filogenetik dalam genus Citrus dan kekerabatannya (Agisimanto dkk, 2007). Identifikasi
keragaman genetik salak Jawa (Nandariyah, 2007). Analisa fingerprint jeruk siam kultivar komersial (Agisimanto dkk, 2007). Studi
perbedaan genetik interspesifik dan analisis kekerabatan genus Jatropha (Sudheer,
2009). Studi genetik Dacydium pierrei dan Cathaya argrophylla
(Wang et al., 2009). Serta analisa keragaman genetik Pisum sativum (Gowhar
et al., 2010), dan evaluasi tanaman ketumbar (Coriandrum sativum)
(Nisha et al., 2011).
4.
Keunggulan
ISSR dan penelitian sebelumnya
ISSR merupakan sekuen yang dibuat
berdasarkan urutan sekuen mikrosatelit yang menyebar di sepanjang genom dan
bersifat co-dominant untuk
mengeksplorasi variasi genetik. ISSR merupakan bagian mikrosatelite yang tidak
mengkode protein (non coding region)
dan biasanya berupa mono-, di- atau trinukleotida (Anon, 2008). Sekuen ini
tersebar di sepanjang genom eukaryotik (Wang et al., 2009) dan dapat mengamplifkasi sekuen di antara
mikrosatelit dengan cepat dan membedakan individu-individu yang berkerabat
dekat (Parab and Krishnan, 2008)
ISSR merupakan penanda molekuler
versi terbaru dibanding RAPD dan RFLP.
Karena itu ISSR memiliki reproducibility yang tinggi (Tusa et al., 2002). Primer yang digunakan
pada
ISSR lebih panjang (16-25 bp) bila dibanding dengan RAPD yang reproducibility-nya rendah (Hartati, 2015). Menurut Mansyah et al. (2010) penanda ISSR lebih cepat, lebih murah, dan dengan jumlah DNA yang sedikit sudah mampu mendeteksi genetik polimorfisme. Evaluasi dengan teknik ISSR dapat dilakukan tanpa mengetahui susunan basa (sequence) DNA genom. Selain itu, ISSR banyak digunakan untuk mengidentifikasi spesies, kultivar ataupun populasi suatu spesies dan sangat berguna sebagai alat pendeteksi keragaman genetik suatu spesies tanaman yang mempunyai variasi genetik yang sangat luas (Romeida et al., 2012).
ISSR lebih panjang (16-25 bp) bila dibanding dengan RAPD yang reproducibility-nya rendah (Hartati, 2015). Menurut Mansyah et al. (2010) penanda ISSR lebih cepat, lebih murah, dan dengan jumlah DNA yang sedikit sudah mampu mendeteksi genetik polimorfisme. Evaluasi dengan teknik ISSR dapat dilakukan tanpa mengetahui susunan basa (sequence) DNA genom. Selain itu, ISSR banyak digunakan untuk mengidentifikasi spesies, kultivar ataupun populasi suatu spesies dan sangat berguna sebagai alat pendeteksi keragaman genetik suatu spesies tanaman yang mempunyai variasi genetik yang sangat luas (Romeida et al., 2012).
Jika dibandingkan dengan RAPD, teknik
ISSR lebih sensitif mendeteksi diversitas genetik pada tingkat rendah, namun
relatif mudah dan sama ekonomisnya dengan teknik RAPD (Bradford, 2008). Selain
itu, amplifkasi dengan primer ISSR menunjukkan sejumlah lokus per primer
dibandingkan dengan analisis RAPD (Wolff et
al., 1995). Primer-primer ini tidak memerlukan lokus spesifik karena setiap
primer akan mencari setiap tempat di dalam genom yang mengandung mikrosatelit
(Fang dan Roose, 1997). Selain itu, bila amplikon ISSR diseparasi dengan gel
poliakrilamid, jumlah pita DNA yang dapat dideteksi lebih banyak dibandingkan
dengan analisis RAPD (Wolff et al., 1995).
ISSR telah banyak digunakan pada penelitian
sebelumnya diantaranya pada polimorfisme genetik hasil persilangan pada tanaman
kelapa (Cocos nucifera) (Manimekalai et
al., 2004). Mengidentifikasi
keragaman genetik gandum di Cina Barat (Hou et al., 2005). Analisis
mandul jantan, jantan fertil, dan hibrid tanaman pearl millet (Pennisetum
glaucum (L.) R.Br.) (Kumar et al., 2006). Memetakan kekerabatan genetik
Catharanthus roseus (Gupta et al., 2007), serta mempelajari
keanekaragaman DNA polimorfisme tanaman jati (Narayanan et al., 2007).
Marker ISSR juga telah digunakan
untuk identifikasi kekerabatan kultivar jeruk (Fang dan Roose, 1997). Identifikasi
kerapatan hubungan kultivar jeruk (Fang dan Roose, 1997). Identifikasi bibit
zigotik dan nuselar (Tusa et al.,
2002), dan karakterisasi allotetraploid (Scarano et al., 2002). Memetakan hubungan kekerabatan Grevillea,
tanaman asli Australia (Pharmawati et al., 2004). Penentuan kekerabatan
strawberry (Fragaria ananassa Duch) yang diambil dari Fruit Breeding
Departmen’s, Research Institute of Pomologi and Floriculture, Polandia
(Kuras et al., 2004).
5.
Metode
Penelitian
Pada penelitian untuk
menganalisa keragaman genetik Colletotrichum
falcatum Went Accessions yang dilakukan Patel et al. (2017) terdapat empat tahap penelitian yaitu pengambilan
jamur dari sampel sepluh tebu dari berbagai daerah di Gujarat Selatan. Kemudian
dilanjutkan dengan ekstraksi genom DNA dan amplifikasi menggunakan PCR dan
elektroforesis gel. Terakhir dilakukan analisa data dan pengelompokkan (clustering) berdasarkan kedekatan
kekerabatannya.
5.1 Sumber Jamur
Spora
tunggal dari masing-masing jamur
ditumbuhkan di media agar miring oatmeal (4±1oC) untuk memperoleh
kultur murni yang akan digunakan di tahap selanjutnya (ekstraksi DNA).
5.2 Ekstraksi Genom DNA
Prinsip
utama dalam isolasi DNA ada tiga yakni penghancuran (lisis), ektraksi atau
pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian
DNA (Pharmawati
et al., 2004; Bradford, 2008). Proses
ekstraksi genom pada penelitian Patel et
al. (2017) dapat dilihat pada Tabel
2 berikut:
Tabel 2. Tahap Ekstraksi
Genom
Urutan
|
Kegiatan
|
Keterangan
|
1
|
Miselium jamur ditumbuhkan selama 5-7
hari pada suhu ruang di complete media broth (CMB) (Yeast Extract 6 g/l,
Casien Acid Hydrolysate 6 g/l dan Sucrose 10 g/l) kemudian DNA jamur
diisolasi dari menggunakan metode Raeder and Broda (Raeder and Broda, 1985).
|
Yeast
Extract memberikan suplai vitamin, bahan organik seperti asam lemak dan lipid
serta beberapa mineral untuk pertumbuhan serta mensuplai vitamin B kompleks.
Sedangkan casein acid hydrolysate berfungsi untuk mensuplai asam amino dan
substansi nitrogen komplek lainnya. Sedangkan sukrosa adalah sumber
karbohidrat penghasil energi terbaik dibanding glukosa, maltosa, rafinosa (Narayanan
et al., 2007).
|
2
|
Miselium dipanen menggunakan kertas
saring (Whatman no.1) kemudian diendapkan menjadi serbuk murni di mortar dan pestle
menggunakan nitrogen cair.
|
Proses ini bertujuan untuk memecahkan sel (lisis) yang
bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Tusa et
al., 2002). Menurut Kuras et al.
(2004) penghancuran sel dapat dilakukan dengan berbagai
cara yakni dengan cara fisik seperti menggerus sampel dengan menggunakan
mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau menggunakan metode
freezing-thawing dan iradiasi.
|
3
|
Serbuk kering dari setiap isolat (70 mg)
dilarutkan dalam 750 µl DNA extraction buffer (700 mM NaCl, 50 mM Tris (pH
8.0), 10 mM EDTA (pH 8.0), 2% cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB), 1%
Polyvinyl pyrolidone (PEP) dan 1% 2-mercaptoethanol)
|
·
Fungsi larutan buffer adalah untuk
menjaga struktur DNA selama proses lisis dan purifikasi sehingga memudahkan
penghilangan protein dan RNA serta mencegah aktivitas enzim pendegradasi DNA
dan mencegah perubahan molekul DNA (Hou et al., 2005)
·
Ethylenediamine tetra acetic acid
(EDTA) berperan menginaktivasi enzim DNase dan menginaktivasi enzim nuklease dengan
cara mengikat ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor
enzim DNAse (Wang
et al., 2009).
·
Detergen seperti cetyl trimethyl
ammonium bromide (CTAB) digunakan untuk melisiskan membran sel pada isolasi
DNA (Kumar
et al., 2006).
·
NaCl berfungsi untuk menghilangkan
polisakarida sementara 2-mercaptoethanol befungsi untuk menghilangkan senyawa
polifenol serta melindungi RNA dari senyawa quinon, disulphide, peroksida,
polifenol oksidase, dan protein (Wang et
al., 2009).
|
4
|
kemudian diinkubasi selama 45 menit (62oC)
sambil sesekali diaduk
|
Proses pemanasan bertujuan untuk melarutkan CTAB dan
mercaptoetanol, mendegradasi protein dan dinding sel (Wang et al., 2009). Inkubasi sampel dalam water bath bertujuan untuk
optimalisasi kerja buffer ekstrak (Gupta et
al., 2007).
|
5
|
Setelah inkubasi, larutan disentrifugasi
pada 10.000 rpm selama 15 menit dan supernatannya dikumpulkan di fresh tube
|
Sentrifugasi sampel dilakukan untuk
memisahkan debris dan komponen sel lain yang menjadi pengotor DNA. Hasilnya akan terbentuk 2 fase yang terpisah yakni fase
organik pada lapisan bawah dan fase aquoeus (air) pada lapisan atas sedangkan
DNA dan RNA akan berada pada fase aquoeus setelah sentrifugasi sedangkan
protein yang terdenaturasi akan berada pada interfase dan lipid akan berada
pada fase organik (Hou et al., 2005).
|
6
|
Kemudian, supernatan diekstraksi ganda
menggunakan klorofom: isoamyl alcohol (24:1) dilanjutkan dengan etanol murni
|
Kloroform digunakan untuk mendeproteinisasi
berdasarkan kemampuan rantai polipeptida yang terdenaturasi untuk
termobilisasi ke dalam fase antara kloroform – air. Konsentrasi protein yang
tinggi pada fase antara tersebut dapat menyebabkan protein mengalami
presipitasi. Sedangkan lipid dan senyawa organik lain akan terpisah pada
lapisan kloroform (Romeida
et al., 2012).
|
7
|
Hasil yang diperoleh disentrifuge pada
12.000 rpm selama 10 menit untuk mempresipitasi DNA
|
Ekstraksi ganda
menyebabkan protein kehilangan kelarutannya dan mengalami presipitasi yang
selanjutnya dapat dipisahkan dari DNA melalui sentrifugasi. Sentrifugasi dilakukan
hingga didapatkan pelet DNA
|
8
|
Pellet DNA kemudian dicuci menggunakan
etanol 70%
|
Setelah proses ekstraksi, DNA
yang didapat dapat dipekatkan melalui presipitasi (Romeida et al., 2012). Pada umumnya digunakan etanol atau isopropanol dalam tahapan
presipitasi. Etanol 70% berpera mengikat fase aqueous sehingga DNA menggumpal
membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet setelah dilakukan sentrifugasi
(Pharmawati et al., 2004). Anon (2008) juga menambahkan bahwa presipitasi juga berfungsi untuk
menghilangkan residu-residu kloroform yang berasal dari tahapan
ekstraksi.
|
9
|
Kemudian segera dikering anginkan dan
dilarutkan di dalam 200 µl of 1X Tris-EDTA (TE).
|
Setelah presipitasi dan
pencucian dengan etanol, maka etanol dibuang dan pellet dikering anginkan.
perlakuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan residu etanol dari pelet
DNA. Penghilangan residu etanol dilakukan dengan cara evaporasi karena etanol
mudah menguap (Tusa
et al., 2002).
|
10
|
Kontaminasi RNA dari genom DNA
dihilangkan dengan menambahkan 5 µl of RNase (10 µg/ml) ke setiap tube dan
menginkubasinya selama 1 jam di suhu 37oC
|
Ekstrak DNA yang
didapat seringkali terkontaminasi oleh RNA sehingga RNA harus dipisahkan dari
DNA dengan penambahan RNAse (Anon, 2008). Inkubasi
selama 1 jam di suhu 37oC agar
RNAse dapat bekerja optimal (Bradford, 2008).
|
11
|
Genom DNA dimurnikan dengan kombinasi
pelarut phenol: chloroform:isoamyl alcohol (25:24:1)
|
Supernatan yang telah diperoleh
selanjutnya diambil dan ditambahkan dengan larutan Phenol:Chloroform:Isolamyl
Alkohol (PCI) untuk memurnikan DNA dari kontaminan. Fenol merupakan pelarut
organik yang dapat melarutkan protein, lipid dan molekul lain seperti
polisakarida sehingga didapatkan supernatan yang berisi DNA bebas kontaminan.
Setelah pencampuran, homogenat tersebut divorteks untuk optimalisasi
homogenasi (Narayanan et al., 2007).
|
12
|
Presipitasi menggunakan 3 M ammonium
acetate dan alkohol murni
|
Pada tahapan presipitasi ini, DNA yang
terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu RNA dan protein yang masih
tersisa. Residu tersebut juga mengalami koagulasi namun tidak membentuk
struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat granular yang derajat
kemurniannya lebih tinggi (Bradford, 2008). Selain itu, pencucian kembali pellet yang dipresipitasi
bertujuan untuk menghilangkan residu-residu garam yang masih tersisa.
Garam-garam yang terlibat dalam proses ekstraksi dapat terpresipitasi bersama
DNA, oleh sebab itu dibutuhkan presipitasi kembali dengan alkohol untuk
menghilangkan residu garam (Moulin et al.,
2012).
|
13
|
Dilarutkan di TE buffer
|
Mansyah et al. (2010) menyatakan bahwa buffer TE dan penyimpanan suhu pada
-20ºC bertujuan agar sampel DNA yang telah diekstraksi dapat disimpan hingga
waktu berminggu-minggu. Moulin et
al. (2012) juga menjelaskan bahwa
pelarutan kembali dengan buffer TE juga dapat memisahkan antara RNA yang
mempunyai berat molekul lebih rendah dibandingkan DNA sehingga DNA yang
didapatkan tidak terkontaminasi oleh RNA dan DNA sangat stabil ketika
disimpan dalam keadaan terpresipitasi pada suhu -20ºC (Guo et al., 2009).
|
14
|
Dianalisa menggunakan spektrofotometer
|
Menentukan kualitas DNA
dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm (protein 280 nm; DNA murni
apabila pengukuran pada 260:280 = 1,7 – 1,9). Satu OD = 50 ng DNA (Moulin et al., 2012).
|
15
|
Elektroforesis agarose gel (0,8%).
|
Elektroforesis
bertujuan untuk melihat band. Band yang tebal secara kualitatif menunjukkan
DNA yang bagus (Guo
et al., 2009).
|
5.3 Amplifikasi PCR dan Agarose Gel
Electrophoresis
PCR diprogram menggunakan
gradient thermocycler (Eppendorf) using 200 µl PCR tubes. Selanjutnya sebanyak
35 primer RAPD (Operon technologies, USA) dan 39 primer ISSR digunakan untuk
analisa genetik C. falcatum. PCR
untuk RAPD dan ISSR berisi 25 ml buffer MgCl2, primer, deoxynucleotides mixtures dan Taq
polymerase (Bangalore GeNei, India, GeNei TM), dan genom DNA. Setelah selesai,
produk PCR dipisahkan pada 1,5% gel agarose dan divisualisasi di Gel Doc system. 100 untai pasang basa
(Bangalore GeNei Pvt Ltd, Bangalore, India) digunakan sebagai standar DNA
marker. Analisa dilakukan dua kali untuk mengkonfirmasi reproduksibilitas
hasilnya.
5.4 Analisa data
Amplifikasi dihitung berdasarkan band pada gel. Keberadaan bands dihitung
satu (1) dan ketiadaan band dihitung
nol (0), dan hanya band yang
konsisten reprodusible yang diikutkan pada analisa akhir. Data dianalisa
menggunakan prosedur standar NTSYS-PC by means of Dice’s coefficient. Dendogram
dibuat menggunakan metode unweighted pair
group berdasarkan rerata aritmatik (UPGMA) algoritma berdasarkan jarak
genetik. Informasi polimorfisme (PIC) dihitung menggunakan EIGEN modul NTSYSpc 2.02 untuk
mengkonfirmasi efisiensi primer mengacu pada rumus Khalegi.
6.
Hasil
dan Pembahasan
Hasil clustering pada penelitian Patel
et al. (2017) yang membandingkan
antara penanda molekuler RAPD dan ISSR dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3.
Perbandingan hasil clustering menggunakan marker RAPD dan ISSR
Parameter
|
RAPD
|
ISSR
|
Marker berbeda
nyata
|
15 dari 35
primer
|
21 dari 39 primer
|
Scorable loci
|
67
|
119
|
Monomorphic loci
|
13
|
38
|
Bands yang
diamplifikasi
|
434 bands
|
|
Scorable bands
|
2 hingga 7
|
2 (SSR822) hingga
8 (ISSR807, ISSR823, dan ISSR15)
|
Amplifikasi band
terbanyak
|
RPI1 (55)
|
ISSR835 (57)
|
Amplifikasi band
tersedikit
|
RPI5 (12)
|
ISSR822 (16)
|
% polimorfisme
|
42,86% hingga
100%.
|
33.33% hingga
100%.
|
100%
polimorfisme
|
8 dari 15 primer
primer (RPI5, RPI10, RPI11, RPI14, RPI15, RPI17, RPI18 dan RPI19)
|
4 dari 21 primer
(ISSR830, ISSR845, ISSR4 and ISSR15)
|
Koefisien
genetik tertinggi (variasi genetiknya sangat rendah)
|
cfTIM dan cfMAR (0.91)
|
cfCHA dan cfMAD (0.93)
|
Koefisien
genetik terendah (variasi genetiknya sangat tinggi)
|
cfNAV dan cf8436
(0.43)
|
cfVES dan cfGAN (0.73)
|
PIC tertinggi
|
RPI1 (0.849)
|
ISSR807 (0.849)
|
PIC terendah
|
RPI15 (0.489)
|
ISSR822 (0.469)
|
Rerata
PIC/primer
|
0.705 (8 dari 15
primer diatas rerata)
|
0.767 (12 dari
21 primer diatas rerata)
|
Cut off value cluster
|
0.75
|
0.81
|
Jumlah cluster
|
2
|
2
|
Keunggulan
|
cepat dan simpel
|
independen
|
Kekurangan
|
inkonsisten
|
-
|
Pada penelitian ini dilakukan
pengelompokan (clustering). Clustering
bertujuan memisahkan objek kedalam beberapa kelompok
yang mempunyai sifat berbeda antar kelompok yang satu dengan yang lain (Vural
et al., 2009).
Sedangkan cut-off value cluster adalah titik pemisah
pada skala pengukuran, dimana hasil pengujian dibagi ke dalam kategori yang
berbeda (Tanee et al., 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cut off value cluster marker ISSR lebih
tinggi (0.81) daripada marker RAPD (0.75).
Scorable
loci
adalah keterkaitan antara lokus gen penyakit yang sama dengan lokus marker,
tetapi memiliki alel yang berbeda yang memisahkan pada lokus marker (Sivanaswari
et al., 2011). Monomorfisme adalah sekumpulan DNA yang terdapat pada
semua individu sedangkan Polimorfisme genetik adalah
variasi struktur genetik dalam satu populasi yang mewakili keanekaragaman
hayati paling dasar (Vural et al.,
2009). Polimorfisme terdapat pada individu atau
beberapa individu yang berkerabat namun tidak ada pada individu lain (Tanee et
al., 2012). Berdasarkan data pada tabel
3, marker ISSR lebih unggul dibandingkan RAPD berdasarkan parameter
scorable loci, %polimorfisme, dan monomorfisme (monomorphi loci).
Penanda molekuler RAPD memiliki
keunggulan yaitu prosesnya cepat dan sederhana, namun hasilnya inkonsisten.
Karena itu digunakan ISSR yang independen. Pada penelitian ini juga dilakukan
kombinasi keduanya untuk meningkatkan akurasi data yang diperoleh. Selain itu
kombinasi RAPD dan ISSR bertujuan untuk mengetahui derajat diversitas genetik
di dalam populasi C. Falcatum. Berdasarkan
hasil dari penelitian ini, diperoleh peta kekerabatan C. Falcatum pada gambar 1, 2, dan 3 berikut:
Berdasarkan peta kekerabatan
tersebut, ditunjukkan bahwa terdapat hubungan antara variasi genetik dengan
distribusi geografis. Nilai PIC menunjukkan kemampuan primer untuk membedakan
kekerabatan. Semakin tinggi nilai PIC, maka primer tersebut semakin baik dalam
membedakan kemiripan genetik. pada penelitian ini, nilai PIC tertinggi sama
pada RAPD maupun ISSR yaitu 0,849. Sedangkan rerata PIC pada RAPD yaitu 0,705
sedangkan rerata PIC pada ISSR yaitu 0,767. Hal ini menunjukkan kemampuan ISSR
dalam membedakan kemiripan genetik pada C.
falcatum lebih baik dibandingkan RAPD.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa rerata band polimorfisme pada RAPD, ISSR, dan
kombinasi RAPD dan ISSR berturut-turut yaitu 0,87; 1,81; dan 1,42. Rerata band
polimorfisme pada RAPD, ISSR, dan kombinasi RAPD dan ISSR berturut-turut yaitu
3,60; 3,86; dan 3,75. Sedangkan % polimorfisme RAPD, ISSR, dan kombinasi RAPD
dan ISSR berturut-turut yaitu 80,60; 68,70; dan 74,73.
7.
Perbandingan
Akurasi Primer RAPD dan ISSR
Teknik identifikasi molekuler yang
digunakan pada penelitian ini adalah penggunaan marka RAPD dan ISSR. Primer
ISSR mendeteksi lebih banyak pita DNA dibandingkan dengan primer RAPD, sehingga
akurasi identifikasi dan eksplorasi polimorfisme menjadi lebih tinggi.
Dendogram primer ISSR memperlihatkan spesifitas kekerabatan yang lebih tinggi
dibandingkan dendogram primer RAPD. Karena itu, primer ISSR dianggap lebih
efektif dibandingkan primer RAPD.
Beberapa penelitian sebelumnya
menguatkan bahwa reprodusibilitas RAPD lebih rendah dibandingkan ISSR (Moulin et al., 2012). Selain itu, identifikasi
kekerabatan jeruk siam lebih efisien dilakukan menggunakan primer ISSR
(Agisimanto dkk, 2007). ISSR memiliki reproduksibilitas lebih tinggi daripada
RAPD pada beberapa tanaman (Guo et al., 2009), karena penggunaan primer
yang lebih panjang (16-25 basa nukleotida) dibandingkan primer RAPD (10 basa
nukleotida), yang menggunakan suhu annealing yang tinggi (45-60oC).
8.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa penanda molekuler RAPD dan ISSR cocok untuk deteksi genetik C. falcatum. Meskipun penanda molekuler
RAPD dan ISSR memberikan akurasi yang tinggi, namun ISSR menunjukkan akurasi yang
lebih tinggi dan spesifik dibandingkan RAPD. Karena itu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut menggunakan marker lain seperti SCAR, APC and SNPs
untuk memperoleh hasil yang lebih presisi dan komperhensif.
DAFTAR
PUSTAKA
Jurnal Utama
Patel, P., B.
K. Rajkumar, P. Parmar, R. Shah, R.
Krishnamurty. 2017. Assessment of Genetic Diversity in Colletotrichum falcatum
Went Accessions Based on RAPD and ISSR Markers. Journal of Genetic Engineering and Biotechnology. (Article in
Press). https://doi.org/10.1016/j.jgeb.2017.11.006.
Jurnal Pendukung
Agisimanto,
D., C. Martasari, dan A. Supriyanto.
2007. Perbedaan Primer RAPD dan ISSR dalam Identifkasi Hubungan Kekerabatan
Genetik Jeruk Siam (Citrus suhuniensis L.
Tan) Indonesia. J. Hort. 17(2):101-110, 2007.
Anon. 2008.
ISSR. Information.http://www.biosci.ohiostate.edu/~awolfe/ISSR/ISSR.html.
Arya,
V., Yadav S, and Yadav JP. 2011. Intra Specific Genetic Diversity of Different
Accessions of Cassia Occidentalis By RAPD Marker. Genetic Engineering
and Biotechnology Journal, 1(22): 1-8.
Astarini,
I. A. 2009. Aplikasi Marka Molekuler untuk Peningkatan Kualitas Produksi
Kembang Kol (Brassica oleraceae var. botrytis). Ed: Wirawan, IGP,
Supartana P, dan Juliasih, SM. Denpasar: Penerbit Universitas Udayana.
Azimi,
S.Y., Sadeghian V, Ahari R, Khazaei F, Hafashjani AF. 2012. Genetic Variation of
Iranian Iris Species Using Morphological Characteristics and RAPD
Markers. International. Journal of Agriculture Science, 2(9): 875-889.
Bastianel,
M., Schwarz SF, Filho HDC, Lin LL, Machado M., and Koller OC. 1998. Identification
of Zygotic and Nucellar Tangerine Seedlings (Citrus spp.) using RAPD. Genetics
and Molecular Biology 21: 123-127.
Bradford,
K. 2008. Comparing The Ability of Two PCR
Based Techniques, RAPD and ISSR to Detect Low Levels of Genetic Diversity, to
Detect Low Levels of Genetic Diversity. Chicago Botanic Garden, Glencoe,
IL.
Chen,
Y.M., and Mii M. 2012. Interspecific hybridization of Begonia semperflorens (section
Begonia) with B. pearcei (section Eupetalum) for
introducingyellow flower color. Original paper. Plant Biotechnology, 29(1):
77-85.
Daher,
R.F., Pereira MG, Tupinamba EA, Amaral-Júnior AT, Aragão WM, Ribeiro FE,
Oliveira LO and Sakiyama NS. 2002. Assessment of coconut tree genetic
divergence by compound sample RAPD marker analysis. Crop Breeding and Applied Biotechnology
2: 431-438.
Das,
B.K, Jena RC and Samal KC. 2009. Optimization of DNA Isolation and PCR Protocol
For RAPD Analysis of Banana/ Plantain (Musa Spp). Agriculture Science, 1(2): 21-25.
Engle
LM, Fan MJ, Wang JY, Lo SF and Shu TR. 2001. Analysis of Genetic Diversity of Capsicum spp. (pepper) Using Random Amplified
Polymorphic DNA Analysis. Journal of Agricultural Researches of China
50: 29-42
Fang,
D. Q., and M. L. Roose. 1997. Identifcation ofClosely Related Citrus Cultivars with
Inter-Simple Sequence Repeats Markers. Theoretical Applied Genetics95:408-417.
Fatchiyah,
Arumingtyas, Widyarti, Rahayu. 2011. Biologi
Molekuler, Prinsip Dasar Analisis. Jakarta: Erlangga.
Gonçalves,
L.S.A., Rodrigues, R., Amaral Júnior, A.T., Karasawa, M., Sudré, C.P.
Comparison of Multivariate Statistical Algorithms to Cluster Tomato Heirloom
Accessions. Genetics and Molecular
Research, v. 7, n. 4, p. 1289-1297, 2008.
Gowhar
A, Mudasir, K. Rajdeep, Shikha M K, Srivastava. 2010. Evaluation of Genetic
Diversity in Pea (Pisum sativum L) Using RAPD Analysis. Genetic
Engineering and Biotechnology Journal, 16: 1-5.
Guo, H.B.,
Huang, K.Y., Zhou, T.S., Wu Q.H., Zhang, Y.J., and Liang, Z.S. 2009. DNA
Isolation, Optimization of ISSR-PCR system and Primers Screening of Scutellaria
baicalensis. Journal Medicine Plant Research, 3(11): 898-901.
Hartati,
S. 2015. Analisis Keragaman Genetik Tetua dan Hasil Persilangan Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lindl.).
[Disertasi]. Program Studi S3 Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Hou, C.,
Yong,Yan Z, Wei Y and Zheng Y. 2005. Genetic Diversity in Barley from West
China Based on RAPD and ISSR Analysis. Barley Genetic Newsletter, 35:
9-22.
Ilbi,
H. 2003. RAPD Markers Assisted Varietal Identification and Genetic Purity Test in
Pepper, Capsicum annuum. Scientia Horticulturae 97:
211-218.
Inthawong,
S., Weenun B, Nuttha K and Pimchai A. 2006. Analysis of Intersectional Hybrid
of Dendrobium by RAPD Technique. Kasetsart Journal, 40(2):
456-461.
Julisanah,
N.I., Sulistyowati, L., dan Sugiharto, A.N. 2008. Analisis Kekerabatan Mentimun
(Cucumis sativus L.) menggunakan
Metode RAPD-PCR dan Isozim. Jurnal Biodiversitas,
9(2): 99-102.
Khosravi,
A.R., Kadir MA, Kadzemin SB, Zaman FQ, and De Silva AE. 2009. RAPD Analysis Of
Cholchicine Induced Variation of The Dendrobium Serdang Beauty. Africa
Journal of Biotechnology, 8(8): 1455-1465.
Kumar,
A., Arya L, Kumar V, Sharma S. 2006. Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) Analysis
of Cytoplasmic Male Sterile, Male Fertile Lines, and Hybrids of Pearlmillet [Pennisetu
glaucum (L.) R.Br.]. Indian J Crop
Sci 1(1-2): 117- 119
Kuras,
A., Korbin, M and Zueawicz E. 2004. Comparison of Suitability of RAPD and ISSR
Techniques for Determination of Strawberry (Fragaria x ananassa Duch.)
Relationship. Biotechnologia, (2)79: 189-193.
Maiti,
B., Shekar M, Khusiramani R., and Kasunasagar I. 2009. Evaluation of RAPD-PCR
And Protein Profile Analysis to Differentiate Vibrio harveyi Strains
Prevalent Along The Southwest Coast of India. Journal of Genetics, 88(3):
273-279.
Manimekalai,
R., Nagarajan P, Bharathi M, Naresh kumar S. 2003. DNA Polymorphism Among
Coconut (Cocos nucifera L.) Cultivars
and Reciprocal Cross Derivatives Differing in Drought Tolerance. J Pl Crops 32 : 117-122.
Moulin,
M. M., R. Rodrigues, L. S. A. Gonçalves, C. P. Sudré and M. G. Pereira 2012. A
Comparison of RAPD and ISSR Markers Reveals Genetic Diversity Among Sweet
Potato Landraces (Ipomoea batatas
(L.) Lam.). Acta Scientiarum. Agronomy
Maringá, v. 34, n. 2, p. 139-147,
Apr.-June, 2012.
Nandariyah.
2007. Identifikasi Keragaman Genetik Kultivar Salak Jawa Berdasarkan Analisis
RAPD. Agrosains, 9(2): 70-76.
Narayanan,
C., Wali SA., Shukla N, Kumar R, Mandal AK, Ansar SA. 2007. RAPD and ISSR
Markes for Molecular Characterization of Teak (Tectona grandis) Plus Trees. J
Trop For Sci 19(4): 218–225.
Niknejad,
A., Kadir MA, Kadzimin SB, Abdullah NAP, Sorkheh K. 2009. Moleculer Characterization
and Phylogenetic Relationship Among and Within Species of Phalaenopsis (Epdendroideae:
Orchidaceae) Based on RAPD Analysis. African Journal of Biotechnology, 8(20):
5225-5240.
Nisha,
P., Jakhar ML and Malik CP. 2011. Analysis of Genetic Diversity in Coriander (Coriandrum
sativum L.) Varieties Using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Markers.
Journal Microbiology of Biotechnology Research, 1(4): 206-215.
Palomino
EC, Mori ES, Zimback L, Tambarussi EV and Moraes CB (2005) Genetic Diversity of
Common Bean Genotypes of Carioca Commercial Group Using RAPD Markers. Crop
Breeding and Applied Biotechnology 5: 80-85.
Parab,
G.V and Krishnan S. 2008. Assessment Of Genetic Variation Among Populations of Rhynchostylis
Retusa An Epiphytic Orchid From Goa, India Using ISSR and RAPD Marker. Journal
of Biotechnology, 7(17): 313-319.
Pharmawati,
M., Yan G and Mc Farlane IJ. 2004. Application of RAPD and ISSR Marker to
Analyse Molecular Relationship in Grevillea (Proteace). Australian Systematic Botani, 17: 49-61.
Picoli,
EAT, Alfenas AC, Cruz CD, Moura DF and Dias LAS. 2004. Sample size for number
of RAPD markers to estimate genetic diversity in Eucalyptus. Crop
Breeding and Applied Biotechnology 4: 384-390.
Raeder,
U dan Broda, P. 1985. Rapid Preparation of DNA From Filamentous Fungi. Lett. Appl. Microbiol. 1: 17-20
Romeida,
A., Surjono HS, Agus Purwito, Dewi S, Rustikawati. 2012. Variasi Genetik Mutan
Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Berdasarkan Marker ISSR. Jurnal
Agronomi Indonesia, 40(3): 218-224.
Scarano,
M. T., L. Abbate, S. Ferrante, S. Lucretti, and N. Tusa. 2002. ISSR-PCR
Technique: A Useful Method for Characterizing New Allotetraploid Somatic
Hybrids of Mandarin. Plant Cell Reports 20: 1162-1166.
Sivanaswari,
Chalaparmal, Thohirah, LA., Fadelah, AA., dan Abdullah, NAP. 2011.
Hybridization of several Aerides species and in vitro germination of its
hybrid. African Journal of Biotechnology, 10(53): 10864-10870.
Sudheer,
P.D.V.N., Meenakshi, Sarkar R., Boricha G., Reddy M.P. 2009. A Simplifies
Method For Extraction of High Quality Genomic DNA from Jatropha curcas For
Genetic Diversity and Moleculer Marker Studies. Indian Journal of
Biotechnology, 8(2): 187-192.
Sulistianingsih,
R., Semiarti E., Purwantoro A., Mangoendidjojo. 2010. Analisis keragaman
genetic mutan anggrek Phalaenopsis amabilis L, blume dengan RAPD.
Seminar Nasional Biologi UGM, Jogyakarta.
Tanee,
T., Chadmuk P., Sudmoon R., Chaveerach A., and Noikotr K. 2012. Genetic
Analysis For Identification, Genomic Template Stability in Hybrids and Barcodes
of The Vanda species (Orchidaceae) of Thailand. African
Journal of Biotechnology, 11(55): 11772-11781.
Teixeira-Cabral,
T.A., Sakiyama N.S., Zambolim L, Pereira A.A., Barros E.G., and Sakiyama C.C.H.
2002. Reproducibility of RAPD Marker and Its Efficiency in Coffee Tree
Genotypes Grouping Analysis. Crop Breeding and Applied Biotechnology
2: 121-129.
Tusa,
N., L. Abbate, S. Ferrante, S. Lucretti, and M.T. Scarano. 2002. Identifcation
of Zygotic and Nucellar Seedlings in Citrus Interploid Crosses by Means of Isozymes,
Flow Cytometry and ISSR-PCR. Cellular and Molecular Biology Letters 7:703-708.
Verma,
N., Koche V., Tiwari K.L., and Mishra S.K. 2009. RAPD Analysis Reveal Genetic
Variation In Difeerent Population of Trichodesma indicum – A Perennial
Medicinal Herb. Journal of Biotechnology, 8(18): 4333-4338.
Vural,
Cingili and Dageri. 2009. Optimization of DNA Isolation For RAPD-PCR Analisys of
Selected (Echinaceae purpurea L. Moench) Medicinal Plant of Conservation
Concern From Turkey. Journal of Medicinal Plants Research 3(1): 16-19.
Wang,
H.Z., Feng S.G., LU J.J., Shi N.N., Liu J.J. 2009. Phylogenetic Study and
Molekculer Identification of 31 Dendrobium Species Using Intersimple
Sequent Repeat (ISSR) Markers. Scientia Horticulturae, 122(3): 140-447.
Wolff,
K., E. Zietkiewicz, H. Hofstra. 1995. Identifcation of Chrysanthemum Cultivars
and Stability of DNA Fingerprint Patterns. Theoretical Applied Genetics 91:439-447.
Xue, D.,
Feng S, Zhao H, Jiang H, Shen B, Shi N, Lu J, Liu J., and Wang H. 2010. The Linkage
Maps of Dendrobium Species Based on RAPD and SRAP Marker. Journal of
Genetic and Genomic, 37(3): 197-204.
Yunus,
A. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Berdasarkan Penanda Isozim. Jurnal
Biodiversitas, 8(3): 249-252.
No comments:
Post a Comment