I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tebu
termasuk komoditas perkebunan penting di Indonesia sebagai penghasil nira tebu
yang merupakan bahan baku gula (Soetopo dkk, 2012). Perkebunan tebu di
Indonesia mencapai luas areal 321 ribu hektar (Datir and Joshi, 2015). Luas
areal tebu di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir secara umum mengalami
pertumbuhan 0,71 persen per tahun. Produksi tebu juga tumbuh dengan laju
sebesar 3,54 persen per tahun namun produktivitas rata-rata hablur baru
mencapai 5,82 ton/ha dari kondisi potensialnya 8 ton/ha (Tinambunan, 2010).
Masalah
lainnya yaitu rendemen tebu yang dihasilkan terlalu rendah (7%) sementara
rendemen minimal yang diterima pabrik yaitu 8% (Filianty dkk, 2007). Jika
dibandingkan dengan negara lain, rata-rata rendemen tebu yang dihasilkan diatas
10%. Bahkan Brasil dan Kuba telah mencapai rendemen sekitar 14% (Datir and
Joshi, 2015). Indonesia mampu memproduksi sekitar 2,4 juta ton gula/tahun
dengan tingkat rendemen 7%. Jika rendemen ditingkatkan
menjadi 10%, Indonesia mampu memproduksi 3,5 juta ton gula/tahun dan diprediksi
mampu memenuhi target swasembada gula jika rendemen tebu mencapai 14% (Winata,
2013).
Salah
satu penyebab menurunnya rendemen gula yaitu akibat proses menunggu (down time), padahal jika nira disimpan
lebih 4 jam akan terjadi penurunan pH, hal ini dikarenakan fermentasi nira oleh
mikroorganisme (Lakshmanan et al.,
2009). Penurunan rendemen tersebut dikarenakan sukrosa terdegradasi menjadi
gula-gula sederhana (invert) yang tidak dapat dikristalisasi (Singh and
Solomon, 2003; Ghasemnejad and Jamshidi, 2011). Degradasi sukrosa terjadi
karena adanya peningkatan keasaman, suhu, mikroorganisme dan enzim-enzim di
dalam nira. Kerusakan sukrosa terjadi secara cepat antara 24 jam-48 jam dan pembentukan
dekstran terjadi sangat cepat pada 48 jam-72 jam setelah tebu dipanen (Saxena et al., 2010). Degradasi sukrosa
tersebut disebabkan oleh mikroorganisme dari jenis khamir dan bakteri (Solomon et al., 2007; Saxena et al., 2010). Mikroorganisme ini memanfaatkan
glukosa pada tebu yang dikonversi dari sukrosa maupun glukosa yang sudah
terbentuk secara alami (Solomon et al.,
2003).
Solusi
yang pernah diterapkan sebelumnya yaitu penyemprotan tebu menggunakan air
bersih (Solomon, 2003), Sodium Metasilicate 5% (Layoso and Rosario, 2005),
Sucroguard (Kulkarni and Warne, 2007), Potassium Permanganate (Amaya et al., 2009), Thiocarbamate (Smith et al., 2009), Tsunami-100 (Ecolab,
2010), 150 ppm larutan klorin (Mahbubur et
al., 2012), dan Potassium Metabisulfit 0.01% (Sangeeta et al., 2013). Solusi sebelumnya dianggap kurang optimal sehingga
diperlukan penanganan tebu pasca panen yang lebih baik.
Produktivitas gambir sangat tinggi
sehingga mampu memasok 80% kebutuhan gambir dunia (Amos et al. 2014). Pemanfaatan gambir selama ini masih belum optimal
karena kurangnya pengetahuan masyarakat dalam ekstraksi gambir (Nazir, 2011). Gambir
sebagian besar hanya diolah untuk zat pewarna dalam industri batik, industri
penyamak kulit, ramuan makan sirih, bahan baku pembuatan permen dalam acara
adat di India dan sebagai penjernih pada industri air (Zamarel dan Risfaheri, 2015).
Padahal gambir sangat potensial untuk diaplikasikan di bidang pengolahan pangan
(Naufalin, 2015).
Gambir
mengandung turunan senyawa fenol terutama katekin dan tanin (Pambayun et al., 2007). Senyawa fenol pada daun
gambir berpotensi sebagai antimikroba (Arakawa et al., 2007; Tinambunan, 2010). Keunggulan lainnya, fenol daun
gambir dinyatakan aman digunakan (Apea-Bah, 2009; Lestari, 2009), sehingga aman
digunakan dalam pengolahan pangan, salah satunya penghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada nira tebu pasca panen. Berdasarkan permasalahan diatas
penulis mengajukan penelitian berjudul Potensi Antimikroba Ekstrak Daun Gambir
(Uncaria gambir var Cubadak) Terhadap
Bakteri dan Khamir Nira Tebu (Saccharum officinarum).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah
ekstrak daun gambir memiliki potensi aktivitas antimikroba terhadap pertumbuhan
bakteri dan khamir pada nira tebu?
2.
Apakah
metode ekstraksi daun gambir memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri
dan khamir nira tebu?
3.
Apakah
konsentrasi ekstrak daun gambir memberikan pengaruh terhadap Kadar Hambat
Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM)?
1.3 Tujuan
Tujuan
dari penelitian ini yaitu:
1.
Mengetahui potensi aktivitas antimikroba ekstrak daun gambir
terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir pada nira tebu.
2.
Mengetahui pengaruh metode ekstraksi daun gambir terhadap pertumbuhan
bakteri dan khamir nira tebu.
3.
Mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak daun gambir
terhadap Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM).
1.4 Manfaat
Penelitian
ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Memberikan informasi tambahan bagi masyarakat
luas terutama para peneliti di bidang teknologi hasil pertanian tentang potensi
daun gambir (Uncaria gambir Roxb.)
sebagai antimikroba.
2.
Memberikan alternatif pengawet nira tebu alami
berbasis antimikroba kepada masyarakat disamping pengawet kimia yang telah ada.
1.5 Hipotesa
Diduga
metode ekstraksi dan konsentrasi ekstrak daun gambir memberikan pengaruh
terhadap aktivitas antimikroba terhadap
pertumbuhan bakteri dan khamir pada nira tebu yang dibuktikan dengan Kadar
Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tebu
2.1.1 Klasifikasi Ilmiah
Berikut
merupakan klasifikasi botani tanaman tebu (Madsen, 2009):
Kingdom :
Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi :
Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas :
Liliopsida (berkeping satu/monokotil)
Sub kelas : Commelinidae
Ordo :
Poles
Famili :
Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus :
Saccharum
Spesies :
Saccharum officinarum L.
2.1.2 Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum
officinarum) merupakan tanaman tropis tahunan yang berasal dari Guinea dan
termasuk kedalam kelompok Gramineae (rumput-rumputan) (Solomon et al., 2003). Tanaman ini memerlukan
udara panas yaitu 24-30ºC dengan perbedaan suhu musiman tidak lebih dari 6ºC,
perbedaan suhu siang dan malam tidak lebih dari 10ºC. Tanah yang ideal bagi
tanaman tebu adalah tanah berhumus dengan pH antara 5,7 hingga 7 (Racowski et al., 2015). Tebu merupakan tanaman
dengan aktivitas fotosintesis yang tertinggi (aktivitasnya bila dibandingkan
dengan tanaman lainnya sekitar 150-200%) (Layoso and Rosario, 2005).
Menurut Mahbubur
(2012), morfologi tanaman tebu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 4
bagian, yaitu:
1. 1. Akar :
berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih
2.
Batang : berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh
buku-buku, penampang melintang agak pipih, berwarna hijau kekuningan.
3.
Daun : berbentuk pelepah, panjang 1-2 m,
lebar 4-8 cm, permukaan kasar dan berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga
hijau tua.
4. Bunga :
berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm.
Tanaman
tebu mempunyai batang yang tinggi, tidak bercabang dan tumbuh tegak dengan
tinggi batangnya mencapai 3-5 meter atau lebih (Smith et al., 2009). Komposisi batang tebu terdiri dari 12,5% serabut dan
87,5% nira. Komposisi nira terdiri dari 75-80% air dan sekitar 20-25% bahan
kering (P3GI, 2008). Di dalam bahan kering inilah terkandung sukrosa. Akumulasi
sukrosa rendah pada bagian batang muda (Soetopo dkk, 2012).
Tebu (Saccharum
officinarum) merupakan tanaman tahunan yang dipotong batang utamanya untuk
diambil niranya. Batang tebu memiliki kandungan sukrosa dengan rentang 10-15%
dari total nira tebu (P3GI, 2008). Gula cair, gula pasir, gula merah dan
sejenisnya diproduksi dari nira ini. Sebagai sebuah tanaman tahunan yang terus
tumbuh, satu tanaman tebu akan mampu dipanen tiga hingga enam kali panen
sebelum diganti dengan tanaman baru (Ghasemnejad and Jamshidi, 2011).
Tanaman
tebu harus dipanen secara bergiliran dengan mengatur varietas umur masak yaitu
masak awal (± 8-10 bulan), masak tengah (± 10-12 bulan), dan masak lambat
(>12 bulan) (Padovan, 2009). Batang tebu berdiri tegak dengan diameter 3-4
cm dan tinggi 2-4 m serta tidak bercabang. Bentuk daun tebu berupa belaian
dengan pelepah. Panjang daun dapat mencapai 1-2 m dan lebar 4-8 cm dengan
permukaan kasar berbulu (Untara, 2011).
2.1.3
Nira Tebu
Nira tebu merupakan
cairan hasil perasan yang diperoleh dari penggilingan tebu yang memiliki warna
coklat kehijauan (DeConinck et al.,
2012). Nira tebu mengandung senyawa-senyawa kimia baik yang membaur terlarut
maupun yang membentuk koloid (Verma et al.,
2012; Padovan, 2009). Sukrosa dalam nira tebu serta selulosa dalam serat
merupakan dua komponen utama penyusun tanaman tebu, masing-masing komponen
tersebut tersusun atas gula sederhana. Sukrosa atau yang biasa dikenal sebagai
gula pasir merupakan gabungan dari glukosa dan fruktosa. Selulosa yang
merupakan serat-serat penyusun ampas adalah suatu polimer dari glukosa
(Racowski et al., 2015). Secara bebas
tanpa berikatan, glukosa, dan fruktosa ditemukan pada tebu dalam jumlah yang
lebih sedikit dibanding dengan sukrosa (Untara, 2011). Komposisi nira tebu
dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Komposisi Nira Tebu
No
|
Komposisi
Nira Tebu
|
Jumlah
|
1
|
Air
|
70-75%
|
2
|
Sukrosa
|
11-16%
|
3
|
Gula Reduksi
|
0,4-2%
|
4
|
Organik non-gula
|
0,5-1%
|
5
|
Mineral
|
0,5-1%
|
6
|
Serat
|
10-16%
|
Sumber: Smith et al. (2009)
2.2 Solusi yang Pernah Diterapkan Sebelumnya
Sebelumnya,
telah ada beberapa upaya untuk mencegah degradasi sukrosa yang menyebabkan
rendahnya rendemen nira tebu. Tabel 2.2 berikut ini merupakan beberapa
penelitian yang telah diterapkan sebelumnya:
Tabel 2.2 Solusi yang pernah diterapkan sebelumnya
No
|
Penanganan
Tebu Pasca Panen
|
Kelemahan
|
Sumber
|
1
|
Disemprot menggunakan
air bersih
|
Tidak
efektif, harus dilakukan setiap hari selama penyimpanan
|
Solomon,
2003
|
2
|
Disemprot dengan Sodium Metasilicate 5%
|
Tidak berpengaruh
signifakan
|
Layoso and Rosario, 2005
|
3
|
Sucroguard 10 ppm
|
Mahal
|
Kulkarni
and Warne, 2007
|
4
|
Thiocarbamate
|
Kekhawatiran adanya
bahan kimia
|
Smith et al., 2009
|
5
|
Potassium
Permanganate
|
Membahayakan
kesehatan
|
Amaya
et al., 2009
|
6
|
Tsunami-100 (bahan aktif asam peroksi asetat
15.2% dan hidrogen peroksida 11.2%)
|
Beracun oral akut
dengan dosis 150 mg/kg
|
Ecolab, 2010
|
7
|
Direndam dengan 150
ppm larutan klorin selama 15 menit
|
Kekhawatiran
adanya residu klorin
|
Mahbubur
et al., 2012
|
8
|
Dicuci dengan Potassium Metabisulfit 0.01%
|
Kekhawatiran adanya
residu Potassium Metabisulfit
|
Sangeeta et al., 2013
|
Berdasakan
solusi yang telah diterapkan sebelumnya, masih terdapat banyak kelemahan
khususnya kekhawatiran adanya residu yang berpotensi menyebabkan dampak negatif
bagi manusia dan belum efektifnya mencegah degradasi sukrosa.
2.3 Mikroorganisme
yang Berperan dalam Reaksi Inversi Sukrosa
Tebu setelah ditebang masih
melakukan kegiatan respirasi sehingga dihasilkan panas yang mengakibatkan
penurunan kelembapan. Kondisi ini merupakan lingkungan yang ideal bagi
pertumbuhan mikroorganisme. Ditunjang pula dengan kerusakan mekanis pada ujung
batang akibat pemotongan batang tebu saat pemanenan yang memudahkan
mikroorganisme menembus jaringan batang tebu dan menghasilkan enzim Invertase
(Prasetiyo, 2015; Purwani dkk, 2008).
Enzim Invertase dapat dihasilkan dari berbagai
macam organisme, seperti pada kapang: Aspergillus niger (Aranda et al., 2014), A. caepitosus (Ana
et al., 2009), A. ochraceus (Guimaraes
et al., 2009), Cladosporium
cladosporioides (Almeida et al.,
2005), A. versicolor, C. herbarum, Mortierella minutissima, Penicillium
chrysogenum, Sclerotium sp (Almeida et
al., 2005), khamir: Candida utilis (Solomon et al., 2006), Saccharomyces
cerevisiae (Haq and Ali, 2007; Amaya et
al., 2009) serta bakteri: Bacillus macerans (Ahmed, 2008), Zymomonas mobilis (Al-Bakir and
Whittaker, 2007), Leuconostoc
mesentroides dan Leuconostoc dextranicum (Solomon et al., 2007).
Telah banyak pelaporan tentang
aktivitas enzim Invertase yang
dihasilkan oleh beberapa
mikroorganisme, yang memiliki kisaran aktivitas enzim pada suhu 25o-60oC
dengan pH antara 4,00 sampai 5,50. Namun dari mikroorganisme yang disebutkan
diatas, menurut Harsono (2012) mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada
nira tebu yaitu dari jenis bakteri dan khamir. Patil et al. (2012) menambahkan bahwa mikroorganisme pada nira tebu terdiri dari
bakteri aerob pembentuk spora, bakteri aerob tidak membentuk spora, dan bakteri
pembentuk lendir gum. Hasil penelitian Widyawati dkk (2015) juga
menyebutkan terdapat 26 spesies khamir yang hidup dalam nira tebu
2.4 Akibat Reaksi Inversi Sukrosa
Kerusakan gula atau sukrosa
dapat disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme ataupun perlakuan proses
(misalnya asam, suhu tinggi, dan lainnya) (Kuswurj, 2009; Srivastava et al., 2006). Inversi sukrosa dapat
terjadi saat proses tebang angkut maupun proses pengolahan, terutama jika
kondisi lingkungan cukup mengandung enzim Invertase. Tebu pasca panen saat di
lahan, pengiriman dari lahan ke pabrik, dan penggilingan merupakan subyek yang
mudah mengalami infeksi oleh mikroorganisme terutama oleh bakteri penghasil
dekstran (Prasetiyo, 2015). Lama waktu penundaan dapat meningkatkan proses
infeksi dan penyusutan terhadap tebu (Kuswurj, 2009).
Invertase adalah enzim yang terdapat dalam nira tebu atau hasil
aktivitas ekstraseluler mikroorganisme yang mengkatalisis reaksi inversi dan
turut memicu kerusakan sukrosa (Xu et al.,
2009; Srivastava et al., 2009).
Reaksi yang dilakukan oleh invertase disebut reaksi inversi (Madsen, 2009).
Reaksi inversi adalah reaksi hidrolisis irreversible karena satu molekul
sukrosa dan satu molekul air menghasilkan satu molekul glukosa dan satu molekul
fruktosa. Glukosa dan fruktosa merupakan gula sederhana (invert) (Srivastava
et al., 2006).
Menurut Kuswurj (2009),
inversi sukrosa dapat terjadi pada proses tebang angkut maupun proses
pengolahan terutama jika kondisi lingkungan cukup mengandung mikroorganisme
penghasil enzim Invertase untuk melakukan aktivitasnya. Enzim ini termasuk
enzim hidrolase yaitu enzim yang mengkatalisa reaksi hidrolisa suatu substrat
atau pemecahan substrat dengan bantuan molekul air. Degradasi secara
enzimatis terjadi ketika ikatan α-1,2-glikosidik dihidrolisis oleh enzim
invertase (D-fructofuranosidase, EC 3.2.1.26) atau sucrose synthase (UDP
glucose: D-fructose 2-D glucosyltransferase, EC 2.4.1.13).
Hidrolisis sukrosa menghasilkan campuran glukosa dan fruktosa yang disebut
dengan gula invert (invert sugar). Reaksi hidrolisis sukrosa oleh
invertase (juga disebut sebagai sucrase atau saccharose) (Madsen,
2009; Srivastava et al., 2009).
Molekul sukrosa terdiri dari
molekul glukosa dan fruktosa yang saling berikatan. Proses terjadinya reaksi
inversi berawal dari terikatnya molekul sukrosa pada enzim Invertase yang
kemudian mengalami hidrolisis dengan penambahan H2O (Skowronek et al., 2013). Reaksi hidrolisis ini
mengakibatkan ikatan antara fruktosa dan glukosa terpecah menghasilkan satu
molekul glukosa dan satu molekul fruktosa yang tidak berikatan dan terlepas
dari enzim (Srivastava et al., 2006).
Inversi sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa merupakan masalah utama pada tebu
dan dapat menyebabkan penurunan rendemen yang nyata (Haq and Ali, 2007).
2.5
Gambir
2.5.1 Klasifikasi Ilmiah
Klasifikasi ilmiah tanaman gambir menurut Ridawati
(2008) yaitu sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi :
Magnoliophyta
Kelas :
Magnoliopsida
Ordo :
Gentianales
Famili :
Rubiaceae
Genus :
Uncaria
Species :
Uncaria gambir
2.5.2 Tanaman Gambir
Tanaman
gambir (Uncaria gambir Roxb) merupakan tumbuhan menjalar sebangsa
kopi-kopian keluarga rubiaceae tumbuhan perdu setengah merambat dengan
percabangan memanjang, batang tegak sampai 100 cm (Lestari, 2009). Tanaman
gambir tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 200 m-900 m dari permukaan
laut mulai dari topografi agak datar sampai di lereng bukit. Tanaman ini
berproduksi dengan baik pada jenis tanah podsolik merah kuning sampai merah
kecoklatan dengan curah hujan sekitar 3.000 – 3.353 mm (Risfaheri dkk, 2011).
Daun
gambir tumbuh tunggal pada tangkai batang dan saling berhadapan, berwarna hijau
dan memiliki panjang 8-13 cm dan lebar 4-7 cm. Bentuk daun oval, bagian ujung
meruncing, warna daun hijau, tangkai daun pendek, bagian tepi daun bergerigi
dan permukaan tidak berbulu. Tanaman gambir memiliki bunga majemuk berbentuk
lonceng dan berwarna merah muda atau hijau yang tumbuh di ketiak daun (Mahbubur
et al., 2012). Bunga gambir memiliki
panjang sekitar 5 cm dengan lima helai mahkota bunga seperti bunga Kopi. Buah
gambir berbentuk bulat telur, berwarna hitam memiliki panjang sekitar 1,5 cm
dan dua ruang buah (Hadad dkk, 2008). Pada bagian luarnya terdapat sayap yang
memungkinkan biji gambir tersebar karena angin. Di dalam inti biji terdapat calon
akar radicula, calon batang cauliculus, dan daun lembaga cotyledone
(Rishaferi dkk, 2005).
Bagian
tanaman gambir yang dipanen adalah daun dan ranting yang selanjutnya diolah
untuk menghasilkan ekstrak gambir yang bernilai ekonomis (Risfaheri dkk, 2011;
Lestari, 2009). Pemanen dan pemangkasan daun dilakukan setelah tanaman berumur
1,5 tahun, tetapi produksinya masih relatif rendah, yaitu sekitar 2.000 kg daun
dan ranting muda tanaman gambir atau setara dengan 100 kg gambir kering per
hektar per panen. Pada umur 2 tahun dan 2,5 tahun atau panen kedua dan ketiga,
produksi meningkat masing-masing dua dan tiga kali lipat dari panen pertama,
yaitu sebanyak 4.000 kg daun dan ranting muda tanaman gambir atau setara dengan
200 kg gambir kering per hektar per panen dan 6.000 kg atau setara dengan 300
kg gambir kering per hektar per panen. Mulai tanaman berumur tiga tahun ke atas
produksi rata-rata sebanyak 6.900 kg daun dan ranting muda tanaman gambir atau
setara dengan 550 kg gambir kering per hektar per panen dan relatif sama sampai
berumur 10 tahun (Tinambunan, 2010).
Masa
pemanenan paling menguntungkan pada tanaman gambir dimulai pada tahun ketiga
atau keempat dan kadang-kadang sampai umur 20 tahunan, tergantung kepada cara
pemangkasan dan perawatan yang dilakukan oleh petani gambir (Manan, 2012).
Pemangkasan dilakukan 2-3 kali setahun dengan selang 4-6 bulan. Pangkasan daun
dan ranting harus segera diolah, karena jika pengolahan ditunda lebih dari 24
jam, getahnya akan berkurang (Amos et
al., 2014). Disebutkan pula daun gambir yang ditunda pengolahannya selama
dua hari akan menurunkan kandungan fenol dan rendemennya (Kasim, 2010).
Ditinjau
dari aspek lingkungan, tidak ada kompetisi penggunaan lahan antara gambir
dengan tanaman lainnya. Tanaman gambir yang berbentuk perdu dengan sistem
perakaran yang kuat dan daun yang menutup tersebut akan dapat dipergunakan
sebagai tanaman produktif di lahan marjinal yang datar maupun lereng
(Lakshmanan et al., 2009). Aspek lain
dari kelayakan lingkungan adalah lingkungan sosial budaya. Tanaman gambir
merupakan tanaman yang memiliki nilai sosial yang tinggi karena luas tanaman
yang diusahakan masing-masing keluarga merupakan tingkat status sosial keluarga
di tengah-tengah masyarakat (Manan, 2012).
2.5.3 Kandungan Kimia Daun Gambir
Penelitian tentang eksplorasi
komponen antioksidan ekstrak gambir telah dilaporkan oleh Naufalin (2015) yang
menyatakan bahwa gambir mengandung polifenol cukup tinggi dengan komponen
utamanya yaitu katekin dan tanin. Sedangkan menurut Pambayun et al. (2007), gambir mengandung turunan
senyawa polifenol yaitu katekin, tanin, epikatekin, quersetin epigalokatekin
dan beberapa senyawa turunan lainnya. Arakawa et al. (2007) menambahkan, katekin dan tanin merupakan senyawa
polifenol yang berpotensi sebagai antimikroba
Uji
toksisitas terhadap ekstrak gambir menggunakan sel IEC-6 (Intestinal
Ephitelial Cell line no. 6) menunjukkan bahwa antioksidan dan antibakteri yang
terdapat dalam gambir bersifat aman, dengan tidak menunjukkan efek negatif yang
ditunjukkan dengan lebih dari 93% sel dapat bertahan hidup pada konsentrasi 1
hingga 200 μg/ml (Kavitha et al.,
2012). Komponen-komponen kimia yang terdapat dalam daun gambir dapat dilihat
pada Tabel 2.3 berikut:
Tabel 2.3 Komponen-komponen kimia yang terdapat
dalam daun gambir
No
|
Nama
Komponen
|
Jumlah
(%)
|
1
|
Katekin
|
7
– 33
|
2
|
Asam katekutannat
|
20 – 55
|
3
|
Firokatekol
|
20
-33
|
4
|
Gambir flouresensi
|
1 – 3
|
5
|
Pigmen kateku merah
|
3
– 5
|
6
|
Quersetin
|
2 – 4
|
7
|
Minyak
|
1
– 2
|
8
|
Lilin
|
1 – 2
|
9
|
Alkaloid
|
Sedikit
|
Sumber: Kasim (2010)
2.5.4 Pemanfaatan Gambir
Kegunaan
utama gambir di masyarakat Indonesia dan India adalah sebagai komponen menyirih
(Pambayun dkk, 2007; Lestari, 2009). Gambir juga diketahui dapat merangsang
keluarnya getah empedu sehingga membantu kelancaran proses di perut dan usus.
Gambir juga digunakan sebagai astringen, antiseptik, bahan pencampur
kosmetika, penjernih air baku pabrik bir, pemberi rasa pahit pada bir, sebagai
bahan campuran pelengkap makanan, antibakteri, dan antifungal (Risfaheri dkk,
2011).
Fungsi
lain gambir adalah sebagai campuran obat, seperti sebagai luka bakar, obat
sakit kepala, obat diare, obat disentri, obat kumur-kumur, obat sariawan, serta
obat sakit kulit (dibalurkan), penyamak kulit, ramuan cat, biopestisida, hormon
pertumbuhan, pigmen, dan bahan
pewarna tekstil untuk industri batik (Kavitha et al., 2012). Saat ini gambir tengah dikembangkan juga adalah
sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel (Kasim, 2010). Gambir juga
digunakan sebagai bahan pewarna kain wol dan sutera di Eropa (Nazir, 2011).
Pemanfaatan
gambir oleh industri memiliki potensi yang dapat terus berkembang seiring
dengan berkembangnya industri yang menggunakan bahan baku komponen-komponen
yang terkandung dalam gambir (Patil et
al., 2012; Lakshmanan et al.,
2009). Komponen gambir yang dapat digunakan diantaranya sebagai katekin sebagai
antispasmodik, bronkodilator dan vasodilator (Naufalin, 2015; Miron and
Schaffer, 2010) dan menurunkan berat badan (Manan, 2012). Pigmen kateku merah untuk
memberikan warna merah. Quersetin memiliki manfaat sebagai antiinflamasi dan
antioksidan serta berbagai potensi kesehatan yang menguntungkan lainnya (Hadad
dkk, 2008).
Penelitian
yang berkaitan dengan aktivitas ekstrak gambir telah banyak dilakukan
diantaranya aktivitas antioksidan dan antibakteri dari turunan metil ekstrak
etanol daun gambir (Kresnawaty dan Zainuddin, 2009), sebagai antiseptik mulut (Istiqomah,
2013), dan sebagai imunodilator (Patil et
al., 2012). Ekstrak gambir juga terbukti sebagai penghambat sintesa asam
lemak yang disebabkan oleh fenol yang terkandung di dalam gambir (Hendra et al., 2014).
2.5.5 Gambir Varietas
Cubadak
Terdapat empat varietas gambir di
Sumatera Barat yaitu gambir varietas cubadak, gambir varietas udang, gambir
varietas riau mancik, dan gambir varietas riau gadang (Kresnawaty dan
Zainuddin, 2009). Tabel 2.4 berikut ini menunjukkan perbedaan karakteristik
morfologi berbagai varietas gambir.
Tabel
2.4 Karakteristik
morfologi berbagai varietas gambir
Parameter
|
Udang
|
Riau
Mancik
|
Riau
Gadang
|
Cubadak
|
Jumlah Daun/Ranting
|
13-14
|
11-12
|
13-14
|
15-16
|
Jumlah Cabang/Ranting
|
10-11
|
11-12
|
12-13
|
13-14
|
Warna Daun
|
Merah
|
Hijau
Tua
|
Hijau
Tua
|
Hijau
Muda
|
Bentuk Helai Daun
|
Oval
|
Oblongus
|
Oblongus
|
Oval
|
Tebal Daun (mm)
|
0,36
|
0,29
|
0,17
|
0,18
|
Sumber:
Kasim (2010)
Tabel 2.4
diatas menunjukkan bahwa jumlah daun/ranting dan jumlah cabang/ranting gambir
varietas cubadak merupakan yang tertinggi dibandingkan gambir varietas lainnya.
Menurut Hadad dkk (2008), gambir varietas cubadak memiliki keunggulan dalam hal
produktivitas, daya adaptasi terhadap lingkungan serta keseuaian untuk lahan
marjinal dan kering. Mahbubur et al.
(2012) juga menambahkan bahwa varietas ini memiliki potensi nilai komersial
yang cukup baik. Hal ini diperkuat oleh BPATP (2015) bahwa produktivitas getah
daun gambir varietas cubadak rata-rata 903 kg per hektar dengan rendemen
6,1-6,5% sehingga layak dikembangkan untuk kebutuhan komersial.
2.5.6 Senyawa Fenolik Daun Gambir
Menurut Fellow
(2010), senyawa fenolik dan turunannya meliputi berbagai senyawa yang berasal
dari tumbuhan yang memiliki ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang
mengandung satu atau dua gugus hidroksil yang memiliki sifat cenderung larut
dalam air. Senyawa fenolik diantaranya adalah senyawa fenol sederhana seperti
monofenol dengan satu cincin benzena (3-etilfenol, 3,4-dimetilfenol) yang
banyak ditemukan pada kacang-kacangan, grup asam hidroksi sinamat (asam ferulat
dan kafeat), flavonoid dan glikosidanya (katekin, proantosianin, antosianidin,
dan flavonol) dan tanin yang merupakan senyawa fenol yang kompleks dengan berat
molekul yang tinggi.
Senyawa
antimikroba pada daun gambir adalah golongan fenolik (Pambayun dkk, 2007;
Istiqomah, 2013). Pada tahun 1923, Freudenberg dan Purman mengisolasi dua
komponen polifenol yang bersifat antibakteri dari ekstrak kering daun gambir,
yaitu (-) katekin dan (+) epikatekin. Kemudian Nonaka dan Nishioka menemukan
tujuh flavonoid baru, yaitu gambirin A1, A2, A3, B1, B2, B3, dan C dari gambir.
Analisis kuantitatif kandungan total flavan dengan menggunakan metode estimasi
asam vanilin dengan kisaran antara 24-79% dan dilakukan analisa dengan RP-HPLC
yaitu kadar katekin sebesar 76%, epikatekin 1,5%, dan 1% berupa gambirin B1,
B3, dan A1 (Hendra et al., 2014).
Gambir
mengandung senyawa (+) katekin sebagai komponen utama disertai dengan bentuk
dimer dan oligomernya yang selanjutnya lebih dikenal dengan gambirin (Istiqomah,
2013). Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu kerja membran
sitoplasma mikroba. Termasuk diantaranya adalah mengganggu transpor aktif dan
kekuatan proton (Madigan et al., 2013;
Purwani dkk, 2008). Menurut Lay (2012) serta Hidayat dan Rodame (2015), daun gambir
muda menghasilkan katekin yang lebih tinggi dibandingkan gambir tua. Hal ini
diperkuat oleh Naufalin (2015), bahwa pada pucuk daun gambir yang masih muda
enzim polifenol oksidase dan katekin terletak dalam vakuola sel yang dipisahkan
oleh membran tonoplas. Membran ini mencegah pergerakan bebas kedua substansi
sel tersebut sehingga pada daun muda kondisi katekin masih dalam keadaan baik.
Katekin
merupakan golongan flavonoid merupakan senyawa tidak berwarna, larut dalam air,
serta menyebabkan rasa pahit dan rasa tajam pada air seduhan (Hidayat dan
Rodame, 2015). Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki
spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada
organisme sasaran (Naidu, 2010). Katekin merupakan jenis flavonoid yang banyak
terdapat pada tanaman dan memiliki aktivitas antimikroba menghambat pertumbuhan
kapang (Moat et al., 2012). Struktur kimia
katekin ditunjukkan pada Gambar 2.5 berikut:
Gambar
2.5
Struktur kimia katekin (www.wildflowerfinder.org.uk)
Katekin
termasuk dalam subkelompok flavan-3-ols yang mempunyai karakteristik
antimikroba, antiradiasi, memperkuat pembuluh darah, melancarkan sekresi air
seni, menghambat pertumbuhan sel kanker (Istiqomah, 2013), aktivitas
antioksidan (Jayanudin dkk, 2014) dan antikarsinogenik (Hendra et al., 2014) serta kaya akan sifat
antimikroba (Naufalin, 2015). Menurut Amos dkk (2014) kandungan katekin pada
produk gambir yang dihasilkan di Indonesia antara 2,5% sampai dengan 95%. Menurut
Lay (2012) serta Hidayat dan Rodame (2015) daun muda menghasilkan rendemen dan kadar
katekin yang lebih tinggi dibandingkan daun tua.
Tanin
merupakan komponen antimikroba lain selain katekin yang terdapat pada gambir
(Purwani dkk, 2008). Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan
terdiri dari senyawa fenolik dengan berat molekul 500-3000 (Lemmens dan
Soetjipto, 2009; Lontom et al., 2008).
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat
khusus dalam jaringan kayu. Tanin terdiri dari sekelompok zat-zat kompleks yang
terdapat secara luas dalam tumbuhan, antara lain pada bagian kulit kayu,
batang, daun, dan buah-buahan (Moat et
al., 2012). Tanin mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya (misalnya
karboksil) sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan protein (Purwani dkk,
2008; Amalia dkk, 2015). Beberapa tanin dapat menghambat enzim seperti reverse
transkripitase dan DNA topoisomerase (Moat et
al., 2012).
Tanin
pada gambir terdapat dalam bentuk asam katekutannat (Lontom et al., 2008). Tanin pada daun gambir
termasuk ke dalam tipe proantosianidin yang memiliki khasiat sebagai algisida,
juga antibakteri dan antifungal (Lemmens dan Soetjipto, 2009). Tingginya kadar
tanin menyebabkan gambir memiliki daya astringensi, antibakteri, dan
sifat-sifat farmakologis dan toksis yang lainnya (Amalia dkk, 2015).
2.5.7 Aktivitas Antimikroba Daun Gambir
Terhadap Bakteri dan Khamir
Antimikroba
adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau metabolisme mikroorganisme
baik terhadap kapang, khamir, maupun bakteri (Widyawati dkk, 2015). Fenol pada
gambir memiliki khasiat yang baik sebagai algisida, juga antibakteri dan antifungal
(Amos dkk, 2014). Sembiring dkk (2013) juga menyebutkan bahwa gambir yang
mengandung dua komponen utama yaitu katekin dan asam katekutannat mempunyai
banyak manfaat, salah satunya sebagai antimikroba.
Aktivitas
antibakteri gambir melalui pengikatan polifenol dengan unit peptida pada
komponen peptidoglikan dari dinding sel. Terjadinya pengikatan itu dapat
mengacaukan integritas dinding sel bakteri dan menyebabkan kebocoran pada sel
bakteri (Amalia dkk, 2015). Bahan ini akan merusak membran sel bakteri sehingga
bakteri akan mati dengan sendirinya (Padovan, 2009).
Aktivitas
antibakteri daun gambir dibuktikan oleh Kresnawaty dan Zainuddin (2009) bahwa
ekstrak gambir menunjukkan zona hambat yang tidak ditumbuhi bakteri pada uji
difusi terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. Hal ini diperkuat
oleh penelitian Magdalena (2015) bahwa gambir telah terbukti menghambat
pertumbuhan bakteri dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) pada Escherichia Coli 100%, Salmonella
typhimurium 90%, Staphylococcus
aureus 90%, dan Bacillus cereus
80%.
Senyawa
fenolik pada gambir berperan sebagai antifungal dengan cara mengganggu proses
difusi makanan ke dalam sel sehingga pertumbuhan jamur terhenti atau mati (Ridawati
dkk, 2008), mengerutkan dinding sel sehingga menganggu permeabilitas sel itu
sendiri sehingga aktivitas hidup mikroba dan fungi terhambat (Ajizah, 2004). Hal ini diperkuat oleh Benko
(2010) bahwa pada jamur, polifenol
dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+ and K+
(dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), dan perubahan karakteristik morfologi
hifa, bengkak dan tidak bisa memanjang. Selain itu, juga dapat mendorong
pembentukan oksigen reaktif intraseluler, kerusakan inti, pemanasan membran
plasma, dan berakhir dengan kematian.
Aktivitas antifungal gambir telah
dibuktikan oleh penelitian Roslizawaty
dkk (2013) bahwa gambir memiliki kemampuan menghambat khamir Saccharomycess cerevisiae. Hal ini
diperkuat oleh penelitian Suraini dkk (2015) bahwa ekstrak air gambir memiliki
efek antifungal dengan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak daun gambir pada Candida albicans yaitu konsentrasi 100%.
Telah
dilaporkan berbagai aktivitas antimikroba daun gambir terhadap mikroorganisme
patogen pada pangan, namun belum dilakukan penelitian terhadap potensi
aktivitas antimikroba daun gambir untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme khususnya
bakteri dan khamir pada nira tebu.
2.6
Ekstraksi
Kandungan zat antimikroba dari tanaman dapat diperoleh melalui
ekstraksi yang bertujuan untuk menarik senyawa kimia dari dalam tanaman (Saxena
et al., 2010). Menurut Roslizawaty dkk (2013),
ekstraksi merupakan metode pemisahan berdasarkan kelarutan suatu zat yang tidak
saling campur. Zhu et al. (2012)
menambahkan bahwa ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif bahan
menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi digolongkan menjadi dua golongan besar
berdasarkan fase yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi
cair-padat.
Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut
polar dan senyawa non-polar dalam pelarut non-polar (Lontom et al., 2008). Pada proses ekstraksi, mula-mula
terjadi kontak antara bahan dan pelarut. Selanjutnya bahan akan bercampur
dengan pelarut dan pelarut akan menembus kapiler bahan padat dan melarutkan
ekstrak larutan sehingga terjadi penggumpalan ekstrak dalam pelarut dan
pengendapan massa.
2.6.1 Macam-macam Ekstraksi
Terdapat beberapa macam metode ekstraksi. Salah satunya yaitu
ekstraksi menggunakan pelarut. Metode ekstraksi ini terbagi menjadi dua yaitu cara
dingin dan cara panas, sebagai berikut:
a.
Cara
Dingin
Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan dalam proses ekstraksi
total, yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa
termolabil yang terdapat pada sampel. Sebagian besar senyawa dapat terekstraksi
dengan cara ekstraksi dingin, walaupun ada beberapa senyawa yang memiliki
keterabatasan kelarutan terhadap pelarut pada suhu ruangan terdapat sejumlah
metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah ekstraksi dingin (dalam labu
besar berisi bahan yang diagitasi menggunakan stirer), dengan cara ini bahan
kering hasil gilingan diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan
pelarut yang kepolarannya makin tinggi. Keuntungan cara ini merupakan metode
ekstraksi yang mudah karena ekstrak tidak dipanaskan sehingga kemungkinan kecil
bahan alam terurai (Istiqomah, 2013).
Penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolaran bahan alam
secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan-bahan alam berdasarkan
kelarutannya (dan polaritasnya) dalam pelarut ekstraksi. Hal ini sangat
mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa
terekstraksi meskipun beberapa senyawa memiliki pelarut ekstraksi pada suhu
kamar (Zhu et al., 2012).
1.
Maserasi
Maserasi merupakan proses perendaman sampel atau menggunakan
pelarut organik dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu
ruangan. Metode ini digunakan untuk mengekstrak zat aktif yang mudah larut
dalam cairan pengekstrak, tidak mengembang dalam pengekstrak, serta tidak
mengandung benzoin (Wuryanto dan Susanto, 2013). Proses ini sangat
menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena untuk menarik zat-zat
berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara
teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali
pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan atau kamar (Umar dkk, 2012).
Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya mudah ditemukan dan
pengerjaannya sederhana (Istiqomah, 2013).
Maserasi berasal dari bahasa latin macerace berarti mengairi dan melunakkan. Selama maserasi, dinding
dan membran sel bahan pecah akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di
luar sel sehingga metabolit sekunder dalam sitoplasma akan terlarut dalam
pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena lama perendaman dapat
diatur. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas
yang tinggi melalui cara memerhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut
tersebut (Umar dkk, 2012).
Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan
berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi
yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi
menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Fauzi, 2013). Secara teoritis
pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin
besar perbandingan bahan terhadap cairan pelarut, akan semakin banyak hasil
yang diperoleh (Parhusip, 2014).
Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti.
Lama maserasi pada umumnya adalah 1-3 hari (Parekh et al., 2015). Menurut Parhusip (2014), maserasi akan lebih efektif
jika dilakukan proses pengadukan secara berkala karena keadaan diam selama
maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Melalui usaha ini
diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat
masuk ke dalam cairan pengekstrak. Rao et
al. (2011) menjelaskan bahwa maserasi dilakukan dalam bejana bermulut
lebar, serbuk ditempatkan di dalam bejana lalu ditambah pelarut dan ditutup
rapat, isinya dikocok berulang-ulang dan disaring. Proses ini dilakukan pada
temperatur 15-20oC selama 24 jam.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan
sempurna (exhaustiva extraction) yang
umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Parhusip, 2014). Prinsip perkolasi
adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana silinder yang
bagian bawahnya diberi sekat berpori (Istiqomah, 2013). Proses terdiri dari
tahap pengembahan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus hingga diperoleh ekstrak
(perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Parekh et al., 2015).
b.
Cara
Panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehinga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna (Ridawati dkk, 2008).
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru dengan
alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Haq dan Ali, 2007). Biomassa
ditempatkan dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui alat
ini pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya kedalam
labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Ekstraksi berlangsung
sangat efisien dan senyawa dari biomassa secara efektif ditarik kedalam pelarut
karena konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut (Zamarel dan Risfaheri, 2015)
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu)
pada temperatur ruangan yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC
(Fauzi, 2013). Proses
pengekstraksian ini hampir sama dengan maserasi tetapi menggunakan pemanasan
pada suhu 30˚-40˚C. Cara ini digunakan untuk sampel pada suhu biasa tidak
tersari dengan baik. Jika pelarut yang digunakan mudah larut pada suhu kamar
maka dapat digunakan alat pendingin tegak (Prasetiyo, 2015).
4.
Infus
Infus
adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus
tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC
selama 15-20 menit (Prasetiyo, 2015). Keunggulan dari metode infus adalah alat
yang dipakai sederhana dan biaya operasionalnya rendah (Fauzi,
2013). Kelemahan metode
infus yaitu tidak dapat digunakan pada sampel yang mengandung albumin karena
zat yang mengandung albumin akan menggumpal dan mempersulit penarikan
(ekstraksi) bahan yang diinginkan.
Metode infus digunakan untuk
mengekstraksi simplisia yang tidak tahan pemanasan lama (DEPKES RI, 1989). Metode
infus telah digunakan untuk mengekstrak senyawa kimia dari daun jambu biji (Psidii
folium) (Sukardi dkk, 2007), senyawa antioksidan dari buah jambu air (Eugena
aquae Born), jambu biji (Psidium guajava Linn), jambu
mete (Anacardium accidentale Linn), dan langsep (Lansium domesticum Corr).
(Suradikusumah, 2008).
5. Dekok
Dekok
ekstraksi/penyarian bahan selama 30 menit dengan suhu dari 90-98oC.
Perbedaan dekok dengan infus adalah metode ekstraksi dekok diperuntukkan untuk
simplisia keras, bahan yang tidak mengandung minyak atsiri dan tahan terhadap
pemanasan sedangkan metode ekstraksi infus digunakan untuk simplisia yang
lunak, yang mengandung minyak atsiri dan bahan yang tidak tahan panas (Zamarel
dan Risfaheri, 2015).
2.6.2
Faktor yang Mempengaruhi
Proses Ekstraksi
Ekstraksi adalah metode pemisahan komponen terlarut dalam suatu
campuran dari komponen tidak terlarut menggunakan pelarut yang sesuai (Ridawati
dkk, 2008). Proses ekstraksi yang dilakukan sangat mempengaruhi kualitas mutu
yang dihasilkan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi
yaitu sebagai berikut:
a.
Ukuran Bahan
Ukuran bahan yang sesuai akan menjadikan proses ekstraksi berlangsung
baik dan tidak memakan waktu lama. Ukuran bahan juga harus diusahakan seragam.
Apabila tidak, bahan dengan ukuran kecil akan menempati celah-celah yang
terbentuk antara bahan yang berukuran lebih besar. Dengan demikian kontak
antara pelarut dengan bahan menjadi tidak efektif (Parekh
et al., 2015). Kehalusan
bubuk yang sesuai akan menghasilkan ekstrak yang sempurna dalam waktu singkat.
Sebaliknya bahan yang digiling terlalu halus dapat menyebabkan pemampatan
(stanasi) pada proses ekstraksi tidak maksimal (Parhusip, 2014).
Besar ukuran bahan yang umumnya digunakan untuk proses ekstraksi adalah
50-60 mesh. Ukuran bahan maksimal yang masih berhasil baik dalam skala
laboratorium adalah ukuran 30 mesh dan ukuran minimalnya yaitu 60 mesh (Winata,
2013). Magdalena (2015) memperkuat bahwa ukuran bubuk daun gambir yang baik
adalah 60 mesh. Hasil penelitian Istiqomah (2013) menunjukkan bahwa ukuran
bubuk daun gambir masih layak digunakan untuk proses ekstraksi.
b. Pelarut
Sistem pelarut yang digunakan dalam
ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah zat
aktif yang diinginkan semaksimal mungkin dan seminimum mungkin bagi unsur yang
tidak diinginkan (DEPKES RI, 1989). Jenis
pelarut yang digunakan merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah daya yang melarutkan bahan, titik didih,
toksisitas, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif (Haq dan Ali, 2007).
Istiqomah (2013)
melakukan penelitian menggunakan aquades untuk mengekstrak senyawa fenolik dari
daun gambir. Magdalena (2015) menyatakan, penggunaan aquades sebagai pelarut
dikarenakan harga yang murah, ketersediaan yang melimpah dan konstanta
dielektrik yang lebih tinggi dibandingkan heksana, aseton, dan etanol. Naufalin
(2015) menambahkan bahwa aquades merupakan pelarut dengan kepolaran tertinggi
sehingga sangat baik untuk mengekstrak fenol yang bersifat polar.
c.
Lama dan Suhu
Ekstraksi
Suhu yang digunakan untuk mengekstrak bahan tidak boleh terlalu tinggi
karena akan menyebabkan komponen yang mudah menguap akan terdekomposisi. Sesuai
dengan P3GI (2008), ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi
tetapi pada batas tertentu. Hal ini diperkuat oleh Miron and Schaffer (2010),
bahwa proses pemanasan melebihi 100oC akan menyebabkan degradasi
komponen. Menurut Fauzi (2013), ekstraksi
yang baik dilakukan pada kisaran suhu 30-50oC tergantung zat
terlarut yang diinginkan. Suradikusumah (2008) mengekstrak komponen antioksidan
dari jambu air menggunakan suhu 85oC, sedangkan Ajizah (2004)
mengekstrak flavonoid dari daun
jambu biji menggunakan suhu 90oC.
Semakin lama waktu ekstraksi,
kesempatan kontak bahan dengan pelarut juga semakin besar sehingga hasilnya
juga akan bertambah hingga titik jenuh larutan. Namun waktu ekstraksi yang
terlalu lama
akan menyebabkan ekstrak menurun yang disebabkan karena larutan
sudah melewati titik jenuh (Wang, 2014).
2.7 Antimikroba
Antimikroba merupakan suatu senyawa yang membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Verma et al., 2012). Antimikroba terbagi menjadi beberapa jenis
diantaranya antibakteri dan antifungal (Amalia dkk, 2015). Senyawa antimikroba yang berasal dari
tanaman sebagian besar diketahui merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama
dari golongan fenolik dan terpen dalam minyak atsiri (Untara, 2011).
Sebagian
besar metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer seperti
asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat, dan metabolit antara (Roslizawaty
dkk, 2013). Selain itu, beberapa senyawa yang bersifat antimikroba alami
berasal dari tanaman di antaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak
esensial (atsiri), fenolik dan beberapa kelompok pigmen tanaman atau senyawa
sejenis (Widiyanti, 2006).
2.7.1 Metode Pengujian
Antimikroba
Pengujian
antimikroba adalah teknik untuk mengukur potensi atau konsentrasi suatu senyawa
yang memberikan efek bagi mikroorganisme (Verma et al., 2012).
Secara umum dikenal 3 metode utama untuk uji antimikroba yaitu difusi agar,
dilusi dan bioautografi (Madigan et al.,
2013).
a.
Metode Difusi
Metode difusi
umum di gunakan di laboratorium (Widiyanti, 2006). Metode ini mempunyai prinsip
penetapannya yaitu mengukur luas diameter daerah hambatan pertumbuhan mikroba
(Untara, 2011). Terdapat beberapa jenis metode difusi diantaranya yaitu:
1.
Metode Disc Diffusion (tes Kirby-Bauer)
Metode difusi
agar Kirby-Bauer adalah salah satu metode pengujian kerentanan mikroba terhadap
antimikroba atau sering juga dinamakan uji daya hambat. Metode ini digunakan
untuk menentukan resistensi atau sensivitas bakteri aerob dan fakultatif
anaerob terhadap bahan kimia tertentu (Tamio et al., 2014). Metode difusi agar dilakukan dengan bahan uji yang
telah dilarutkan dalam pelarut yang sesuai dimasukkan kedalam sumuran atau
diteteskan pada paper disk kemudian
ditanam dalam medium padat yang telah berisi mikroba uji. Setelah inkubasi
diamati adanya zona hambat di sekitar sumuran atau paper disk. Kemampuan bahan
uji menghambat bakteri uji ditandai dengan terbentuknya zona jernih/bening disekitar
cakram uji dan dievaluasi : zona hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat
sangat kuat, 10-20 mm daya hambat kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5
mm daya hambat lemah (Suradikusumah, 2008).
2. E-test
Metode e-test
dapat digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau
KHM (Kadar Hambat Minimum) (Madigan et
al., 2013). Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen
antimikroba dari kadar terendah sampai tertinggi dan diletakkan pada permukaan
media agar yang telah ditanami mikroorganisme sebelumnya. Pengamatan dilakukan
pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba
yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Sukardi dkk, 2007).
3.
Ditch-Plate Technique
Pada metode
ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat
dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara
membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah parit yang berisi
agen antimikroba tersebut (Widiyanti, 2006).
4.
Cup-Plate Technique
Metode ini
serupa dengan disc diffusion, dimana
dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme dan pada sumur
tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji (Sudarmadji dkk, 2009).
b. Metode
Dilusi
Metode dilusi
adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui potensi suatu senyawa terhadap
aktifitas mikroba dengan menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh
Minimum (KBM) (Tamio et al., 2014). Metode
ini menggunakan medium cair dan hambatan pertumbuhan mikroba uji yang diukur
dengan menentukan kekeruhan larutan secara visual atau dengan alat seperti
spektofotometer (Sudarmadji dkk, 2009).
Metode ini
biasanya digunakan untuk menetukan nilai MIC (minimum inhibition concentration),
konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba uji metode
dilusi dilakukan dengan mencampur sampel, mikroba uji dan media inokulasi
dengan beberapa variasi pengenceran (Lay, 2012). Aktivitas yang diamati dengan
kontrol tanpa adanya bahan uji. Microplate titer assay menggunakan
prinsip dalam metode dilusi tapi dengan skala yang lebih kecil (100-250μL) (Rahayu
dkk, 2011).
1. Metode
dilusi cair
Metode dilusi
cair digunakan untuk mengukur KHM (Kadar Hambat Minimum). Cara yang dilakukan
adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang
ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar
terkecil yang terlihat jernih tanpa ada pertumbuhan mikroba uji ditetapkan
sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur
ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan
diinkubasi selama 18-28 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah
diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Lay, 2012).
2. Metode
dilusi padat
Metode dilusi
padat digunakan untuk mengukur KBM (Kadar Bunuh Minimum). Cara yang dilakukan
adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium padat yang
ditambahkan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang
terlihat tanpa pada pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KBM. Keuntungan
metode ini adalah satu konsentrasi antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk
menguji beberapa mikroba uji (Rahayu dkk, 2011).
c. Metode
Hitungan Cawan
Prinsip
dari metode hitungan cawan adalah jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan
pada medium agar dan diinkubasi. Sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan
membentuk koloni selama inkubasi yang dapat dilihat langsung tanpa menggunakan mikroskop
dan (Roslizawaty dkk, 2013).
2.7.2
Mikroba Uji yang Digunakan
Mikroba uji yang
digunakan merupakan mikroba yang dominan terdapat dalam nira tebu dan
menyebabkan kerusakan nira tebu akibat reaksi inversi. Mikroba tersebut yaitu
bakteri dan khamir. Hal ini mengacu pada Harsono
(2012), bahwa mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada nira tebu yaitu
dari jenis bakteri dan khamir.
2.7.2.1 Bakteri
a.
Karakteristik Bakteri
Bakteri adalah sel prokariotik yang khas,
uniselular dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam
sitoplasmanya. Bakteri dapat dibedakan dari ukuran, susunan, dan responnya
terhadap antibakteri. Bentuk sel bakteri meliputi kokus (bulat), basil
(batang), spirilum (spiral), filamen (Ridawati dkk, 2008).
Kelompok bakteri terdiri dari organisme prokariot
patogen dan nonpatogen yang terdapat di daratan dan perairan, serta organisme
prokariot yang bersifat fotoautotrof (Guimaraes et al., 2009). Spesies
bakteri dapat dibedakan berdasarkan morfologi (bentuk), komposisi kimia (umumnya
dideteksi dengan reaksi biokimia), kebutuhan nutrisi, aktivitas biokimia, dan
sumber energi (sinar matahari atau bahan kimia) (Kulkarni and Wayne, 2007).
b.
Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan
mikroba adalah peningkatan semua komponen sel, sehingga menghasilkan
peningkatan ukuran sel dan jumlah sel (kecuali mikroba yang berbentuk filamen)
akan menyebabkan peningkatan jumlah individu didalam populasi (Guimaraes et al., 2009).
Inokulum hampir selalu mengandung ribuan organisme, pertumbuhan menyatakan pertambahan
jumlah atau massa melebihi yang ada di dalam inokulum asalnya (Ridawati dkk,
2008).
c.
Faktor
Lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri
Terdapat
beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri diantaranya,
yaitu:
1.
Suplai
Nutrisi
Mikroba
sama dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai nutrisi sebagai sumber
energi dan pertumbuhan selnya. Suplai nutrisi tersebut adalah karbon, nitrogen,
hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, zat besi dan sejumlah kecil logam lainnya (Guimaraes et al., 2009).
Ketiadaan atau kekurangan sumber-suplai nutrisi ini dapat mempengaruhi
pertumbuhan mikroba hingga pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Kulkarni and Wayne, 2007).
2. Suhu
Suhu
merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi pertumbuhan bakteri
(Naidu, 2010). Suhu yang berkaitan dengan pertumbuhan bakteri digolongkan
menjadi tiga, yaitu suhu minimum (suhu yang apabila berada di bawahnya maka
pertumbuhan terhenti), suhu optimum (suhu dimana pertumbuhan berlangsung paling
cepat dan optimum atau disebut juga suhu inkubasi), dan suhu maksimum yaitu
suhu yang apabila berada di atasnya maka pertumbuhan tidak terjadi) (Fellow,
2010). Sehubungan dengan penggolongan suhu diatas, maka mikroba digolongkan
menjadi lima kelompok sebagai ditunjukkan pada Tabel 2.5 berikut:
Tabel
2.5
Penggolongan mikroba berdasarkan suhu
No
|
Kelompok
|
Suhu Minimum (oC)
|
Suhu Optimum (oC)
|
Suhu Maksimum (oC)
|
1
|
Psikrofil
|
-15
|
10
|
20
|
2
|
Psikotrof
|
-1
|
25
|
35
|
3
|
Mesofil
|
5-10
|
30-37
|
40
|
4
|
Termofil
|
40
|
45-55
|
60-80
|
5
|
Termotrof
|
15
|
42-46
|
50
|
Sumber:
Fellow (2010)
3. Keasaman atau Kebasaan (pH)
Setiap
organisme memiliki kisaran pH masing-masing dan memiliki pH optimum yang
berbeda-beda (Amaya et al., 2009). Kebanyakan
mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 8,0-8,0 dan nilai pH di luar
kisaran 2,0 sampai 10,0 biasanya bersifat merusak (Childs and Chabot, 2016).
4. Ketersediaan Oksigen
Mikroorganisme
memiliki karakteristik yang berbeda dalam kebutuhannya akan oksigen. Menurut Rao et
al. (2011) mikroorganisme dalam hal ini digolongkan menjadi:
1. Aerobik
: hanya dapat tumbuh
apabila ada oksigen bebas.
2. Anaerob :
hanya dapat tumbuh apabila tidak ada oksigen bebas.
3. Anaerob
fakultatif : dapat tumbuh baik dengan
atau tanpa oksigen bebas.
4.
Mikroaerofilik :
dapat tumbuh apabila ada oksigen dalam jumlah kecil.
2.7.2.2 Khamir
Khamir merupakan
mikroorganisme bersel tunggal, biasanya berbentuk bulat atau elips dengan
diameter bervariasi antara 3 μm sampai 15 μm (DeConinck et al., 2012). Kebanyakan khamir bereproduksi dengan pertunasan.
Beberapa spesies khamir membentuk tunas yang gagal melepaskan diri dari
induknya dan memanjang. Proses pertunasan terus menerus akan menghasilkan rantai
sel khamir memanjang yang disebut pseudohifa (Filianty dkk, 2007). Koloni
khamir biasanya lembut, keabuan, berukuran 1-3 mm, dan berwarna putih
kekuningan. Karena kebanyakan morfologi dari khamir memiliki bentuk mikroskopik
yang mirip, spesies khamir diidentifikasi berdasarkan uji fisiologis dan
beberapa perbedaan morfologi khusus (Skowronek et al., 2013).
Khamir
adalah organisme kemoheterotrof yang memerlukan senyawa organik untuk
nutrisinya (sumber karbon dan energi), tumbuh lebih baik pada
lingkungan dengan pH sekitar 5, bersifat
anaerob fakultatif, lebih resisten terhadap tekanan osmosis dibandingkan
bakteri, serta dapat tumbuh pada zat dengan kelembaban sangat rendah (Lakshmanan et al., 2009). Khamir
bereproduksi secara aseksual dengan pembentukan tunas. Pada saat pertumbuhan
tunas, sel akan tumbuh dari penonjolan kecil pada sel induk (DeConinck et al., 2012).
Pada pertumbuhan di fase
vegetatif khamir mampu memproduksi spora yang akan meningkatkan kemampuannya
dalam bertahan hidup (Lemmens dan Soetjipto, 2009). Spora yang sudah matang dan
siap untuk disebarkan bersifat lebih tahan terhadap kondisi ekstrim dan akan
tumbuh ketika kondisi pertumbuhannya terpenuhi (Downes and Ito, 2011).
2.7.3
Media Pertumbuhan Mikroba
Nutrien agar
(NA) adalah medium umum digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Media ini
merupakan media sederhana yang dibuat dari beef
extract 10 g, pepton 10 g, NaCl 5 g, aquades 1.000 ml dan 15 g agar/L. NA
merupakan salah satu media yang umum digunakan dalam prosedur bakteriologi
seperti uji biasa dari air, produk pangan, untuk membawa stok kultur, untuk
pertumbuhan sampel pada uji bakteri, dan untuk mengisolasi organisme dalam
kultur murni (Filianty dkk, 2007). Nutrient broth merupakan media pertumbuhan bakteri
yang dibuat dari beef extract, Natrium klorida (NaCl), yeast extract, dan
tripton (DEPKES RI, 1989).
Potato
Dextrose Agar (PDA) digunakan untuk menumbuhkan atau mengidentifikasi yeast dan
kapang. PDA mengandung sumber karbohidrat dalam jumlah cukup yaitu terdiri dari
20% ekstrak kentang dan 2% glukosa sehingga baik untuk pertumbuhan kapang dan
khamir tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri (Wuryantoro dan Susanto,
2013). Potato Dextrose Broth (PDB) adalah
media cair yang digunakan untuk isolasi dan pertumbuhan kapang dan
khamir. PDB mengandung ekstrak kentang 200.000 Gms/liter dan dekstrosa 20.000
Gms/liter (Downes and Ito, 2011).
2.7.4
Antimikroba dan Jenisnya
Antimikroba
adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Berdasarkan jenis mikroorganisme yang dimatikan atau dihambat pertumbuhannya,
antimikroba terbagi menjadi antibakteri, antifungal, antivirus dan antiprotozoa
(Lakshmanan et al., 2009). Menurut Sukardi
(2007), zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri),
bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh jamur),
fungistatik (menghambat pertumbuhan khamir). DeConinck et al. (2012) menambahkan, penghambatan aktivitas antimikroba oleh
komponen bioaktif tanaman dapat disebabakan oleh beberapa faktor, antara lain:
(1) gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas
membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3)
menginaktifasi enzim metabolik, dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi
material genetik.
Kemampuan
suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh
berbagai faktor, yaitu: (1) konsentrasi zat antimikroba, (2) suhu lingkungan,
(3) waktu penyimpanan, (4) sifat-sifat mikroba, meliputi jenis, jumlah, umur,
dan keadaan mikroba, (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar
air, pH, jenis, dan jumlah senyawa di dalamnya (DeConinck et al., 2012).
Kriteria
ideal suatu antimikroba antara lain harus memiliki sifat aman, ekonomis, tidak
menyebabkan perubahan flavor, citarasa dan aroma makanan, tidak mengalami
penurunan aktivitas karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya
galur resisten, sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat
pertumbuhan mikroorganisme
(Downes and Ito, 2011). Berdasarkan sifat toksisitas selektif
(daya kerjanya), antimikroba mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikroba (Kavitha et al.,
2012). Ketiga efek tersebut yaitu:
a.
Bakteriostatik
dan Fungistatik
Antimikroba yang memberikan efek menghambat pertumbuhan
mikroorganisme tetapi tidak membunuh, termasuk ke dalam kelompok antimikroba
bakteriostatik (Madigan et al., 2013).
Antimikroba baktriostatik menghambat sintesis protein atau mengikat ribosom.
Hal ini dapat ditunjukkan melalui penambahan antimikroba pada kultur mikroba
yang berada pada fase logaritmik (Jayanudin
dkk, 2014). Penambahan antimikroba pada fase logaritmik menyebabkan jumlah
sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap selama waktu inkubasi (Moat et
al., 2012).
b. Bakteriosidal dan Fungisidal
Efek antimikroba yang dapat membunuh sel tetapi tidak
menyebabkan lisis sel adalah antimikroba kelompok bakteriosidal (Madigan et al., 2013). Hal ini dapat ditunjukkan melalui
penambahan antimikroba pada kultur mikroorganisme yang berada pada fase
logaritmik. Penambahan antimikroba pada fase logaritmik menyebabkan jumlah sel
total tetap sedangkan jumlah sel hidup berkurang (Jayanudin dkk, 2014).
c.
Bakteriolitik
dan Fungilitik
Efek antimikroba yang dapat menyebabkan sel menjadi lisis
sehingga jumlah sel total berkurang dikelompokkan sebagai antimikroba
bakteriolitik (Madigan et al., 2013).
Hal ini dapat ditunjukkan melalui penambahan antimikroba pada kultur
mikroorganisme yang berada pada fase logaritmik. Penambahan antimikroba pada
fase logaritmik menyebabkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup berkurang
(Moat et al., 2012).
2.7.5 Perhitungan Jumlah Sel
Perhitungan jumlah sel sangat penting untuk menentukan pengaruh
antimikroba terhadap sel hidup maupun sel total mikroorganisme (Jayanudin dkk,
2014). Menurut Ajizah (2004),
jumlah sel total dihitung menggunakan metode perhitungan
langsung (direct method) dan perhitungan tidak langsung (indirect
method). Naidu (2010) menambahkan bahwa metode hitungan langsung yaitu Petroff-Hauser,
Total Plate Count (TPC), filter membrane (miliphore
filter). Sedangkan metode hitungan tidak langsung terbagi menjadi metode
Most Probable Number (MPN) dan metode
turbidimetri.
Setiap metode mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut Naufalin
(2015), kelebihan dari metode hitungan langsung yaitu semua sel mikroba, baik
yang masih hidup ataupun yang sudah mati, akan terhitung secara langsung. Hasil
penelitian Parekh et al. (2015)
menyebutkan bahwa kelemahan lainnya yaitu sel mikroba yang berukuran kecil
sulit dilihat di bawah mikroskop sehingga tidak terhitung, dan jumlah sel
mikroba dalam suspensi harus cukup tinggi (minimal 106 sel /ml untuk
bakteri) karena dalam setiap bidang pandang yang diamati harus terdapat
sejumlah sel yang dapat dihitung.
Metode hitungan tidak langsung memiliki kelebihan yaitu dapat
digunakan untuk isolasi dan identifikasi bakteri (Amalia dkk, 2015), dan
bakteri yang dihitung adalah bakteri yang hidup (Srivastava et al., 2006). Sedangkan kekurangannya yaitu
perhitungannya kurang akurat karena ada kemungkinan beberapa sel bertumpuk, penyebaran
koloni tidak rata, waktu yang dibutuhkan cukup lama, dan bahan yang digunakan
relatif banyak (Fauzi, 2013).
No comments:
Post a Comment