BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia merupakan negara agraris
yang kaya akan hasil pertanian, salah satunya adalah komoditas tebu. Lahan tebu Indonesia menyebar di
sepuluh provinsi yang keseluruhannya mencapai 461.082 ha (data tahun 2012). Sayangnya, produksi gula nasional semakin menurun dari tahun ke tahun (Filianty dkk,
2007). Kebutuhan gula nasional
Indonesia sebesar 3,2 juta ton pertahun sementara produksi gula dalam negeri hanya sekitar 2 juta ton
(Mardianto,
2005). Hal ini terbukti pada tahun
2010, produksi gula nasional menurun drastis dan menempatkan Indonesia yang
pernah menjadi produsen terbesar kedua di dunia setelah Kuba berubah menjadi
importir terbesar di dunia setelah Rusia (Harsono, 2012). Sehingga Indonesia terpaksa
impor gula dengan nilai mencapai 1,5 juta ton per tahun atau setara dengan 1
triliun (Randy, 2009).
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas industri
gula yaitu terjadinya degradasi gula (sukrosa) menjadi gula-gula sederhana (invert) yang tidak dapat
dikristalisasi sehingga sehingga menyebabkan penurunan rendemen (Singh and Solomon, 2003; Ghasemnejad and Jamshidi,
2011). Kerusakan sukrosa terjadi secara cepat antara 24 jam-48 jam penundaan giling (Solomon, et al., 2007), dengan total kehilangan sukrosa dapat mencapai
20-30% selama penanganan bahan baku (Saxena et
al., 2010). Padahal umumnya, waktu antara pemanenan hingga penggilingan
tebu berkisar antara 3-10 hari (Singh and
Solomon, 2003; Solomon 2009).
Bakteri yang berperan diantaranya Leuconostoc sp. (L.
mesenteroides or L. dextranicum) yang menghasilkan enzim invertase untuk
menginversi sukrosa menjadi monosakarida seperti glukosa dan fruktosa,
dekstran, dan asam organik (Solomon et al., 2006; Saxena et al., 2010). Semakin tinggi aktivitas
invertase maka semakin rendah kandungan sukrosa pada tebu. Aktivitas enzim
intervase perlu dihambat pada proses produksi gula agar rendemen gula yang
dihasilkan tetap tinggi (Saxena et al., 2010).
Selain berdampak pada rendahnya produktivitas gula
nasional, hal ini juga merugikan petani tebu karena tebu yang dipanen tidak
diterima pabrik akibat rendemennya terlalu rendah (7%) sementara rendemen
minimal yang diterima pabrik yaitu 8%. Selain itu, banyaknya petani
tebu yang sangat
bergantung pada pekerjaannya bertani dan tidak bekerja sama sekali diluar musim
panen sehingga penghasilannya hanya bergantung pada upah panen tebu.
Solusi yang pernah diterapkan
sebelumnya yaitu penggunaan Potassium Metabisulfit 0.01% (Sangeeta et al., 2013), dan kombinasi natrium benzoat dan potassium sorbat 1:1 (Taufiqul,
2014). Sayangnya solusi sebelumnya dirasa kurang optimal sehingga diperlukan
penanganan tebu pasca panen yang lebih baik. Selanjutnya dikembangkan metode
pencegahan inversi tanpa bahan kimia sintetik yaitu dengan metode kombinasi
tekanan dan suhu memerlukan peralatan khusus dan mahal sehingga tidak
terjangkau oleh petani (Nuriah, 2015).
Gambir merupakan salah satu komoditas unggulan
Indonesia, karena memasok kebutuhan dunia hingga mencapai 80% dengan permintaan ekspor yang terus meningkat sepanjang
tahun (Denian, 2002). Gambir adalah ekstrak daun dan
ranting tanaman Uncaria gambir (Hunter) Roxb yang dikeringkan (Hidayat
dan Rodame, 2015). Pemanfaatan Gambir selama ini masih belum optimal karena kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam ekstraksi Gambir. Selama ini Gambir sebagian besar digunakan untuk zat pewarna
dalam industri batik, industri penyamak kulit, ramuan makan sirih, bahan baku
pembuatan permen dalam acara adat di India dan sebagai penjernih pada industri
air (Zamarel dan Risfaheri, 1991).
Gambir
mengandung turunan senyawa polifenol terutama katekin dan tanin yang
dimanfaatkan secara luas di Indonesia (Pambayun et al., 2007). Katekin
dan tanin berpotensi sebagai antioksidan dan antibakteri (Arakawa et al.,
2004). Selain itu, katekin dan tanin dinyatakan aman digunakan (Apea-Bah et al., 2009), sehingga aman digunakan
dalam pengolahan bahan pangan, salah satunya penghambat inversi.
Berdasarkan latar belakang diatas
penulis mengajukan karya tulis ilmiah berjudul Introduksi AGAR (Antiinversi
Alami Daun Gambir) untuk Meningkatkan Kualitas Nira Tebu dan Kesejahteraan
Petani Tebu Indonesia. AGAR merupakan larutan ekstrak kasar
daun Gambir yang merupakan antimikrobia alami yang diolah secara sederhana
sehingga aplikatif dan ekonomis untuk digunakan pada tebu pasca panen di
Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
cara pembuatan dan pengaplikasian AGAR pada tebu pasca panen?
2.
Bagaimanakah
analisis SWOT dari AGAR?
3.
Bagaimanakah
metode yang paling efektif untuk mengintroduksi AGAR untuk meningkatkan
kesejahteraan petani tebu?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari program ini yaitu:
1. Mengetahui cara pembuatan dan pengaplikasian AGAR
pada tebu pasca panen.
2. Mengetahui analisis SWOT dari AGAR
3. Mengetahui metode yang paling efektif untuk
mengintroduksi AGAR untuk meningkatkan kesejahteraan petani tebu.
Adapun manfaat yang diharapkan dari program
ini, antara lain:
a. Bagi
Mahasiswa Pelaksana
Sebagai sarana dalam melaksanakan salah satu Tri Dharma
Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat. Selain itu juga sebagai wadah
untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dari kegiatan perkuliahan
terhadap mahasiswa.
b. Bagi
Masyarakat Sasaran
Mengurangi
penggunaan pengawet sintetik/kimia
untuk meningkatkan rendemen nira tebu dengan
produk alternatif yang lebih murah
serta aplikatif, sehingga dapat meningkatkan
produktivitas gula nasional tanpa efek samping yang merugikan konsumen serta ramah lingkungan.
c. Bagi
pemerintah dan Masyarakat Umum
Membantu
pemerintah dalam mengatasi kasus tingginya penggunaan pengawet sintetik/kimia untuk
meningkatkan rendemen tebu dengan memperkenalkan alternatif antiinversi
alami.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi
Petani Tebu
Kondisi pendidikan petani tebu di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD dengan penghasilan dibawah Rp 500.000,- perbulan. Rendahnya rendemen
tebu yang dihasilkan menurunkan nilai bagi hasil antara petani dan pabrik. Rasio bagi hasil gula antara petani dengan pabrik
penggiling yang ditetapkan bersifat progresif, semakin tinggi rendemen yang
didapat semakin besar ratio bagian petani. Jika rendemen yang didapatantara 6 -
< 7% bagi hasil gula petani sebesar 66% dan pabrik gula 34%. Jika rendemen
yang didapat antara 7 – 8% maka bagi hasil petani sebesar 68% dan pabrik gula
sebesar 32%. Sedangkan jika rendemen yang didapat > 8% maka bagi hasil gula
petani sebesar 70% dan pabrik gula 30% (Indrawanto dkk, 2010).
Dari segi ekonomi, petani umumnya hanya memperoleh
pendapatan di musim bertani dan tidak berpenghasilan sama sekali di musim
paceklik. Pendapatan tersebut
diperoleh dari upah memanen tebu Rp 16.000 per kuintal. Hal ini dikarenakan pabrik hanya mau menerima tebu dengan
rendemen diatas 8%, sehingga beberapa pabrik yang mau menerima memberlakukan
sistem bagi hasil yang kurang menguntungkan. Permasalahan
terakhir adalah banyaknya petani tebu yang sangat bergantung pada pekerjaannya bertani dan
tidak bekerja sama sekali diluar musim panen.
2.2 Nira Tebu
Nira tebu
merupakan cairan hasil perasan yang diperoleh dari penggilingan tebu yang
memiliki warna coklat kehijauan. Nira tebu selain mengandung gula, juga
mengandung zat-zat lainnya (zat non gula) (DeConnick et al., 2012). Perolehan nira tebu yang mengandung sukrosa, diperoleh dari tebu
dengan pemerahan dalam unit penggilingan setelah melalui proses pencacahan tebu. Proses ini dimaksudkan
untuk mempermudah proses ekstraksi berikutnya. Dalam unit penggilingan
tebu, nira terperah keluar, yang tersisa adalah ampas (Kultsum, 2009).
Komponen yang
terkandung di dalam nira tebu dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Komposisi Nira Tebu
Komposisi
nira tebu
|
Jumlah
|
Air
|
70-75%
|
Sukrosa
|
11-16%
|
Gula Reduksi
|
0,4-2%
|
Organik non-gula
|
0,5-1%
|
Mineral
|
0,5-1%
|
Serat
|
10-16%
|
.... Sumber: Loto dkk, 2012
2.3
Pengaruh Penundaan Giling
Gambar 2. Reaksi inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Madsen, 2009)
Menurut
Goutara dan Wijandi (1985), sejak dipanen, nira tebu telah mengalami kerusakan
enzim yang dikeluarkan oleh berbagai mikroorganisme yang berasal dari tanah dan
menempel pada batang tebu. Tebu setelah dipanen kurang dari 4 jam mengandung
sekitar 1-20 juta mikroba per mL nira. Selama berlangsungnya perkembangbiakan
mikroba di dalam nira menyebabkan kehilangan sukrosa dan membentuk gula
reduksi, asam organik, dan dekstran yang menyebabkan nira menjadi keruh,
berwarna lebih pekat, dan bau (Kurniawan, 1984). Hal ini disebabkan enzim invertase dapat dihasilkan
dari berbagai macam organisme. Namun menurut Harsono (2012), mikroorganisme
yang paling banyak terdapat pada nira tebu Saccaromycess
cereviceae dan Leuconostoc spp.
2.4 Mikroorganisme yang Berperan
Enzim Invertase dapat dihasilkan dari berbagai macam
organisme, seperti pada kapang: Aspergillus niger (Aranda et al., 2006), A.caepitosus (Ana et al., 2009), A.ochraceus (Guimaraes
et al., 2009), Cladosporium
cladosporioides (Almeida et al.,
2005), A.versicolor, C.herbarum, Mortierella minutissima, Penicillium
chrysogenum, Sclerotium sp (Almeida et
al., 2005), khamir: Candida utilis (Belzar, 2002), Saccharomyces
cerevisiae (Haq and Ali, 2007; Amaya et
al., 2006) serta bakteri: Bacillus macerans (Ahmed, 2008), Zymomonas mobilis (Al-Bakir and
Whittaker, 2007), Leuconostoc
mesentroides dan Leuconostoc dextranicum (Solomon et al., 2006). Aktivitas Invertase beberapa
mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel
2 sebagai berikut:
Tabel 2. Aktivitas Invertase
Beberapa Mikroorganisme
Golongan
|
Nama
Mikroorganisme
|
Kondisi
|
||
pH
|
suhu
|
Lama
fermentasi
|
||
Yeast
|
S. cerevisiae1
|
5.50
|
25oC
|
48 jam
|
Kapang
|
Aspergillus oryzae1
|
5.50
|
30oC
|
72 jam
|
Aspergillus niger2
|
4.00
|
30oC
|
48 jam
|
|
Aspergillus niger3
|
4.50
|
30oC
|
72 jam
|
|
Aspergillus niger4
|
5.50
|
30oC
|
72 jam
|
|
Aspergillus niger3
|
5.00
|
30oC
|
120 jam
|
|
Aspergillus flavus5
|
5.00
|
30oC
|
96 jam
|
|
Aspergillus caespitosus4
|
4.00
|
60oC
|
72 jam
|
|
Pseudozyma sp.6
|
4.00
|
50oC
|
72 jam
|
|
Bakteri
|
Leuconostoc mesentroides7
|
4.50
|
30oC
|
48 jam
|
Leuconostoc dextranicum7
|
4.50
|
30oC
|
48 jam
|
|
Bacillus macerans8
|
4.00
|
30oC
|
48 jam
|
|
Zymomonas mobilis9
|
4.00
|
30oC
|
72 jam
|
Sumber: 1(Poonawala et al., 1965), 2(Gonzales et al., 2002), 3(Balasubramaniem et al., 2001), 4(Ana et
al., 2009), 5(Uma et al.,
2010), 6(Tamio et al.,
2009), 7(Solomon et
al., 2006), 8(Ahmed, 2008), 9(Al-Bakir and Whittaker,
2007)
Telah banyak pelaporan tentang aktivitas enzim Invertase yang dihasilkan oleh beberapa mikroorganisme, yang
memiliki kisaran aktivitas enzim pada suhu 25o-90oC
dengan pH antara 4.00 sampai 5.50. Namun, dari mikroorganisme yang disebutkan
diatas, menurut Harsono (2012), mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada
nira tebu dari jenis khamir yaitu Saccharomycess
cerevisiae dan dari jenis bakteri yaitu Leuconostoc
spp.
Gambar 1. Saccharomycess
cerevisiae (atas) dan Leuconostoc spp. (bawah)
Khamir yang hidup dalam nira tebu terdapat 26 spesies.
Namun khamir yang banyak hidup di dalam nira tebu terdiri dari 8 spesies
seperti Saccharomycess cereviceae,
Saccharomyces carlbergensis var. Alcohophila (kapang utama dalam proses
fermentasi), Pichia Candida guiliemondii,
Pichia fermentans, dan Candida
intermedia var. Etahopila. Khamir akan menghasilkan alkohol yang kemudian
dilanjutkan oleh Leuconostoc mesentroides
(Untara, 2011).
2.5 Solusi yang Pernah Diterapkan
Selama ini telah dilakukan beberapa upaya untuk mencegah degradasi
sukrosa yang menyebabkan rendahnya rendemen nira tebu yaitu dengan Potassium
Metabisulfit 0.01%, namun hal ini menimbulkan kekhawatiran adanya residu
Potassium Metabisulfit pada nira (Sangeeta et
al., 2013). Karena itu dikembangkan solusi lainnya menggunakan kombinasi
natrium benzoat dan potassium sorbat 1:1. Namun sayangnya, hal ini juga
menimbulkan kekhawatiran adanya residu natrium benzoat dan potassium sorbat
(Taufiqul, 2014).
Selain
penggunaan bahan-bahan kimia, menurut Nuriah dkk (2015) telah dikembangkan
antiinversi menggunakan kombinasi tekanan dan suhu, sayangnya hal ini berdampak negatif yaitu terjadinya penurunan
kualitas tebu dan butuh peralatan khusus. Selain
itu harga per prosesnya cukup mahal yaitu Rp 125.000,- sehingga tidak
dapat dijangkau petani tebu.
2.6
Gambir
Tanaman Gambir
(Uncaria gambir Roxb) merupakan tumbuhan
menjalar sebangsa kopi-kopian keluarga rubiaceae yang berproduksi dengan
baik pada jenis tanah podsolik merah kuning sampai merah kecoklatan dengan
curah hujan sekitar 3.000 – 3.353 mm (Zuldian, 2009). Keunggulan tanaman ini yaitu dapat dipanen secara
berkelanjutan tergantung dari perawatan yang kita lakukan. Tanaman ini bisa berumur puluhan tahun dan tetap bisa
menghasilkan getah dengan baik (Manan, 2008).
Bagian tanaman
Gambir yang dipanen adalah daun dan ranting yang selanjutnya diolah untuk
menghasilkan ekstrak Gambir yang bernilai ekonomis (Zuldian, 2009). Panen dan
pemangkasan daun dilakukan setelah tanaman berumur 1,5 tahun, tetapi produksinya masih relatif rendah, yaitu
sekitar 2.000 kg daun dan ranting muda tanaman Gambir atau setara dengan 100 kg Gambir kering
per hektar per panen. Pada umur 2 dan 2,5 tahun atau panen kedua dan ketiga,
produksi meningkat masing-masing dua dan tiga kali lipat dari panen pertama,
yaitu sebanyak 4.000 kg daun dan ranting muda tanaman Gambir atau
setara dengan 200 kg Gambir kering per hektar per panen dan 6.000 kg atau
setara dengan 300 kg Gambir kering per hektar per panen. Mulai tanaman
berumur tiga tahun ke atas produksi rata-rata sebanyak 6.900 kg daun dan
ranting muda tanaman Gambir atau setara dengan 550 kg Gambir kering
per hektar per panen dan relatif sama sampai berumur 10 tahun (Tinambunan,
2008).
Masa pemanenan paling menguntungkan pada tanaman Gambir dimulai
pada tahun ketiga atau keempat dan kadang kadang sampai umur 20 tahunan,
tergantung kepada cara pemangkasan dan perawatan yang dilakukan oleh petani Gambir
(Mediawati, 2010). Pemangkasan dilakukan
2-3 kali setahun dengan selang 4-6 bulan. Pangkasan daun dan ranting harus
segera diolah, karena jika pengolahan ditunda lebih dari 24 jam, getahnya akan
berkurang (Alim, 2011).
2.7
Potensi Bahan Baku
Alasan pemilihan Gambir yaitu karena lebih ekonomis dari segi harga jika
dibandingkan dengan tanaman yang memiliki kandungan polifenol (katekin dan
tanin) lainnya sebagai dijelaskan pada Tabel
3 berikut:
Tabel 3. Perbandingan Kandungan dan Harga Bahan Baku
No
|
Bahan
|
Kandungan
Polifenol
|
Harga/kg
|
Sumber
|
1
|
Daun Jambu Kering
|
7,82%
|
Rp 75.000
|
Sukardi dkk, 2007
|
2
|
Daun Alpukat Kering
|
22,07%
|
Rp 40.000
|
Lestari dkk, 2009
|
3
|
Daun Kejibeling (Strobhilantes
Crispa (L.) Blume
|
8, 17%
|
Rp 37.000
|
Amalia dkk, 2015
|
5
|
Daun Teh (Camellia sinensis L.)
|
17%
|
Rp 50.000
|
Politi et
al., 2011
|
4
|
Gambir (Uncaria
gambir Roxb)
|
75%
|
Rp 25.000
|
Roufiq dkk, 2007
|
Berdasarkan data pada Tabel 3 diatas, ditunjukkan bahwa
Gambir merupakan bahan baku dengan kandungan polifenol tertinggi dan harga
termurah yaitu Rp 25.000,- selain itu pada Tabel
4 berikut menunjukkan volume dan nilai ekspor Gambir yang terus meningkat
di Indonesia:
Tabel 4. Volume dan Nilai Ekspor Gambir
Tahun
|
Volume
(kg)
|
Nilai
(US$)
|
2005
|
3.372.135
|
5.404.972
|
2006
|
2.879.852
|
5.219.612
|
2007
|
7.626.716
|
11.459.020
|
2008
|
12.781.188
|
24.717.444
|
2009
|
11.667.606
|
23.184.711
|
2010 (jan-jul)
|
8.501.667
|
18.793.212
|
Sumber: Kanwil Beacukai Menurut Disperindag (2010)
Selain itu, ditinjau dari aspek lingkungan, tidak ada kompetisi penggunaan
lahan antara Gambir dengan tanaman lainnya. Tanaman Gambir yang berbentuk perdu
dengan sistem perakaran yang kuat dan daun yang menutup tersebut akan dapat
dipergunakan sebagai tanaman produktif di lahan marjinal yang datar maupun
lereng. Di samping itu, aspek lain dari kelayakan lingkungan adalah lingkungan
sosial budaya. Tanaman Gambir merupakan tanaman yang punya nilai sosial yang
tinggi karena luas tanaman yang diusahakan masing-masing keluarga merupakan
tingkat status sosial keluarga di tengah-tengah masyarakat (Manan, 2008).
2.8 Kandungan Kimia dan Pemanfaatan Daun Gambir
Komponen-komponen
kimia yang terdapat dalam Gambir dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5.
Komponen-komponen yang Terdapat dalam Gambir
No
|
Nama Komponen
|
Jumlah (%)
|
1
|
Cathecin
|
7 – 33
|
2
|
Asam catechutannat
|
20 – 55
|
3
|
Pyrocathecol
|
20 -33
|
4
|
Gambir flouresensi
|
1 – 3
|
5
|
Red catechu
|
3 – 5
|
6
|
Quersetin
|
2 – 4
|
7
|
Fixed oil
|
1 – 2
|
8
|
Lilin
|
1 – 2
|
9
|
Alkaloid
|
Sedikit
|
Sumber: Gumbira-Sa’id et al., 2009
Rauf, Santoso, dan Suparmo (2010) menyatakan bahwa
Gambir mengandung komponen polifenol cukup tinggi sebagai komponen utamanya
yaitu katekin (7-33%) dan tanin (20-55%). Katekin dan tanin merupakan senyawa
polifenol yang berpotensi sebagai antioksidan dan antibakteri (Arakawa et al., 2004). Menurut Pratten et
al. (1998), suatu zat antibakteri harus berinteraksi langsung dengan
dinding sel bakteri untuk masuk ke dalam sel bakteri tersebut.
Tanin pada Gambir
memiliki khasiat sebagai algisida, juga antibakteri dan antijamur (Diah, 2010;
Haryanto, 2009). Sedangkan katekin dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis
bakteri dan berperan juga sebagai antikarsinogenik (Amos dkk, 2005). Komposisi
dari dinding sel bakteri sangat mempengaruhi kemampuan zat antibakteri dalam
menghambat pertumbuhan bakteri.
Gambar 2. Katekin
(atas) dan Tanin (bawah) (Harborne, 1987)
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Cara Pembuatan AGAR
Cara pembuatan “AGAR” meliputi langkah-langkah pada
Gambar 3
berikut:
Persiapan Alat dan
Bahan
|
Pembuatan
Serbuk Daun Gambir Cubadak
|
Pembuatan Ekstrak
Kasar Daun Gambir Cubadak
|
Analisa
Total Fenol
|
Pengemasan
dan Penyimpanan
|
AGAR
siap digunakan
|
Gambar 3. Proses pembuatan AGAR
3.2 Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan meliputi
Sosialisasi, Pengajaran, dan Evaluasi (SERASI) yang disusun berdasarkan
kepedulian terhadap masyarakat yang diterapkan melalui beberapa tahapan
pelaksanaan sebagai berikut :
1. Persiapan Program
Dalam persiapan program ini akan dilakukan
proses :
a. Survei lokasi dan
perijinan
Observasi
langsung lokasi dan wawancara petani serta menghubungi kepala desa untuk
menjelaskan program, dan meminta izin pelaksanaan program serta bekerjasama
dalam pengumpulan peserta
b. Persiapan pelatihan
Menyusun jadwal kegiatan dan susunan acara pelatihan
dan menyiapkan perlengkapan penyelenggaraan pelatihan dan materi pelatihan
c. Persiapan alat dan bahan demonstrasi
d. Pembuatan modul pelatihan dan PPT pelatihan
2. Pelaksanaan Program
a. Sosialisasi
tentang bahaya pengawet sintetik/kimia kepada petani
b. Pelatihan
pembuatan AGAR, aplikasi AGAR pada tebu pasca panen, dan pengemasan AGAR
c. Pendampingan
pembuatan, aplikasi dan pengemasan AGAR
3.
Tahap Evaluasi
Pada
tahap ini, seluruh tahapan kegiatan dievaluasi keberhasilanya, sejauh mana
keberhasilan itu dicapai, dan diadakan perbaikan-perbaikan pada proses yang
dirasa belum optimal.
3.3 Kerangka Berpikir
Antibakteri
Gambir lebih efektif menghambat bakteri gram
positif daripada bakteri Gram
negative karena sasaran
polifenol Gambir tertuju pada dinding sel
bakteri. Sedangkan pada jamur, polifenol dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+
and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), dan perubahan
karakteristik morfologi hifa, bengkak dan tidak bisa memanjang. Selain itu,
juga dapat mendorong pembentukan oksigen reaktif intraseluler, kerusakan inti,
pemanasan membran plasma, dan berakhir dengan kematian jamur.
Mikroorganisme yang
paling banyak terdapat pada nira tebu Saccaromycess
cereviceae dan Leuconostoc spp. Saccaromycess cereviceae merupakan khamir dan Leuconostoc spp merupakan bakteri gram positif. Bateri gram positif lebih mudah dihambat
oleh polifenol. Sehingga, ekstrak kasar daun Gambir Cubadak berpotensi digunakan sebagai antiinversi
dengan cara menghambat maupun mematikan mikroorganisme penghasil enzim
invertase.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Mekanisme Penghambatan Inversi oleh AGAR
AGAR merupakan
larutan ekstrak kasar Gambir yang dapat digunakan tanpa pengenceran. Proses penghambatan
pertumbuhan mikroorganisme terjadi karena karena antibakteri
Gambir lebih efektif menghambat bakteri Gram positif daripada bakteri Gram
negatif, berarti sasaran penghambatan oleh polifenol Gambir tertuju pada
dinding sel bakteri. Diduga, polifenol berikatan dengan unit peptida pada
komponen peptidoglikan dari dinding sel. Terjadinya pengikatan itu dapat
mengacaukan integritas dinding sel bakteri dan menyebabkan kebocoran pada sel
bakteri Gram-positif. Pada bakteri Gram-negatif kenyataan itu tidak bisa
terjadi. Bahan ini akan merusak membran sel bakteri sehingga bakteri akan mati
dengan sendirinya. Selain itu, polifenol dapat mempengaruhi perubahan
gradien ion Ca2+ and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan
hifa), dan perubahan karakteristik morfologi hifa, bengkak dan tidak bisa
memanjang. Selain itu, juga dapat mendorong pembentukan oksigen reaktif
intraseluler, kerusakan inti, pemanasan membran plasma, dan berakhir dengan kematian.
Sedangkan menurut Harsono
(2012), mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada nira tebu Saccaromycess cereviceae dan Leuconostoc spp. Saccaromycess cereviceae merupakan khamir dan Leuconostoc spp
merupakan bakteri gram positif. Bakteri gram positif lebih mudah dihambat oleh
polifenol. Sehingga pengaplikasian “AGAR” ini
diharapkan mampu meningkatkan kualitas tebu pasca panen yang nantinya dapat
berimbas pada peningkatan jumlah produksi gula nasional.
4.2 Aplikasi AGAR dan Potensinya Sebagai Anti-Inversi
Metode
penyemprotan AGAR
merupakan salah satu faktor penting. Penyemprotan dilakukan menggunakan tangki
semprot dengan penyemprotan dilakukan di kedua ujung batang yang
dipotong lalu dilanjutkan ke seluruh batang tebu. Metode ini merupakan metode paling
aplikatif untuk dilakukan di lahan daripada disiram atau dengan cara
pencelupan. Selain itu, jika semakin lama waktu penggilingan, maka akan
menyebabkan reaksi invertase yang berkelanjutan menurunkan kadar sukrosa.
4.3 Pengaruh Penggunaan AGAR
Pasca
penggunaan AGAR pada
tebu pasca panen dan tunda giling selama tiga hari menunjukkan kadar rendemen nira tebu dapat dipertahankan pada
persentase 11,085% dengan pH 5,626. Selain itu, AGAR terbukti menurunkan pertumbuhan
mikroba hingga log 5.877 dan menurunkan kadar gula pereduksi hingga tersisa
hanya 0,649%. Hal ini dapat meningkatkan produktivits gula nasional yang dapat menekan
angka impor gula sebagaimana terlihat pada Tabel
6 berikut:
Tabel 6. Pengaruh
peningkatan rendemen nira
No
|
Rendemen nira tebu
|
Produksi Gula Nasional
|
Biaya impor gula (Rp)
|
1
|
7%
|
2 juta
ton/tahun
|
1 triliun/tahun
|
2
|
10%
|
3,5 juta
ton/tahun
|
-
|
3
|
11%
|
Swasembada Gula
|
-
|
4.4 Analisis SWOT AGAR
Tabel 7. Analisis SWOT AGAR
FAKTOR DARI DALAM
|
PELUANG (Opportunity)
|
ANCAMAN (Threat)
|
v Rendemen gula terus menurun
v Alternatif peningkatan rendemen gula yang telah
dilakukan kurang efektif
|
v Konsep antiinversi berbahan
ekstrak kasar Gambir berpotensi untuk ditiru.
|
|
KEKUATAN (Strength)
|
Strenght-Opportunity
Strategy
|
Strenght-Threat Strategy
|
v Efesien karena menghambat reaksi inversi secara
langsung.
v Aplikatif, karena penggunaannya sangat sederhana yakni
tdisemprotkan ke tebu pasca panen.
v Dapat berfungsi ganda, sebagai penghambat pertumbuhan
bakteri pensekresi enzim invertase dan meningkatkan kualitas rendemen
v Harga lebih murah
|
1.
Terus meningkatkan
formulasi “AGAR” sehingga kinerjanya semakin baik lagi.
|
1. Melakukan pengembangan kualitas dan inovasi “AGAR”,
sehingga penjiplakan berdasarkan kualitas oleh pesaing sulit dilakukan.
|
KELEMAHAN (Weakness)
|
||
v Produk “AGAR” belum diujikan pada semua
varietas tebu di Indonesia.
|
4.5 Pelaksanaan Introduksi AGAR
dengan Metode SERASI
4.5.1 Sosialiasi
Sosialisasi bertujuan untuk
menjelaskan bahaya pengawet kimia/sintetik khususnya pada tebu pasca panen dan
pengenalan AGAR sebagai antiinversi alami tebu. Instrumen
pelaksanaan
program ini adalah kuisioner, buku panduan dan kamera digital.
Gambar 4. Sosialisasi Bahaya Pengawet Kimia
4.5.2 Pelatihan Pembuatan AGAR
Pelatihan pembuatan AGAR meliputi
pemilihan daun Gambir yang tepat, persiapan alat dan bahan, proses pengolahan
Gambir hingga menjadi antiinversi berbahan dasar ekstrak kasar daun Gambir. Instrumen pelaksanaan program ini
adalah blender, oven, pisau, saringan, botol
semprot, baskom, buku panduan, kuisioner, dan kamera
digital.
Gambar 5. Pelatihan pembuatan AGAR
4.5.3 Pelatihan Aplikasi AGAR pada tebu pasca panen
Pelatihan ini bertujuan agar petani
dapat mengaplikasikan AGAR dengan baik dan benar.
Instrumen Pelaksanaan program ini adalah golok, meja, botol semprot, buku panduan, kuisioner, dan kamera digital.
Gambar 6. Pelatihan Aplikasi AGAR pada tebu pasca panen
4.5.4 Pelatihan Pengemasan AGAR
Pelatihan pengemasan
ini bertujuan untuk menjaga kualitas AGAR tetap baik sebelum digunakan sebagai
antiinversi di lapangan. Instrumen pelaksanaan program ini
adalah botol semprot berwarna gelap, kamera digital, stiker produk dan kuisioner.
Gambar 7. Pelatihan Pengemasan AGAR
4.5.5 Evaluasi Pasca Pelatihan
Pasca pelatihan sebanyak 93% masyarakat paham cara
membuat AGAR dan mampu mengaplikasikan AGAR pada tebu pasca panen. Gambar
berikut merupakan persentase pemahaman masyarakat pasca pelaksanaan program dan
Berdasarkan pelaksanaan metode SERASI tersebut, diperoleh uraian capaian
pelaksanaan introduksi AGAR menggunakan metode SERASI pada Tabel 8 sebagai berikut:
Tabel
8. Uraian Pelaksanaan dan Capaian
Metode SERASI
No
|
Uraian
|
Target
|
Capaian
|
1.
|
Sosialisasi
|
100%
|
100%
|
2.
|
Pengajaran
|
100%
|
100%
|
Pelatihan Pembuatan AGAR
|
100%
|
100%
|
|
Pelatihan Aplikasi AGAR pada tebu pasca panen
|
100%
|
100%
|
|
Pelatihan Pengemasan AGAR
|
100%
|
100%
|
|
3.
|
Evaluasi
|
100%
|
100%
|
Aplikasi AGAR pada tebu pasca panen
|
100%
|
100%
|
|
Pengemasan AGAR
|
100%
|
100%
|
4.6 Jadwal Pelaksanaan Program Beserta Indikator Jangka Pendek
Tabel 9 berikut ini merupakan
jadwal pelaksanaan progam AGAR beserta indikator jangka pendek setiap kegiatan:
Tabel 9. Jadwal Pelaksanaan Program Beserta Indikator
Jangka Pendek
Jenis kegiatan
|
Bulan ke-
|
Indikator Jangka Pendek
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|||
Pelaksanaan
|
|||||||
Kesepakatan
kerjasama
|
Didapatkan surat
kesepakatan kerja sama
|
||||||
Survey lokasi
|
Didapatkan
gambaran keadaan wilayah dan sosial masyarakat sasaran
|
||||||
Pembelian
peralatan dan bahan
|
Didapatkan alat
dan bahan penunjang pembuatan AGAR
|
||||||
Sosialisasi
|
Didapatkan hasil
kuisioner tentang kepahaman materi yang disampaikan
|
||||||
Pengajaran
|
masyarakat
mengerti cara membuat AGAR
|
||||||
Evaluasi
|
|||||||
Proses pembuatan
|
Masyarakat mampu
membuat AGAR
|
||||||
Proses pengaplikasian
|
Masyarakat mau
mengaplikasikan AGAR
|
||||||
Proses
pengemasan
|
Masyarakat mampu
mengemas AGAR
|
||||||
4.7 Kemanfaatan Bagi Masyarakat
Introduksi AGAR dengan metode SERASI
memiliki kemanfaatan sebagai dijelaskan pada Tabel 10 berikut:
Tabel 10.
Kemanfatan program bagi
masyarakat
Parameter
|
Sebelum
|
Sesudah
|
Rendemen nira tebu
|
≤7%
|
>10%
|
Pendapatan Tambahan
|
Tidak ada
|
Ada
|
Kelompok Percontohan
|
Tidak ada
|
Ada
|
Selain pelaksanaan
sosialisasi dan pelatihan, juga dibentuk satu kelompok percontohan.
Kelompok yang terpilih kemudian melakukan kesepakatan dan perjanjian untuk
memproduksi dan mengaplikasikan AGAR secara kontinyu dan memotivasi serta mendampingi secara langsung
kelompok lainnya dalam membuat antiinversi
AGAR.
Dampak kemanfaatan program ini bagi masyarakat secara
langsung adalah masyarakat dapat membuat antiinversi AGAR yang aman, ramah lingkungan,
berharga jual tinggi dibandingkan
daun Gambir, dan mengaplikasikan AGAR pada tebu pasca panen untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas rendemennya. Sedangkan secara tidak langsung
yaitu terbentuk sistem manajerial persatuan pengrajin AGAR yang terorganisir
sehingga kelompok tersebut berperan sebagai unit percontohan yang akan menginisiasi daerah di
sekitarnya dimana perekonomian akan tumbuh dengan maksimal di wilayah
disekitarnya.
4.8 Rencana Tahapan Berikutnya
Berikut ini
merupakan rencana tahapan selanjutnya program SERASI:
1.
Menindaklanjuti pengurusan
sertifikasi PIRT dan BPOM untuk memberikan jaminan kemanan bagi konsumen.
2.
Mengurus perizinan sebagai
supplier AGAR sehingga daerah kelompok percontohan pengrajin AGAR dapat menjadi
sentra produsen AGAR yang produknya dapat diterima di pasaran.
BAB V. PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Pembuatan “AGAR” meliputi
persiapan alat dan bahan, pembuatan serbuk daun Gambir, pembuatan ekstrak kasar
daun Gambir, analisa total fenol, dan pengemasan serta penyimpanan. Sedangkan
untuk aplikasinya “AGAR” langsung disemprotkan ke tebu pasca panen.
2. Adapun “AGAR” memiliki kekuatan
(Strength) yakni efisien karena dapat mencegah kerja enzim invertase secara
langsung dan aplikatif karena penggunaannya mudah yaitu cukup dengan
disemprotkan saja. Kelemahan (Weakness) karena “AGAR” belum diujikan pada berbagai jenis varietas
tebu di Indonesia. Kesempatan (Opportunities) karena produktivitas gula semakin
menurun dan belum ada alternatif yang efisien. Serta ancaman (Threat) konsep
antiinversi pada tebu pasca panen berpotensi untuk ditiru oleh pesaing.
3.
Metode
yang paling tepat yaitu SERASI (Sosialisasi, Pengajaran, dan Evaluasi) sehingga
petani dapat membuat dan mengaplikasikan AGAR sehingga terbentuk kelompok
percontohan terorganisir sehingga secara tidak langsung
meningkatkan taraf ekonomi dan kesejahteraan petani tebu.
5.2 Saran
a)
Diharapkan
masyarakat semakin perhatian dan peduli terhadap persediaan gula yang produktivitasnya
semakin menurun.
b)
Diharapkan
pemerintah mendukung setiap inovasi yang telah ditemukan menangani masalah
menurunnya produktivitas gula.
c)
Diharapkan
para akademisi untuk selalu mengembangkan inovasi terbaru yang selalu mendukung
program pemerintah untuk menciptakan metode alternatif terbarukan yang berbasis
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, S., Syafnir, L., dan Purwanti, L. 2015. Pengaruh Letak Daun terhadap Kadar Katekin
Total pada Daun Kejibeling (Strobhilantes Crispa (L.) Blume. Prosiding
Penelitian SPeSIA 2015. Farmasi. Unisba.
Amos, H. Henanto, S. Royaningsih, dan F. Laura. 2005. Kandungan Catechin pada Gambir. Makalah
pada Seminar Nasional ke XVII & Kongres ke X Perhimpunan Biokimia &
Biologi Molekuler Indonesia di Pekanbaru, Riau.
Apea-Bah, F. B. et al. 2009. Assessment of the DPPH and รก-glucosidase Inhibitory Potential of Gambier
and Qualitative Identification of Major Bioactive Compound. Journal of Medicinal Plants Research
Vol. 3(10): 736-757.
Arakawa, H., M. Masako, S. Robuyusi dan Miyazaki. 2004. Role of hydrogen peroxide in bactericidal
action of Catechin. Biological & Pharmaceutical Bulletin, Vol. 27 No.
3227: 227-228.
DeConinck,
B.; Cammue, B. P. A.; Thevissen, K. 2012. Modes
of Antifungal Action and In Planta Functions of Plant Defensins and Defensin-Like Peptides. Fungal
Biology Reviews, Belgium, n. 26, p. 109-120.
Filianty, F., S. Raharja, dan P. Suryadarma. 2007. Perubahan Kualitas Nira Tebu (Saccharum officarum) Selama Penyimpanan
dengan Penambahan Akar Kawao (Millettia
Sp.) dan Kulit Batang Manggis (Garcinia
mangostana L.) Sebagai Bahan Pengawet. J.
Tek. Ind. Pert. Vol. 20 (1), 57-64.
Ghasemnejad Maleki, M.H., Jamshidi, A. 2011. Forecast Model of Sugar Loss Due To
Mechanical Harvesting of The Sugarcane Crop. Aust. J. Basic Appl. Sci.,
5(12): 1190-1194.
Hidayat, S., dan
Rodame, N. 2015. Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Lestari, T. 2009. Dampak Konversi Lahan
Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani. [Skripsi]. Bogor. Institut
Pertanian Bogor.
Madsen, Lee. 2009. Iron Mediated Precipitation of
Phenol:Protein Aggregates From Sugar Cane Juice. [Dissertation]. Department
of Chemistry. Louisiana State University.
Pambayun, Rindit, Murdijati Gardjito,
Slamet Sudarmadji, dan Kapti Rahayu Kuswanto. 2007. Kandungan Fenol dan Sifat Antibakteri dari Berbagai Jenis Ekstrak
Produk Gambir (Uncaria gambir Roxb). Majalah Farmasi Indonesia 18
(3). Hal 141 – 146.
Pratten, J., K. Wills,
P. Barnett, dan M. Wilson. 1998. In
Vitro Studies of The Effect of Antiseptic-Containing Mouthwashes on The
Formation and Viability of Streptococcus sanguis Biofilms. Journal of Applied Microbiology 84, 1149-1155.
Rao, K., Aradhana R.,
Banjii D., Chaitanya R., and Kumar A.A. 2011. In Vitro Anti Oxidant and Free Radical Scavenging Activity of
Various Extracts of Tectona grandis Linn Leaves. Journal of
Pharmacy Research 2(4): 440-442.
Risfaheri, Emmyzar dan
H. Muhammad, 1991. Budiaya dan
Pascapanen Gambir. Temu tugas Aptek Pertanian Sub Sektor Per-kebunan 3-5
September. Solok.
Roufiq, N., Hadad, M.
E. A., dan Hasibuan, A. M. 2007. Status
Teknologi Budidaya dan Pengolahan Gambir. Balai Besar Penelitian Dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Sangeeta, B. S. Hathan, and B.S. khatkar. 2013. Studies on
Stability of Sugarcane Juice Blended with Anola Juice at
Refrigerated and Room Temperature. International
Journal of Agriculture and Food Science Technology. ISSN 2249-3050, Volume
4, Number 10 (2013), pp. 1027-1036
Saxena, P.,
Srivastava, R.P., Sharma, M.L. 2010. Impact
of Cut To Crush Delay and
Biochemical Changes In Sugarcane. Aust. J. Crop Sci., 4(9): 692 699.
Singh, I., Solomon, S.
2003. Postharvest Quality Loss of
Sugarcane Genotypes Under Sub Tropical Climate: Deterioration of Whole Stalk
And Billets. Sugar Tech., 5(4): 285 288.
Solomon, S., Banerji,
R., Shrivastava, A.K., Singh, P., Singh, I., Verma, M., Prajapati, C.P.,
Sawnani, A. 2006. Post Harvest
Deterioration of Sugarcane and Chemical Methods To Minimise Sucrose Losses.
Sugar Tech., 8(1): 74 78.
Solomon, S. 2009. Postharvest Deterioration of Sugarcane.
Sugar Tech., 11(2): 109-123.
Solomon, S., Ramaduri,
R., Shanmugnathan, S., Shrivastava, A.K., Deb, S., Singh, I., 2003. Management of Biological Losses In Milling
Tandem To Improve Sugar Recovery. Sugar Tech., 5(3): 137-142.
Solomon, S.,
Srivastava, A.K., Singh, P., Singh, I., Sawnani, A., Prajapati, C.P., 2007. An Assessment of Postharvest Sucrose Losses
In Sugarcane Billets Under Subtropical Conditions. Proc. Int.
Soc. Sugar Cane Technol., 26: 1513 1520.
Zamarel dan Risfaheri, 1991. Perkembangan Penelitian Tanaman Industri
Lain. Edisi Khusus Littro VII (2).Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Bogor.
No comments:
Post a Comment