IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1
Isolasi Bakteri dan Khamir dari Nira
Tebu
Tebu yang telah dipanen dan tertunda
giling dengan kondisi penyimpanan terkena sinar matahari selama tiga hari dicuci
bersih dan dibuang kulitnya untuk mempermudah pemerasan nira. Tunda giling
selama tiga hari bertujuan untuk meningkatkan kandungan mikroorganisme di dalam
nira tebu yang terkandung di dalamnya (Downes and Ito, 2011). Hal ini
dikarenakan kerusakan sukrosa terjadi secara cepat antara 24 jam-48 jam dan pembentukan
dekstran terjadi sangat cepat pada 48 jam-72 jam setelah tebu dipanen (Saxena et al., 2010). Mikroorganisme yang
secara alami terdapat dalam nira tersebut selanjutnya digunakan sebagai stok
kultur bakteri dan khamir (Miron and Schaffer, 2010). Penggilingan dilakukan sebanyak
tiga kali agar nira yang terperas keluar lebih maksimal.
Nira yang diperoleh kemudian diencerkan
dengan menggunakan Buffered Peptone Water
(BPW) hingga pengenceran 106. Pengenceran dilakukan hingga 106 betujuan
untuk memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang tersuspensi dalam sampel
(Haq and Ali, 2007). Selanjutnya masing-masing sampel dari tiga pengenceran
terakhir diambil 1 ml dan dilakukan plating pada media Nutrient Agar (NA) untuk
isolasi kultur bakteri dan media Potato Dextrose Agar (PDA) untuk isolasi
kultur khamir dengan metode pour plate secara triplo. Metode pour plate dipilih
karena memiliki keunggulan yaitu dapat menumbuhkan sel target baik yang berada
di permukaan (jenis aerob) maupun yang terendam di dalam agar (jenis anaerob) (Miron
and Schaffer, 2010). Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam (bakteri) dan 48 jam (khamir). Penggunaan suhu inkubasi 37oC
dikarenakan mikroorganisme yang terdapat di dalam nira tebu termasuk golongan
mesofil (Skowronek et al., 2013).
Koloni yang tumbuh diamati setelah
inkubasi. Satu buah koloni yang sesuai diisolasi dan diremajakan pada media
agar miring. Jika akan digunakan untuk penelitian selanjutnya, kultur dibuat
suspensi menggunakan media Nutrient Broth (NB) untuk bakteri dan Potato
Dextrose Broth (PDB) khamir (Aranda et
al., 2014).
1.2
Penentuan Rasio Bahan:Pelarut
Ekstraksi adalah proses pemisahan
senyawa antara dua fasa yang bercampur untuk mencapai koefisien distribusi yang
tepat (Rahayu dkk, 2011). Ekstraksi merupakan proses pemisahan satu atau lebih
komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solvent) sebagai agen pemisah (separating agent). Pemisahan terjadi
atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponen-komponen dalam campuran (Purwani
dkk, 2008).
Salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan ekstraksi adalah rasio bahan:pelarut
(Naufalin, 2015). Penentuan rasio bahan:pelarut sangat penting untuk memperoleh
hasil ekstraksi yang paling optimal. Pada
penelitian ini dilakukan dua variasi metode ekstraksi yaitu infus dan maserasi
menggunakan aquades sebagai pelarut.
4.1.1 Penentuan
Rasio Bahan:Pelarut Metode Infus
Metode ekstraksi infus pada penelitian
ini yaitu dengan cara melarutkan bahan dalam aquades dengan variasi rasio
masing-masing 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), 1:45 (b/v) pada erlenmeyer yang sudah ditutup
oleh alumunium foil dan selanjutnya erlenmeyer dipanaskan menggunakan penangas
air selama 15 menit pada suhu 90OC. Hal ini sesuai dengan Magdalena
(2015) dan Pambayun dkk. (2007) bahwa gambir dapat diekstrak dengan berbagai
cara salah satunya yaitu infus dengan suhu 90°C selama 15 menit.
Berdasarkan
hasil ekstraksi menggunakan metode infus dengan variasi rasio bahan:pelarut
1:25 (b/v), 1:35 (b/v), 1:45 (b/v). Rasio
perbandingan bahan:pelarut yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik pada
metode infus yaitu 1:35 (b/v). Hal ini diperoleh melalui uji difusi Kirby-Bauer
terhadap ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v), 1:35 (b/v),
dan 1:45 (b/v) dimana zona hambat bakteri terbesar yaitu pada ekstrak daun gambir
dengan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v) dan zona hambat bakteri terkecil yaitu pada
ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v). Data pengaruh rasio
bahan:pelarut infusa terhadap zona hambat bakteri dapat dilihat pada Tabel 4.1
berikut:
Tabel
4.1 Pengaruh rasio
bahan:pelarut infusa terhadap zona hambat bakteri uji
Rasio Bahan:Pelarut
|
Zona Hambat
|
|||||
Ulangan
1
(mm)
|
Ulangan
2
(mm)
|
Ulangan
3 (mm)
|
Total
(mm)
|
Rerata
(mm)
|
||
Aquades (Kontrol)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0±0,00
|
|
1:25 (b/v)
|
4,79
|
4,85
|
4,81
|
14,46
|
4,82±0,02
|
|
1:35 (b/v)
|
6,69
|
6,70
|
6,73
|
20,21
|
6,71±0,02
|
|
1:45 (b/v)
|
5,70
|
5,70
|
5,66
|
17,06
|
5,69±0,02
|
|
Berdasarkan
Tabel 4.1 diatas ditunjukkan rerata diameter zona hambat kontrol negatif
(aquades), 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), dan 1:45 (b/v) berturut-turut yaitu 0 mm, 4,82
mm, 6,71 mm, dan 5,69 mm. Zona hambat terbesar diperoleh pada rasio
bahan:pelarut 1:35 ulangan ketiga dengan luas zona hambat yaitu 6,73 mm atau
memiliki daya hambat sedang. Hal ini sesuai dengan Suradikusumah (2008), bahwa
zona hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya hambat
kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah.
Selain
terhadap bakteri, pengujian zona hambat juga dilakukan terhadap khamir uji. Berdasarkan
hasil ekstraksi menggunakan metode infus dengan variasi rasio bahan:pelarut
1:25 (b/v), 1:35 (b/v), 1:45 (b/v). Rasio
perbandingan bahan:pelarut yang memiliki aktivitas antifungal terbaik pada
metode infus yaitu rasio 1:35 (b/v). Hal ini diperoleh melalui uji difusi
Kirby-Bauer terhadap ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v),
1:35 (b/v), dan 1:45 (b/v) dimana zona hambat khamir terbesar yaitu pada ekstrak
daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v) dan zona hambat khamir terkecil
yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v). Data
pengaruh rasio bahan:pelarut infusa terhadap zona hambat khamir dapat dilihat
pada Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Pengaruh rasio bahan:pelarut infusa
terhadap zona hambat khamir uji
Rasio Bahan:Pelarut
|
Zona hambat
|
Total
(mm)
|
Rerata
(mm)
|
||
Ulangan
1
(mm)
|
Ulangan
2
(mm)
|
Ulangan
3 (mm)
|
|||
Aquades (Kontrol)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0±0,00
|
1:25 (b/v)
|
6,19
|
6,11
|
6,16
|
18,46
|
6,15±0,03
|
1:35 (b/v)
|
8,35
|
8,45
|
8,44
|
25,24
|
8,41±0,04
|
1:45 (b/v)
|
7,21
|
7,23
|
7,20
|
21,64
|
7,21±0,01
|
Berdasarkan
Tabel 4.2 diatas ditunjukkan rerata diameter zona hambat kontrol negatif
(aquades), 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), dan 1:45 (b/v) berturut-turut yaitu 0 mm,
6,15 mm, 8,41 mm, dan 7,21 mm. Rerata zona hambat terbesar diperoleh pada rasio
bahan:pelarut 1:35 ulangan kedua dengan luas zona hambat yaitu 8,45 mm atau
memiliki daya hambat sedang. Hal ini sesuai dengan Suradikusumah (2008), bahwa zona
hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya hambat
kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah.
Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa volume pelarut aquades sebanyak 35 mL
merupakan rasio paling optimal karena mampu mengekstrak senyawa antimikroba daun
gambir dengan hasil yang paling besar. Hal ini diduga karena kontak bahan
dengan pelarut lebih efektif pada volume 35 mL daripada perlakuan ekstraksi
dengan volume pelarut sebanyak 25 mL dan 45 mL. Hasil penelitian ini sesuai
dengan pendapat Pelczar dan Chan (2005) bahwa rasio bahan:pelarut yang optimal
menjamin kehomogenan dan pemanasan yang efektif. Hal ini juga didukung oleh hasil
penelitian Parekh et al. (2015),
dimana perlakuan terbaik untuk ekstraksi tanin daun anting-anting yaitu dengan
rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v). Data ini juga diperkuat oleh penelitian Magdalena
(2015) bahwa perlakuan terbaik ekstraksi senyawa fenolik daun gambir yaitu
perlakuan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v).
Pada
perlakuan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v) diduga perubahan suhu terjadi lebih
cepat dan lebih tinggi dibandingkan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v) dan 1:45
(b/v) yang cenderung lebih stabil, sehingga mengakibatkan tingginya kerusakan
termal pada senyawa fenolik dalam bahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Naufalin
(2015), bahwa massa larutan yang terkestrak berbanding terbalik dengan
peningkatan suhu. Menurut Sukardi dkk (2007) hal tersebut dikarenakan seluruh
senyawa fenolik akan terekstrak keluar dan bercampur dengan pelarut (air) pada
awal proses ekstraksi, dan setelah mencapai titik optimal senyawa tersebut
perlahan akan mengalami penurunan. Istiqomah (2013) juga menambahkan bahwa
kerusakan fenol yang bersifat antimikroba disebabkan proses hidrolisis selama
ekstraksi dan pemanasan terus menerus. Fenol dapat terhidrolisis menjadi asam
tanat dan glukosa yang tidak bersifat antimikroba. Sehingga, rasio
bahan:pelarut 1:25 (b/v) kurang efektif untuk memperoleh total fenol yang
optimal pada ekstrak daun gambir.
Pada
perlakuan rasio bahan:pelarut 1:45 (b/v) diduga volume pelarut yang digunakan
terlalu berlebihan. Penggunaan pelarut yang berlebihan ternyata tidak
meningkatkan perolehan total fenol senyawa ekstrak daun gambir. Prasetiyo (2015),
menyebutkan bahwa semakin besar perbandingan bahan dengan pelarut maka proses
pelarutan semakin baik karena kontak antara partikel dalam bahan semakin
sering, namun jumlah pelarut yang berlebihan tidak dapat menghasilkan ekstrak
yang lebih banyak namun hanya menghasilkan rendemen yang lebih banyak.
Kelebihan
pelarut juga diduga menyebabkan pemanasan pada ekstrak daun gambir menjadi
kurang optimal karena panas diserap oleh pelarut. Hal ini diperkuat oleh Magdalena (2015), bahwa
pelarut yang berlebihan menyebabkan pemanasan kurang baik karena radiasi
diserap oleh pelarut. Ridawati (2008) juga menambahkan bahwa pemecahan sel pada
energi panas yang rendah akan terjadi secara bertahap atau berangsur-angsur,
menyebabkan penetrasi pelarut menuju matriks sel bahan menjadi rendah. Sehingga,
rasio bahan:pelarut 1:45 (b/v) kurang efektif untuk memperoleh total fenol yang
optimal pada ekstrak daun gambir.
4.1.2
Penentuan Rasio Bahan:Pelarut Metode
Maserasi
Selain infus, metode ekstraksi yang
digunakan pada penelitian ini yaitu maserasi. Ekstraksi maserasi dilakukan dengan
melarutkan rasio bahan:pelarut sebanyak 1:5 (b/v), 1:10 (b/v), 1:15 (b/v) dalam
aquades selama 24 jam pada erlenmeyer yang sudah ditutup oleh alumunium foil, menggunakan shaker dengan kecepatan 120 rpm pada
suhu ruang. Proses ekstraksi ini sesuai dengan Ningsih dkk. (2014) dan
Rahmawati dkk. (2013) bahwa maserasi dilakukan pada suhu ruang dan kondisi kedap
cahaya.
Berdasarkan
hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan variasi rasio bahan:pelarut
1:5 (b/v), 1:10 (b/v), 1:15 (b/v). Rasio
perbandingan bahan:pelarut yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi pada
metode maserasi yaitu 1:10 (b/v). Hal ini diperoleh melalui uji difusi Kirby-Bauer terhadap ekstrak daun gambir
dengan rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v), 1:10 (b/v), dan 1:15 (b/v) dimana zona
hambat bakteri terbesar yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio
bahan:pelarut 1:10 (b/v) dan zona hambat bakteri terkecil yaitu pada ekstrak
daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:15 (b/v). Data pengaruh rasio
bahan:pelarut maserat terhadap zona hambat bakteri dapat dilihat pada tabel Tabel 4.3 berikut:
Tabel 4.3 Pengaruh rasio bahan:pelarut maserat
terhadap zona hambat bakteri uji
Rasio Bahan:Pelarut
|
Zona Hambat
|
||||
Ulangan
1
(mm)
|
Ulangan
2
(mm)
|
Ulangan
3 (mm)
|
Total
(mm)
|
Rerata
(mm)
|
|
Aquades (Kontrol)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0±0,00
|
1:5 (b/v)
|
6,30
|
6,32
|
6,34
|
18,96
|
6,32±0,02
|
1:10 (b/v)
|
7,75
|
7,70
|
7,72
|
23,17
|
7,72±0,02
|
1:15 (b/v)
|
6,15
|
6,17
|
6,10
|
18,42
|
6,14±0,03
|
Berdasarkan
Tabel 4.3 diatas ditunjukkan rerata diameter zona hambat kontrol negatif
(aquades), 1: 5 (b/v), 1:10 (b/v), dan 1:15 (b/v) secara berturut-turut yaitu 0
mm, 6,32 mm, 7,72 mm dan 6,14 mm. Rerata zona hambat terbesar diperoleh pada
rasio bahan:pelarut 1:10 ulangan pertama dengan luas zona hambat yaitu 7,75 mm
atau memiliki daya hambat sedang. Hal ini sesuai dengan Suradikusumah (2008), bahwa
zona hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya
hambat kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah.
Pengujian
maserat juga dilakukan terhadap khamir. Berdasarkan hasil ekstraksi menggunakan
metode maserasi dengan variasi rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v), 1:10 (b/v), 1:15 (b/v). Rasio
perbandingan bahan:pelarut yang memiliki aktivitas antifungal tertinggi pada
metode maserasi yaitu 1:10 (b/v). Hal ini diperoleh melalui uji difusi Kirby-Bauer terhadap ekstrak daun gambir
dengan rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v), 1:10 (b/v), dan 1:15 (b/v) dimana zona
hambat khamir terbesar yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio
bahan:pelarut 1:10 (b/v) dan zona hambat khamir terkecil yaitu pada ekstrak
daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:15 (b/v). Data pengaruh rasio bahan:pelarut maserat
terhadap zona hambat khamir dapat dilihat pada tabel Tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4 Pengaruh rasio bahan:pelarut maserat
terhadap zona hambat khamir uji
Rasio Bahan:Pelarut
|
Zona Hambat
|
||||
Ulangan
1
(mm)
|
Ulangan
2
(mm)
|
Ulangan
3 (mm)
|
Total
(mm)
|
Rerata
(mm)
|
|
Aquades (Kontrol)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0±0,00
|
1:5 (b/v)
|
8,19
|
8,18
|
8,20
|
24,57
|
8,19±0,01
|
1:10 (b/v)
|
11,40
|
11,45
|
11,44
|
34,29
|
11,43±0,02
|
1:15 (b/v)
|
6,89
|
6,92
|
6,93
|
20,74
|
6,91±0,02
|
Berdasarkan
Tabel 4.4 diatas ditunjukkan rerata diameter zona hambat kontrol negatif
(aquades), 1: 5 (b/v), 1:10 (b/v), dan 1:15 (b/v) secara berturut-turut yaitu 0
mm, 8,19 mm, 11,43 mm dan 6,91 mm. Rerata zona hambat terbesar yaitu rasio
bahan:pelarut 1:10 (b/v) ulangan kedua yaitu 11,45 mm atau termasuk memiliki
daya hambat kuat. Hal ini sesuai dengan Suradikusumah (2008), bahwa jika zona
hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya hambat
kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah.
Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa volume pelarut aquades sebanyak 10 ml
merupakan rasio paling optimal karena mampu mengekstrak senyawa antimikroba
daun gambir dengan hasil yang paling optimal. Hal ini diduga karena kontak
bahan dengan pelarut lebih efektif pada volume 10 ml daripada perlakuan
ekstraksi dengan volume pelarut sebanyak 5 ml dan 15 ml.
Hasil
penelitian ini sesuai dengan pendapat Ana et
al. (2009) bahwa rasio optimal dari pelarut pada rasio bahan atau padatan
menjamin kehomogenan dan pemanasan yang efektif, yang juga didukung hasil penelitian
Prasetiyo (2015) bahwa jumlah pelarut mempengaruhi luas kontak padatan dengan
pelarut yang akan mempengaruhi distribusi pelarut ke padatan. Hal ini diperkuat
oleh Jayanudin dkk (2014), bahwa meratanya distribusi pelarut ke bahan akan
memperbesar komponen bahan yang terkekstrak secara sempurna. Hasil penelitian
Dewi (2010) menunjukkan bahwa rasio bahan dengan pelarut yang optimal
berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi senyawa fenolik serbuk daun gambir
yaitu rasio bahan:pelarut 1:10 (b/v).
Pada
rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v), diduga pelarut yang digunakan terlalu sedikit
untuk mengekstrak senyawa fenol di dalam bahan. Hal ini menyebabkan senyawa
fenol yang terekstrak sedikit dan aktivitas antimikroba yang dihasilkan juga
rendah. Hal ini sesuai dengan Winata (2013), bahwa rasio bahan:pelarut yang
terlalu sedikit menyebabkan kontak antara bahan dengan pelarut terbatas atau
tidak merata. Zamarel dan Risfaheri (2015) menambahkan bahwa jumlah pelarut
yang terlalu sedikit menyebabkan proses ekstraksi senyawa di dalam sel tidak
optimal. Sehingga, rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v) kurang efektif untuk
memperoleh total fenol ekstrak daun gambir yang berperan sebagai antimikroba.
Pada
rasio bahan:pelarut 1:15 (b/v), diduga volume pelarut yang digunakan terlalu
berlebihan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jayanudin dkk (2014), bahwa
penggunaan pelarut yang berlebihan dapat menyebabkan kejenuhan pelarut selama
ekstraksi sehingga senyawa fenolik tidak terekstrak secara sempurna. Hal ini
diperkuat oleh Zhu et al. (2012)
menyebutkan bahwa jumlah pelarut yang berlebihan tidak berbanding lurus dengan
ekstrak yang dihasilkan. Sehingga, rasio bahan:pelarut 1:15 (b/v) kurang
efektif untuk memperoleh total fenol ekstrak daun gambir yang berperan sebagai
antimikroba.
4.2
Analisa Total Fenol Ekstrak
Setelah
diperoleh rasio bahan:pelarut, juga dilakukan analisa total fenol ekstrak
dengan metode Folin-Ciocaltaeu yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan
kandungan senyawa fenolik yang bersifat antimikroba (antibakteri dan
antifungal). Hal ini sesuai dengan Amos dkk. (2014) bahwa kandungan total
fenolik dalam ekstrak daun gambir diukur dengan metode Folin-Ciocaltaeu (F-C).
Metode Folin-ciocalteu
adalah salah satu metode termudah untuk mengukur kandungan total fenol (Folin
dan Ciocalteu, 1944). Aranda et al.
(2014) menambahkan bahwa prinsip kerjanya yaitu senyawa fenolik yang terkandung
dalam ekstrak akan tereduksi oleh dua asam heteropoli yaitu asam fosfomolibdat
(H3PMo12O40) dan asam fosfotungstat (H3PW12O40)
sehingga membentuk senyawa kromogen yaitu biru molibdenum tungsten. Semakin
tinggi kandungan fenolik pada ekstrak maka semakin banyak kromogen terbentuk
yang berbanding lurus dengan intensitas warna biru yang dihasilkan. Intensitas
dari warna biru dapat diukur pada panjang gelombang 765 nm.
Pada
penelitian ini, standar (pembanding) yang digunakan adalah asam galat yang
memiliki nama kimia asam 3,4,5- trihidroksibenzoat (C6H2(OH)3COOH). Rerata total fenol infusa dan maserat
berturut-turut 40,779±3,32 mg/g ekstrak dan 54,662±1,73 mg/g ekstrak. Hal ini
sesuai dengan penelitian Prasetiyo dkk (2015) yang memperoleh total fenol daun
gambir sebesar 42,865 mg/g. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Istiqomah
(2013) yang memperoleh fenol dari ekstrak daun gambir dengan range sebesar
37,887 mg/g-60,478 mg/g. Hasil penelitian Roslizawaty dkk (2013) juga
memperkuat bahwa total fenol ekstrak daun gambir diatas 40 mg/g sudah mampu
menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen pada pangan. Hal ini sesuai
dengan Naufalin (2015), ekstrak daun gambir dengan pelarut aquades senyawa fenolik
ketika dianalisa dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Hasil
dari pengujian total fenol, ditunjukkan bahwa total fenol maserat daun gambir
lebih tinggi dibandingkan total fenol infusa daun gambir. Perbedaan total fenol
ekstrak ini diduga karena perbedaan metode ekstraksi. Selama ekstraksi dengan
metode infus, dilakukan pemanasan yang bertujuan untuk membantu proses
pemecahan matriks sel daun gambir, sehingga senyawa antimikroba (senyawa
fenolik) dapat dilepaskan secara optimal. Hal ini sesuai dengan Magdalena
(2015) bahwa panas bertujuan untuk
membantu pemecahan matriks sel daun gambir sehingga senyawa dapat diekstrak
oleh pelarut (aquades).
Suhu
yang tinggi selama ekstraksi infus diduga menyebabkan degradasi beberapa senyawa
fenolik sehingga total fenol ekstrak infusa menurun. Hal ini sesuai dengan
penelitian Naidu (2010) bahwa kadar fenol meningkat seiring dengan naiknya suhu
namun pada suhu 95oC, kadar fenol cenderung konstan dan menurun
kembali. Hal ini diperkuat oleh Parhusip (2014), bahwa jika suhu ekstraksi terlalu
tinggi melebihi suhu optimum maka senyawa fenolik akan terdegradasi. Sedangkan
pada metode ekstraksi maserasi, suhu yang digunakan yaitu suhu ruang sehingga
degradasi senyawa fenolik akibat suhu tinggi dapat dihindari. Hal ini diperkuat
oleh Fauzi (2013), bahwa keunggulan metode ekstraksi maserasi yaitu dapat
mencegah degradasi pada senyawa target termolabil seperti senyawa fenolik.
Dalam ekstrak
produk gambir senyawa fenolik merupakan komponen terpenting yang bersifat
antibakteri dan antifungal (Pambayun dkk., 2007). Hal ini sesuai dengan Dewi
(2010), bahwa mekanisme kerja turunan senyawa fenol dapat menyebabkan
denaturasi protein melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen.
Pada kadar rendah, terbentuk kompleks protein-fenol dengan ikatan lemah dan
segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan
menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi, fenol
menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis, mengubah
permeabilitas membran bakteri. Pernyataan ini juga diperkuat oleh penelitian
Pambayun dkk. (2007), bahwa senyawa fenol dalam ekstrak gambir berperan
dalam menghambat pertumbuhan S. aureus dan B. Subtilis.
4.3 Kadar
Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Daun Gambir
Analisa
karakteristik antimikroba pada penelitian ini menggunakan metode dilusi.
Pemilihan metode dilusi dikarenakan metode ini memiliki keunggulan dibandingkan
metode difusi, yaitu dapat mengetahui Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar
Bunuh Minimum (KBM). Hal ini sesuai dengan Lay (2012), bahwa metode dilusi
dapat digunakan untuk menentukan KHM dan KBM.
4.3.1 Kadar Hambat Minimum (KHM) Ekstrak
Daun Gambir Terhadap Bakteri
Pada
penelitian ini KHM bakteri ditentukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Infusa dengan perlakuan konsentrasi 70% (M1K1), 80% (M1K2), 90% (M1K3), dan
100% (M1K4) menunjukkan respon yang berbeda yaitu semakin tinggi konsentrasi infusa
daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin jernih mendekati
kejernihan kontrol negatif (kontrol media) dan semakin rendah konsentrasi infusa
daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin keruh mendekati
kekeruhan kontrol positif (kontrol bakteri). Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan infusa daun gambir memberikan pengaruh yaitu menghambat pertumbuhan
bakteri yang ditunjukkan dengan kejernihan sampel setelah inkubasi 24 jam pada
suhu 37oC.
Maserat dengan perlakuan konsentrasi 70% (M2K1), 80% (M2K2),
90% (M2K3), dan 100% (M2K4) menunjukkan respon yang berbeda yaitu semakin
tinggi konsentrasi maserat daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak
semakin jernih mendekati kejernihan kontrol negatif (kontrol media) dan semakin
rendah konsentrasi maserat daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak
semakin keruh mendekati kekeruhan kontrol positif (kontrol bakteri). Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan maserat daun gambir memberikan pengaruh yaitu menghambat
pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan kejernihan sampel setelah inkubasi
24 jam pada suhu 37oC.
Data hasil analisa kualitatif bakteri (Lampiran 5) disimpulkan pada Tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5 Rerata hasil analisa KHM kualitatif
bakteri uji
Perlakuan
|
Pertumbuhan bakteri
|
Rerata Total
|
||
Ulangan
1
|
Ulangan
2
|
Ulangan
3
|
||
Infusa Konsentrasi 70%
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Infusa Konsentrasi 80%
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Infusa Konsentrasi 90%
|
-
|
+
|
+
|
+
|
Infusa Konsentrasi 100%
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Maserat Konsentrasi 70%
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Maserat Konsentrasi 80%
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Maserat Konsentrasi 90%
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Maserat Konsentrasi 100%
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Kontrol Positif (Bakteri)
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Kontrol Negatif (Media)
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Keterangan: + = bakteri tumbuh (keruh)
- = bakteri
tidak tumbuh (jernih)
Berdasarkan
data pada Tabel 4.5 diatas ditunjukkan bahwa sampel infusa dengan perlakuan konsentrasi
70% (M1K1), 80% (M1K2), dan 90% (M1K3) berubah keruh yang menunjukkan adanya
pertumbuhan bakteri sedangkan sampel infusa dengan perlakuan konsentrasi 100% (M1K4)
tetap jernih setelah inkubasi selama 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa KHM
sampel infusa secara kualitatif yaitu perlakuan konsentrasi 100% (M1K4).
Sedangkan sampel maserat pada konsentrasi 70% (M2K1) dan 80% (M2K2) berubah
keruh yang menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Sementara sampel dengan
konsentrasi 90% (M2K3) dan 100% (M2K4) tetap jernih setelah inkubasi selama 24
jam. Hal ini menunjukkan bahwa KHM sampel maserat secara kualitatif yaitu
konsentrasi 90% (M2K3). Kontrol positif pada penelitian ini menunjukkan hasil
yang keruh sedangkan negatif media tetap jernih setelah inkubasi 24 jam.
Hasil
penelitian ini sesuai dengan Pelczar dan Chan (2005) yang menyatakan bahwa
penghambatan bakteri ditunjukkan dengan adanya kerjernihan media uji dan
penurunan jumlah koloni bakteri setelah penambahan ekstrak antibakteri. Hal ini
diperkuat oleh Ahmed (2008) bahwa pada medium yang keruh menunjukkan bakteri
masih dapat tumbuh, antibakteri tidak efektif, sedangkan bila medium jernih
berarti antibakteri efektif menghambat pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian ini
diperkuat oleh penelitian Magdalena (2015) bahwa gambir telah terbukti
menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada pangan dengan Kadar Hambat Minimum
(KHM) pada rentang konsentrasi 80%
hingga 100%. Hasil penelitian Widiyanti (2006) memperkuat bahwa Kadar Hambat
Minimum (KHM) gambir terhadap bakteri S.
aureus yaitu 90%.
Aktivitas
antibakteri pada daun gambir disebabkan oleh senyawa fenolik. Mekanisme
kerjanya yaitu mengerutkan dinding sel atau membran sel, sehingga mengganggu
permeabilitas sel bakteri (Ajizah, 2004). Hendra et al. (2014) menambahkan, mekanisme antibakteri fenolik yaitu
dengan cara menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sel,
dan menghambat metabolisme energi.
Perbedaan
KHM pada dua metode ekstraksi yang berbeda ini diduga karena banyaknya
kandungan fenol yang rusak akibat proses ekstraksi infus sehingga dibutuhkan
ekstrak dengan konsentrasi yang lebih banyak dibandingkan sampel hasil
ekstraksi menggunakan metode maserasi yang lebih mampu melindungi kandungan senyawa
fenolik karena penggunaan suhu yang rendah yaitu suhu ruang. Hasil penelitian
ini diperkuat oleh penelitian Naufalin (2015) bahwa aktivitas antibakteri
ekstrak yang diperoleh dari metode infus lebih rendah dikarenakan pemanasan
selama ekstraksi berlangsung menyebabkan fenolik daun gambir tidak dapat
terlarut secara sempurna di dalam pelarut namun sebagian besar mengalami degradasi.
Metode
ekstraksi maserasi memiliki keunggulan dibandingkan metode infus karena dapat
mencegah degradasi pada senyawa target termolabil sekalipun seperti senyawa
fenolik. Hal ini menyebabkan maserat dapat memberikan pengaruh penghambatan
bakteri yang lebih baik dibandingkan infusa (Almeida et al., 2005). Hasil penelitian Roslizawaty et al. (2013) maserasi cocok digunakan untuk mengekstrak senyawa
termolabil seperti senyawa fenolik.
Selain pengujian secara
kualitatif, pengujian KHM terhadap bakteri uji juga dilakukan secara
kuantitatif dengan metode dilusi tabung atau metode turbidimetri. KHM merupakan
konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Nilai KHM
ditentukan dari konsentrasi terendah dimana terdapat nilai OD yang negatif (OD
bakteri adalah ≤ 0).
Nilai OD yang negatif menunjukkan adanya penurunan nilai absorbansi yang
berarti terjadi penurunan jumlah sel setelah inkubasi. Nilai OD positif
menunjukkan adanya peningkatan nilai absorbansi yang menunjukkan adanya
pertumbuhan bakteri. KHM ditentukan dengan menghitung OD setelah inkubasi
(akhir) dikurangi OD sebelum inkubasi (awal). Tabel 4.6 berikut merupakan hasil
analisa KHM kuantitatif terhadap bakteri uji:
Tabel
4.6
Rerata hasil analisa KHM kuantitatif bakteri uji
Perlakuan
|
Rerata ΔOD
|
Total ΔOD
|
Rerata
ΔOD
|
Persentase Penghambatan
(%)
|
||
Ulangan
1
|
Ulangan
2
|
Ulangan
3
|
||||
Infusa Konsentrasi 70%
|
0,573
|
0,605
|
0,575
|
1,753
|
0,584
|
6,47±0,015
|
Infusa Konsentrasi
80%
|
0,374
|
0,439
|
0,308
|
1,121
|
0,374
|
40,2±0,053
|
Infusa Konsentrasi
90%
|
0,219
|
0,233
|
0,101
|
0,553
|
0,184
|
70,5±0,059
|
Infusa Konsentrasi
100%*
|
0,001
|
0,006
|
0,001
|
0,008
|
0,003
|
99,6±0,002
|
Maserat Konsentrasi 70%
|
0,451
|
0,376
|
0,335
|
1,162
|
0,387
|
37,8±0,048
|
Maserat Konsentrasi
80%
|
0,244
|
0,458
|
0,251
|
0,953
|
0,318
|
49,5±0,099
|
Maserat Konsentrasi
90%*
|
0,038
|
0,060
|
0,068
|
0,166
|
0,055
|
91,2±0,013
|
Maserat Konsentrasi
100%
|
0,003
|
0,009
|
0,004
|
0,016
|
0,005
|
99,2±0,003
|
Kontrol Positif (Bakteri)
|
0,601
|
0,650
|
0,624
|
1,875
|
0,625
|
-
|
Kontrol Negatif (Media)
|
0,000
|
0,000
|
0,000
|
0,000
|
0,000
|
-
|
Keterangan:
* = Kadar Hambat Minimum (KHM)
Berdasarkan
Tabel 4.6 diatas, persentase penghambatan tertinggi terhadap bakteri yaitu
perlakuan infusa konsentrasi 100% dengan rerata persentase penghambatan 99,6%
dan rerata ΔOD 0,003. Sedangkan rerata
persentase penghambatan terendah yaitu perlakuan infusa konsentrasi 70% dengan
persentase penghambatan 6,47% dan rerata ΔOD
0,584. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka
aktivitas antibakteri semakin tinggi yang dibuktikan dengan rerata ΔOD yang semakin mendekati kontrol
negatif. Semakin rendah konsentrasi ekstrak maka aktivitas antibakteri semakin
rendah yang dibuktikan dengan rerata ΔOD
yang semakin mendekati kontrol positif. Hal ini diperkuat oleh Ahmed (2008),
semakin tinggi konsentrasi suatu ekstrak antibakteri, kemampuan penghambatannya
cenderung semakin tinggi.
Hasil
analisa KHM kuantitatif belum diperoleh diperoleh ekstrak daun gambir yang
mampu menghambat pertumbuhan bakteri hingga 100%. Sehingga berdasarkan hasil
analisa KHM kuantitatif, ekstrak daun gambir belum bisa dinyatakan memiliki KHM
hingga konsentrasi 100%. Persentase penghambatan yang belum mencapai 100% diduga
karena variasi bakteri yang terdapat di dalam nira tebu. Hal ini diduga pada
konsentrasi antibakteri yang cukup untuk menghambat bakteri gram positif belum cukup
untuk menghambat bakteri gram negatif akibat perbedaan struktur dinding sel
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Ahmed (2008), bahwa terdapat beberapa macam mikroorganisme pada nira
tebu yang berasal dari tanah dan udara serta menempel pada batang tebu sebelum
digiling. Patil et al. (2012) menambahkan
bahwa bakteri pada nira tebu terdiri dari bakteri aerob pembentuk spora, bakteri
aerob tidak membentuk spora, dan bakteri pembentuk lendir gum.
Berdasarkan
hasil analisa ragam KHM terhadap bakteri (Lampiran
6) menunjukkan bahwa perlakuan variasi metode ekstraksi dan konsentrasi
ekstrak berpengaruh sangat nyata (α = 0,01)
terhadap KHM bakteri uji. Namun pada interaksi antar perlakuan atau antar faktor
tidak berpengaruh nyata terhadap KHM bakteri uji. Hasil uji BNT KHM bakteri uji
akibat perlakuan variasi
metode ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut:
Tabel 4.7 Kadar Hambat Minimum (KHM) bakteri uji akibat
perlakuan variasi
metode ekstraksi
Metode Ekstraksi
|
Rerata ΔOD
|
BNT (α = 0,01)
|
Infus
|
0,859b
|
0,0442
|
Maserasi
|
0,574a
|
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang
berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (α = 0,01)
Berdasarkan
tabel 4.7 diatas, perlakuan metode ekstraksi infus memberikan rerata ΔOD 0,859 yang berbeda sangat nyata
dengan perlakuan metode ekstraksi maserasi dengan rerata ΔOD 0,574. perlakuan metode ekstraksi
maserasi menunjukkan kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri uji yang lebih signifikan
dibandingkan perlakuan dengan metode ekstraksi infus. Hal ini terlihat dari rerata
ΔOD metode ekstraksi maserasi
lebih rendah dibandingkan rerata ΔOD metode
ekstraksi infus. Hal ini sesuai dengan Istiqomah (2013) bahwa maserasi
merupakan metode ekstraksi dingin yang mampu mengekstrak senyawa dengan hasil
yang lebih banyak sehingga berpengaruh terhadap kemampuan antibakteri yang
lebih baik. Selain itu hasil analisa ini juga diperkuat oleh Naufalin (2015),
bahwa keunggulan metode ekstraksi maserasi yaitu dapat mencegah degradasi pada
senyawa target termolabil seperti senyawa fenolik yang bersifat antibakteri dan
antioksidan. Sementara menurut Umar dkk (2012), senyawa fenolik memiliki
kemampuan mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri.
Selain
disebabkan oleh metode ekstraksi, konsentrasi ekstrak yang ditambahkan juga berpengaruh
sangat nyata (α = 0,01) terhadap KHM bakteri uji. Namun pada interaksi antar perlakuan atau antar faktor
tidak berpengaruh nyata terhadap KHM bakteri uji, sebagaimana ditunjukkan pada
tabel 4.8 berikut:
Tabel 4.8 Kadar Hambat Minimum (KHM) bakteri
uji akibat perlakuan konsentrasi ekstrak
Konsentrasi (%)
|
Rerata ΔOD
|
BNT (α = 0,01)
|
70
|
1,458d
|
0,0625
|
80
|
1,037c
|
|
90
|
0,360b
|
|
100
|
0,013a
|
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda
menyatakan perbedaan sangat nyata (α = 0,01)
Berdasarkan Tabel 4.8 diatas, perlakuan penambahan konsentrasi
ekstrak 70% memberikan rerata ΔOD sebesar
1,458 yang berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 80% yang
memberikan rerata ΔOD sebesar
1,037. Selain itu juga berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 90%
yang memberikan rerata ΔOD sebesar
0,360 serta berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 100% yang
memberikan rerata ΔOD sebesar
0,013. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan maka rerata ΔOD semakin rendah. Hal ini diduga karena kandungan
antibakteri di dalam ekstrak semakin banyak sehingga lebih efektif untuk
menghambat pertumbuhan bakteri.
Hasil
penelitian ini sesuai Pelczar
dan Chan (2005) bahwa semakin tinggi konsentrasi
suatu bahan antibakteri maka aktivitas antibakterinya semakin kuat. Pernyataan
tersebut didukung pula oleh Roslizawaty et
al. (2013) dan Kavitha et al.
(2012), bahwa meningkatnya konsentrasi zat menyebabkan peningkatan kandungan
senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri sehingga aktivitas antibakteri
semakin besar. Hal ini juga diperkuat oleh Pratiwi (2009), bahwa aktivitas antibakteri
ekstrak daun gambir berbanding lurus dengan konsentrasi ekstrak yang
ditambahkan.
Hasil analisa KHM ekstrak daun
gambir terhadap bakteri secara kualitatif, ditunjukkan bahwa KHM bakteri yaitu
infusa konsentrasi 100%
(M1K4) dan maserat konsentrasi 90% (M2K3). Karena itu, diperoleh tiga perlakuan
yang akan digunakan untuk uji KBM bakteri yaitu infusa konsentrasi 90%
(M1K3), maserat konsentrasi 90% (M2K3), maserat konsentrasi 100% (M2K4). Hal
ini dikarenakan ketiga perlakuan tersebut menunjukkan kejernihan setelah
diinkubasi selama 24 jam pada uji KHM bakteri. Hal ini sesuai dengan Dewi (2010)
bahwa tidak adanya kekeruhan menunjukkan bahwa mikroorganisme dapat dihambat oleh
ekstrak didalam tabung. Selain itu, persentase penghambatan ketiga perlakuan
tersebut berada diatas 90% dan mendekati 100%. Hal ini juga didukung oleh Suraini
dkk (2015) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol gambir, maka semakin
rendah pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian Pratiwi (2009) membuktikan bahwa
ekstrak dengan persentase penghambatan diatas 90% dapat digunakan untuk uji
lanjut KBM.
4.3.2
Kadar Hambat Minimum (KHM)
Ekstrak Daun Gambir Terhadap Khamir
Pada penelitian ini KHM
khamir ditentukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Penentuan KHM secara
kualitatif dilakukan dengan membandingkan tingkat kekeruhan sampel secara visual
sebelum dan setelah inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC dengan
kontrol positif (kontrol khamir) dan kontrol negatif (kontrol media).
Berdasarkan
gambar 4.11 diatas, infusa dengan perlakuan konsentrasi 70% (M1K1), 80% (M1K2),
90% (M1K3), dan 100% (M1K4) menunjukkan respon yang berbeda yaitu semakin
tinggi konsentrasi infusa daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak
semakin jernih mendekati kejernihan kontrol negatif (kontrol media). Semakin
rendah konsentrasi infusa daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak
semakin keruh mendekati kekeruhan kontrol positif (kontrol khamir). Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan infusa daun gambir memberikan pengaruh yaitu menghambat
pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan kejernihan sampel setelah inkubasi 48
jam pada suhu 37oC.
Berdasarkan
gambar 4.12 diatas, maserat dengan perlakuan konsentrasi 70% (M2K1), 80% (M2K2),
90% (M2K3), dan 100% (M2K4) menunjukkan respon yang berbeda yaitu semakin
tinggi konsentrasi maserat daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak
semakin jernih mendekati kejernihan kontrol negatif (kontrol media). Semakin
rendah konsentrasi maserat daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak
semakin keruh mendekati kekeruhan kontrol positif (kontrol khamir). Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan maserat daun gambir memberikan pengaruh yaitu menghambat
pertumbuhan khamir yang ditunjukkan dengan kejernihan sampel setelah inkubasi 48
jam pada suhu 37oC.
Data
hasil analisa kualitatif bakteri (Lampiran
7) disimpulkan
pada tabel 4.9 berikut:
Tabel 4.9
Rerata hasil analisa KHM kualitatif khamir uji
Perlakuan
|
Kejernihan/ Kekeruhan
|
Rerata Total
|
||
Ulangan
1
|
Ulangan
2
|
Ulangan
3
|
||
Infusa Konsentrasi 70%
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Infusa Konsentrasi 80%
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Infusa Konsentrasi 90%
|
-
|
+
|
-
|
-
|
Infusa Konsentrasi 100%
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Maserat Konsentrasi 70%
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Maserat Konsentrasi 80%
|
-
|
+
|
+
|
+
|
Maserat Konsentrasi 90%
|
-
|
-
|
+
|
-
|
Maserat Konsentrasi 100%
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Kontrol Positif (Khamir)
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Kontrol Negatif (Media)
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Keterangan: + = khamir tumbuh (keruh)
- = khamir tidak tumbuh (jernih)
Berdasarkan
pada hasil Tabel 4.9 diatas ditunjukkan bahwa sampel infusa pada konsentrasi 70%
(M1K1), 80% (M1K2) berubah keruh sedangkan sampel dengan konsentrasi 90% dan
100% tetap jernih setelah inkubasi selama 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa KHM
sampel infusa yaitu konsentrasi 90%. Sedangkan sampel maserat pada konsentrasi 70%
(M2K1) dan 80% (M2K2) berubah keruh setelah inkubasi selama 48 jam. Sementara
sampel dengan konsentrasi 90% (M2K3), dan 100% (M2K4) menunjukkan penampakan
yang tetap jernih. Hal ini menunjukkan bahwa KHM sampel maserat yaitu
konsentrasi 90%. Kontrol positif pada penelitian ini menunjukkan hasil yang
keruh sedangkan kontrol negatif tetap jernih setelah inkubasi 48 jam.
Hasil
penelitian ini sesuai dengan Racowski et
al. (2015) yang menyatakan bahwa kerjernihan sampel uji setelah inkubasi menunjukkan
kemampuan suatu antimikroba menghambat pertumbuhan sel target. Hal ini
diperkuat oleh Ana et al. (2009)
bahwa pada medium yang keruh menunjukkan bakteri masih dapat tumbuh karena
antimikroba yang digunakan belum mampu menghambat atau tidak sesuai. Hasil
penelitian ini diperkuat oleh penelitian Prasetiyo (2015) bahwa gambir telah
terbukti menghambat pertumbuhan jamur pada fase log dengan Kadar Hambat Minimum
(KHM) pada rentang konsentrasi 80%
hingga 90%. Hasil penelitian Widiyanti (2006) memperkuat bahwa gambir memiliki
kemampuan menghambat Saccharomycess
cerevisiae pada konsentrasi 90%
Perbedaan
KHM pada dua metode ekstraksi yang berbeda ini diduga karena banyaknya
kandungan fenol yang rusak akibat proses ekstraksi infus sehingga dibutuhkan
ekstrak dengan konsentrasi yang lebih banyak dibandingkan sampel hasil
ekstraksi menggunakan metode maserasi yang lebih mampu melindungi kandungan senyawa
fenolik karena penggunaan suhu yang rendah yaitu suhu ruang. Hasil penelitian
ini diperkuat oleh penelitian Naufalin (2015) bahwa aktivitas antifungal
ekstrak yang diperoleh dari metode infus lebih rendah dikarenakan pemanasan
selama ekstraksi berlangsung menyebabkan fenolik daun gambir tidak dapat
terlarut secara sempurna di dalam pelarut namun sebagian besar mengalami
degradasi.
Metode
ekstraksi maserasi memiliki keunggulan dibandingkan metode infus karena dapat
mencegah degradasi pada senyawa target termolabil sekalipun seperti senyawa
fenolik. Hal ini menyebabkan maserat dapat memberikan pengaruh penghambatan khamir
yang lebih baik dibandingkan infusa (Almeida et al., 2005). Hasil penelitian Roslizawaty et al. (2013) maserasi cocok digunakan untuk mengekstrak senyawa
termolabil seperti senyawa fenolik. Hasil pengujian KHM kuantitatif terhadap khamir
diperoleh hasil sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.10 berikut:
Tabel 4.10 Rerata hasil
analisa KHM kuantitatif khamir uji
Perlakuan
|
Rerata ΔOD
|
Total ΔOD
|
Rerata
ΔOD
|
Rerata Persentase Penghambatan
(%)
|
||
Ulangan
1
|
Ulangan
2
|
Ulangan
3
|
||||
Infusa Konsentrasi 70%
|
0,492
|
0,536
|
0,587
|
1,615
|
0,438
|
13,8±0,039
|
Infusa Konsentrasi 80%
|
0,218
|
0,284
|
0,290
|
0,792
|
0,264
|
57,7±0,033
|
Infusa Konsentrasi 90%*
|
0,077
|
0,095
|
0,116
|
0,288
|
0,064
|
84,6±0,016
|
Infusa Konsentrasi 100%
|
0,014
|
0,009
|
0,006
|
0,032
|
0,013
|
98,5±0,003
|
Maserat Konsentrasi 70%
|
0,400
|
0,388
|
0,377
|
1,165
|
0,321
|
37,9±0,009
|
Maserat Konsentrasi 80%
|
0,172
|
0,149
|
0,157
|
0,478
|
0,159
|
74,5±0,010
|
Maserat Konsentrasi 90%
|
0,034
|
0,026
|
0,031
|
0,091
|
0,030
|
95,2±0,003
|
Maserat Konsentrasi 100%
|
0,004
|
0,002
|
0,001
|
0,007
|
0,002
|
99,6±0,001
|
Kontrol Positif (Khamir)
|
0,650
|
0,595
|
0,633
|
1,878
|
0,626
|
-
|
Kontrol Negatif (Media)
|
0,000
|
0,000
|
0,000
|
0,000
|
0,000
|
-
|
Keterangan:
* = Kadar Hambat Minimum (KHM)
Berdasarkan
tabel 4.10 diatas, persentase penghambatan tertinggi terhadap khamir yaitu
perlakuan maserat konsentrasi 100% (M2K4) dengan rerata persentase penghambatan
tertinggi yaitu 99,6% dan rerata ΔOD 0,002
sedangkan rerata persentase penghambatan terendah yaitu perlakuan infusa
konsentrasi 70% (M1K1) dengan persentase 13,8% dan rerata ΔOD 0,438. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka aktivitas antifungal semakin tinggi
yang dibuktikan dengan rerata ΔOD yang
semakin mendekati kontrol negatif. Semakin rendah konsentrasi ekstrak maka
aktivitas antifungal semakin rendah yang dibuktikan dengan rerata ΔOD yang semakin mendekati kontrol
positif. Hasil penelitian ini sesuai dengan Suraini dkk (2015) bahwa semakin
tinggi konsentrasi ekstrak etanol gambir, maka semakin rendah pertumbuhan
khamir. Aktivitas antifungal gambir telah dibuktikan oleh penelitian Widiyanti (2006) bahwa gambir
memiliki kemampuan menghambat khamir Saccharomycess
cerevisiae.
Hasil
analisa KHM kuantitatif belum diperoleh diperoleh ekstrak daun gambir yang
mampu menghambat pertumbuhan khamir hingga 100%. Sehingga berdasarkan hasil
analisa KHM kuantitatif, ekstrak daun gambir belum bisa dinyatakan memiliki KHM
hingga konsentrasi 100%. Persentase penghambatan yang belum mencapai 100%
dikarenakan variasi khamir yang terdapat di dalam nira tebu. Hal ini sesuai
dengan Widyawati dkk (2015) bahwa khamir yang hidup dalam nira tebu terdapat 26
spesies, tetapi khamir yang banyak terdapat dalam nira tebu terdiri dari
delapan spesies seperti Saccharomyces
cerevisiae serta Saccharomyces
carlbergensis var. Alcohophila (kapang utama dalam proses fermentasi), Pichia Candida guiliemondii, Pichia
fermentans, dan Candida intermedia
var. Etahopila. Hal ini juga diperkuat oleh Widiyanti (2006) bahwa khamir
yang terdapat di dalam nira tebu yang bervariasi memiliki ketahanan/resistensi
terhadap antimikroba, sehingga senyawa antimikroba tidak dapat maksimal
menghambat pertumbuhan khamir.
Berdasarkan
hasil analisa ragam KHM terhadap khamir (Lampiran
8) menunjukkan bahwa perlakuan variasi metode ekstraksi dan konsentrasi
ekstrak berpengaruh sangat nyata (α = 0,01)
terhadap KHM khamir uji. Namun pada interaksi antar perlakuan atau
antar faktor tidak berpengaruh nyata terhadap KHM uji. Hasil
uji BNT KHM khamir uji akibat perlakuan variasi metode ekstraksi dapat dilihat
pada Tabel 4.11 berikut:
Tabel 4.11 Kadar Hambat Minimum (KHM) khamir uji akibat perlakuan variasi metode
ekstraksi
Metode Ekstraksi
|
Rerata ΔOD
|
BNT (α = 0,01)
|
Infus
|
2,727b
|
0,0643
|
Maserasi
|
1,741a
|
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda
menyatakan perbedaan sangat nyata (α = 0,01)
Berdasarkan
tabel 4.11 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan metode ekstraksi infus
memberikan rerata ΔOD 2,727 yang
berbeda sangat nyata dengan perlakuan metode ekstraksi maserasi dengan rerata ΔOD 1,741. Metode ekstraksi maserasi
menunjukkan kemampuan menghambat pertumbuhan khamir uji yang lebih
signifikan dibandingkan perlakuan dengan metode ekstraksi infus. Hal ini
ditunjukkan dengan rerata ΔOD metode
ekstraksi maserasi lebih rendah dibandingkan metode ekstraksi infus. Hal ini
sesuai dengan Istiqomah (2013) bahwa maserasi merupakan metode ekstraksi dingin
yang mampu mengekstrak senyawa dengan hasil yang lebih banyak sehingga
berpengaruh terhadap kemampuan antibakteri yang lebih baik. Hal ini diperkuat
oleh Prasetiyo (2015), bahwa metode ekstraksi maserasi mampu mencegah degradasi
pada senyawa target termolabil karena menggunakan suhu ekstraksi yang rendah. Benko
(2010) menambahkan bahwa polifenol dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+
and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), perubahan karakteristik morfologi hifa, bengkak
dan tidak bisa memanjang
Selain
disebabkan oleh metode ekstraksi, konsentrasi ekstrak yang ditambahkan juga
memberikan pengaruh sangat nyata terhadap KHM khamir
uji sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.12 berikut:
Tabel 4.12 Kadar Hambat Minimum (KHM) khamir
uji akibat perlakuan konsentrasi ekstrak
Konsentrasi (%)
|
Rerata ΔOD
|
BNT (α = 0,01)
|
70
|
1,390d
|
0,0909
|
80
|
0,635c
|
|
90
|
0,190b
|
|
100
|
0,020a
|
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda
menyatakan perbedaan sangat nyata (α = 0,01)
Berdasarkan tabel 4.12 diatas dapat dilihat bahwa
perlakuan konsentrasi ekstrak 70% memberikan rerata ΔOD sebesar 1,390 yang berbeda nyata dengan perlakuan
konsentrasi ekstrak 80% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 0,635 juga berbeda nyata
dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 90% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 0,190 serta berbeda nyata dengan perlakuan
konsentrasi ekstrak 100% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 0,020. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka rerata ΔOD semakin rendah. Hal ini diduga karena kandungan antifungal
di dalam ekstrak semakin banyak. Hal ini sesuai dengan Zhu et al. (2012) bahwa konsentrasi ekstrak berbanding lurus dengan
jumlah senyawa aktif yang terkandung. Hal ini didukung oleh Ridawati dkk (2008)
bahwa tingginya konsentrasi ekstrak mengakibatkan tingginya aktivitas
penghambatan pertumbuhan jamur karena tingginya ekstrak yang terdifusi kedalam
sel jamur. Hal ini diperkuat oleh Benko (2010), bahwa jumlah ekstrak yang
terdifusi kedalam sel khamir meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi
yang ditambahkan.
Hasil analisa KHM ekstrak daun
gambir terhadap khamir secara kualitatif, ditunjukkan bahwa KHM khamir yaitu infusa
konsentrasi 90% (M1K3) dan
maserat konsentrasi 90% (M2K3). Karena itu, diperoleh empat perlakuan yang akan
digunakan untuk uji KBM khamir yaitu infusa konsentrasi 90% (M1K3), infusa
konsentrasi 100% (M1K4), maserat konsentrasi 90% (M2K3), maserat konsentrasi
100% (M2K4). Hal ini dikarenakan keempat perlakuan tersebut menunjukkan kejernihan
setelah diinkubasi selama 48 jam pada uji KHM khamir. Hal ini sesuai dengan
Dewi (2010) bahwa tidak adanya kekeruhan menunjukkan bahwa mikroorganisme dapat
dihambat oleh ekstrak didalam tabung. Selain itu, persentase penghambatan
keempat perlakuan tersebut berada diatas 80% dan mendekati 100%. Hal ini juga
didukung oleh Suraini dkk (2015) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun
gambir, maka semakin rendah pertumbuhan khamir. Hasil penelitian Pratiwi (2009)
membuktikan bahwa ekstrak dengan persentase penghambatan diatas 90% dapat
digunakan untuk uji lanjut KBM.
4.4
Kadar Bunuh Minimum (KBM) Ekstrak
Daun Gambir
KBM adalah
konsentrasi terendah bahan antimikroba yang dapat mematikan mikroba (Rahayu
dkk, 2011). KBM pada penelitian ini ditentukan dengan metode hitungan cawan.
Konsentrasi terendah yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri
ditetapkan sebagai KBM.
4.4.1 Kadar Bunuh Minimum
(KBM) Ekstrak Daun Gambir Terhadap Bakteri
Penentuan KBM
bakteri dilakukan terhadap infusa konsentrasi 90% (M1K3), maserat
konsentrasi 90% (M2K3), dan maserat konsentrasi 100% (M2K4). Perlakuan M1K4 (ekstrak infusa 100%), M2K3 (ekstrak maserat
90%), dan M2K4 (ekstrak maserat 100%) masih menunjukkan adanya pertumbuhan
bakteri setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Hasil analisa
KBM ekstrak daun gambir terhadap bakteri uji (Lampiran 9) ditunjukkan pada tabel 4.13 berikut:
Tabel 4.13 Hasil analisa
kuantitatif KBM terhadap bakteri uji
Perlakuan
|
Bakteri yang Tumbuh pada Cawan
|
Rerata
|
||
Ulangan
1
|
Ulangan
2
|
Ulangan
3
|
||
Infusa Konsentrasi 100%
|
145
|
130
|
135
|
137±6,24
|
Maserat Konsentrasi 90%
|
300
|
292
|
280
|
291±8,22
|
Maserat Konsentrasi 100%
|
55
|
45
|
50
|
50±4,08
|
Berdasarkan
data pada tabel 4.13 diatas ditunjukkan bahwa pertumbuhan koloni bakteri
tertinggi dan terendah berturut-turut tumbuh pada perlakuan ekstrak maserat
konsentrasi 90% dengan rerata 291±8,22 koloni dan maserat konsentrasi 100%
dengan rerata 50±4,08 koloni. Namun, masih terdapat pertumbuhan bakteri semua
perlakuan sehingga tidak diperoleh nilai KBM ekstrak daun gambir terhadap bakteri.
Hal ini diduga karena senyawa fenolik daun gambir hanya bersifat bakteriostatik
dan bukan bakterisidal atau bakteriolitik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Patil
et al. (2012) bahwa kemampuan suatu
bahan antimikroba dalam meniadakan kemampuan hidup mikroorganisme tergantung
pada konsentrasi dan jenis bahan antimikroba itu sendiri.
Hasil
penelitian ini juga diperkuat oleh hasil penelitan Umar dkk (2012) bahwa
ekstrak kental daun gambir bersifat bakteriostatik. Hasil penelitian Magdalena
(2015) juga membuktikan bahwa daun gambir mampu menghambat pertumbuhan bakteri
dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) pada Escherichia
Coli 100%, Salmonella typhimurium
90%, Staphylococcus aureus 90%, dan Bacillus cereus 80%. Namun ekstrak daun
gambir belum mampu membunuh bakteri atau tidak terbukti memiliki Kadar Bunuh
Minimum (KBM) terhadap bakteri.
Variasi bakteri yang terdapat dalam nira tebu
diduga mempengaruhi aktivitas antibakteri ekstrak daun gambir, karena terdapat
beberapa bakteri yang memiliki resistensi sangat tinggi terhadap antibakteri
(Racowski et al., 2015). Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Patil et al.
(2012), bahwa terdapat beberapa macam mikroorganisme pada nira
tebu. Mikroorganisme tersebut antara lain:
a. Bakteri aerob pembentuk spora, yaitu Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus mogatherium, Bacillus
aterrimus, dan Bacillus mesentericus
b. Bakteri aerob tidak membentuk spora, yaitu tiga spesies Micrococcus. Ketiga spesies tersebut
yaitu Flavobacterium, Achromabacterium
dan Eschericia.
c. Bakteri pembentuk lendir gum, seperti Leuconostoc mesentroides yang menghasilkan dekstran dan CO2
dan Leuconostoc dextranicum serta Betacoccus arabinosaceus yang
menghasilkan dekstran dari glukosa.
Adanya
dua jenis bakteri yaitu bakteri gram negatif dan bakteri gram positif dalam
nira tebu diduga mempengaruhi hasil dari KBM. Karena pada konsentrasi
antibakteri yang cukup untuk membunuh bakteri gram positif diduga belum cukup
untuk membunuh bakteri gram negatif. Hal ini dikarenakan perbedaan struktur
dinding sel bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Madigan et al. (2013) menyebutkan bahwa dinding
sel bakteri gram positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam
teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif. Sedangkan lapisan dinding
sel bakteri gram negatif mengandung 5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri
dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan
lipid kedua yang disebut lipopolisakarida (LPS) yang mengandung polisakarida
dan protein dengan berat molekul yang lebih besar. Hal ini juga diperkuat oleh Patil
et al. (2012), bahwa semakin tinggi
berat molekul protein semakin sulit untuk menembus permukaan membran luar.
Karena itu pengaruh aktivitas antibakteri lebih signifikan pada bakteri gram
positif daripada terhadap bakteri gram negatif. Hal ini juga diperkuat oleh
Magdalena (2015), bahwa antibakteri ekstrak daun gambir lebih efektif
memberikan pengaruh pada bakteri gram positif dibandingkan pada bakteri gram
negatif.
Sensitivitas
bakteri uji berdasarkan hasil penelitian ini diduga berkaitan dengan karakteristik
kepolaran antibakteri. Hal ini sesuai dengan laporan Racowski et al. (2015) bahwa bakteri gram positif
dan gram negatif memiliki ketahanan yang berbeda terhadap senyawa antimikroba. Singh
and Solomon (2003) menjelaskan bahwa bakteri gram negatif umumnya sensitif
terhadap senyawa antimikroba yang bersifat polar karena dinding sel bakteri gram
negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antibakteri
yang bersifat polar. Sebaliknya bakteri gram positif lebih sensitif terhadap
senyawa antibakteri yang bersifat nonpolar. Sensitivitas bakteri gram positif
terhadap senyawa antimikroba yang bersifat nonpolar disebabkan komponen dasar
penyusun dinding sel bakteri gram positif adalah peptidoglikan yang salah satu
penyusunnya adalah asam amino alanin yang bersifat hidrofobik (nonpolar).
4.4.2 Kadar Bunuh Minimum
(KBM) Ekstrak Daun Gambir Terhadap Khamir
Kadar Bunuh
Minimum (KBM) khamir adalah kadar terendah dari antifungal yang dapat membunuh khamir
yang ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni pada media (Suraini dkk,
2015). Mekanisme kerja antifungal pada khamir yaitu
senyawa fenolik berinteraksi dengan protein membran sel yang menyebabkan
presipitasi dan terdenaturasinya protein membran sel (Al-Bakir and Whittaker,
2007). Kerusakan pada membran sel menyebabkan perubahan permeabilitas pada
membran, sehingga mengakibatkan lisisnya membran sel khamir (Dewi, 2010). Perlakuan M1K3 (ekstrak infusa 90%), M1K4 (ekstrak infusa 100%),
M2K2 (ekstrak maserat 80%), dan M2K3 (ekstrak maserat 90%) tetap menunjukkan
adanya pertumbuhan koloni khamir setelah inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC.
Namun pada perlakuan M2K4 (ekstrak maserat 100%) tidak ditunjukkan adanya
pertumbuhan koloni khamir. Data hasil pengujian KBM
terhadap khamir uji ditunjukkan pada Tabel 4.14 berikut:
Tabel 4.14 Hasil
analisa kuantitatif KBM terhadap khamir
Perlakuan
|
Khamir yang Tumbuh pada Cawan
|
Rerata
|
||
Ulangan
1
|
Ulangan
2
|
Ulangan
3
|
||
Infusa Konsentrasi 90%
|
130
|
140
|
135
|
135±4,08
|
Infusa Konsentrasi 100%
|
45
|
38
|
45
|
128±3,30
|
Maserat Konsentrasi 90%
|
3
|
2
|
0
|
2±1,25
|
Maserat Konsentrasi 100%
|
0
|
0
|
0
|
0±0,00
|
Berdasarkan
Tabel 4.14 diatas, pertumbuhan koloni khamir tertinggi dan terendah berturut-turut
tumbuh pada perlakuan ekstrak infusa konsentrasi 90% dengan rerata 135±4,08
koloni dan ekstrak maserat konsentrasi 100% dengan rerata 0±0,00 koloni. Hal
ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka aktivitas antifungal
semakin besar. Hal ini sesuai dengan Suraini dkk (2015) bahwa semakin tinggi
konsentrasi ekstrak daun gambir, maka semakin rendah pertumbuhan khamir. Hal
ini juga diperkuat oleh penelitian Pelczar dan Chan (2005) bahwa semakin tinggi
konsentrasi antifungal maka semakin sedikit koloni khamir yang tumbuh pada
media uji.
Hasil
pengujian KBM terhadap khamir pada perlakuan M1K3 (ekstrak infusa 90%), M1K4
(ekstrak infusa 100%), M2K2 (ekstrak maserat 80%), dan M2K3 (ekstrak maserat
90%) masih menunjukkan adanya pertumbuhan khamir sedangkan pada perlakuan M2K4
(ekstrak maserat 100%) tidak terdapat pertumbuhan khamir pada setiap ulangan. Hal
ini menunjukkan bahwa perlakuan M2K4 (ekstrak maserat 100%) dapat ditentukan
sebagai KBM ekstrak daun gambir terhadap khamir. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Suraini dkk (2015) yang melakukan uji aktivitas antifungal ekstrak
gambir (Uncaria gambir Roxb) dengan konsentrasi 50%, 60%, 70%, 80%, 90%,
dan 100% terhadap Candida albicans secara in vitro didapatkan bahwa Kadar
Bunuh Minimum (KBM) dari ekstrak etanol gambir terhadap jamur Candida
albicans adalah konsentrasi 100%. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
Pratiwi (2009) yang membuktikan bahwa ekstrak kental daun gambir bersifat
fungsidal.
Aktivitas
fungisidal ekstrak daun gambir disebabkan kandungan senyawa fenolik di
dalamnya. Senyawa fenolik pada gambir berperan sebagai antifungal dengan cara
mengganggu proses difusi makanan ke dalam sel sehingga pertumbuhan jamur
terhenti atau mati (Apea-Bah, 2009). Senyawa fenolik juga diduga berperan
mengerutkan dinding sel sehingga menganggu permeabilitas sel itu sendiri
sehingga aktivitas hidup mikroba dan fungi terhambat (Ajizah, 2004).
Pernyataan ini diperkuat
oleh Benko (2010) bahwa pada
khamir, polifenol dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+
and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), dan perubahan
karakteristik morfologi hifa, bengkak dan tidak bisa memanjang. Apea-Bah (2009) menambahkan bahwa
polifenol juga dapat mendorong pembentukan oksigen reaktif intraseluler,
kerusakan inti, pemanasan membran plasma, dan berakhir dengan kematian.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.
Ekstrak
daun gambir memiliki potensi sebagai antimikroba yang bersifat bakteriostatik
terhadap bakteri serta bersifat fungistatik dan fungisidal terhadap khamir
2.
Perlakuan
metode ekstraksi (infus dan maserasi) tidak menunjukkan adanya interaksi antar
faktor namun memberikan pengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap pertumbuhan
bakteri dan khamir nira tebu
3.
Perlakuan
konsentrasi ekstrak daun gambir (70%, 80% 90%, 100%) tidak menunjukkan adanya
interaksi antar faktor namun memberikan pengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap
pertumbuhan bakteri dan khamir nira tebu yang diamati melalui Kadar Hambat
Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). KHM infusa dan maserat daun gambir
terhadap bakteri berturut-turut yaitu infusa konsentrasi 100% (M1K4) dan
maserat konsentrasi 90% (M2K3). Namun belum terdapat KBM infusa maupun maserat
daun gambir terhadap bakteri. Sedangkan KHM infusa dan maserat daun gambir
terhadap terhadap khamir berturut-turut yaitu infusa konsentrasi 90% (M1K3) dan
maserat konsentrasi 90% (M2K3). KBM ekstrak daun gambir terhadap khamir yaitu
maserat konsentrasi 100% (M2K4).
5.2 Saran
1.
Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap jenis-jenis bakteri dan khamir
secara spesifik yang dapat dihambat oleh ekstrak daun gambir
2.
Perlu
dilakukan penelitian pengaruh ekstrak daun gambir terhadap peningkatan kualitas
dan kuantitas nira tebu pasca panen
No comments:
Post a Comment