Sunday, August 5, 2018

REVIEW JURNAL "Assessment of Genetic Diversity in Colletotrichum falcatum Went Accessions Based on RAPD and ISSR Markers"


TUGAS REVIEW JURNAL
MATA KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN LANJUT


Assessment of Genetic Diversity in Colletotrichum falcatum Went
Accessions Based on RAPD and ISSR Markers

1.    Latar Belakang
Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah hasil pertanian yang penting di India yang produksinya tertinggi kedua setelah kapas. Gujarat Selatan merupakan lokasi penghasil tebu dengan sebelas pabrik pengolah tebu. Selain itu, Pabrik Bardoli yang terletak di Gujarat Selatan merupakan pabrik pengolah tebu terbesar di Asia. Sebagai bahan baku industri, tebu diolah menjadi gula pasir, gula merah tebu, bioetanol, molase, pakan ternak, dan sirup (Patel et al., 2017).
Tebu sangat mudah rusak oleh berbagai penyakit yang disebabkan virus, bakteri, maupun jamur. Jamur merupakan penyebab penyakit terparah karena dapat menyerang semua bagian tebu. Jamur tersebut dapat menyebabkan penyakit layu dan red rot. Red rot adalah penyakit yang paling berbahaya yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum falcatum Went (telomorph, Glomerella tucumanensis). Infeksi patogen red rot menjadi sangat berbahaya jika menyerang batang karena dapat menurunkan berat tebu hingga 29% dan menurunkan kandungan gula hingga 31% (Afghan and Hussnain, 2006).
Metode karakterisasi genetik yang selama ini digunakan tidak efisien. Hal ini karena C. falcatum cepat berevolusi, sangat bervariasi, dan mudah beradaptasi setelah melalui seleksi alam. Karena itu diperlukan penanda molekuler untuk mengkategorikan spesies Colletotrichum. Penanda molekuler tersebut yaitu Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) yang merupakan marker Polymerase Chain Reaction (PCR)  yang mengamplifikasi fragmen DNA secara acak (Xue et al., 2010). Inter-Simple Sequence Repeats (ISSR) merupakan marker PCR yang mengamplifikasi genom diantara sequence SSR (Menzies et al., 2003).

2.    Karakterisasi Genetik Menggunakan Penanda Molekuler
Karakterisasi genotip adalah karakterisasi dengan memperhatikan susunan gen atau DNA untuk mengetahui identitas suatu spesies (Julisaniah et al., 2008). Selain itu, karakterisasi genotip juga digunakan untuk pengelompokan atau klaster (Fatchiyah et al., 2011). Karakteristik ini dapat dievaluasi berdasarkan karakteristik agronomi, morfologi, sitologi, molekuler, biokimia, fisiologis, dan lainnya. Karakterisasi dengan penanda molekuler dianggap paling efisien dan reliabel jika dibandingkan dengan jenis karakterisasi lainnya, karena memungkinkan pembedaan antara aksesi yang memiliki sifat morfologi dan agronomis serupa (Gonçalves et al., 2008). Selain itu, penanda molekuler efektif dalam analisis genetik (Yunus, 2007) karena sifat genetik cenderung stabil pada perubahan lingkungan dan tidak dipengaruhi oleh umur sehingga dapat memberikan informasi yang relatif lebih akurat (Julisaniah et al., 2008).  
Seiring berkembangnya teknologi, terdapat beberapa teknik evaluasi hubungan kekerabatan dengan penanda molekuler. Penanda molekuler tersebut antara lain adalah Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Simple Sequence Repeat (SSR), dan Inter-Simple Sequence Repeats (ISSR). Dari beberapa pilihan penanda molekuler tersebut, RAPD dan ISSR paling banyak dipilih untuk amplifikasi menggunakan primer tunggal karena cepat, efektif, spesifik, mudah diulang, dan reprodusibel (Menzies et al., 2003).



3.    Keunggulan RAPD dan Penelitian Sebelumnya
RAPD dapat digunakan untuk analisa varietas, studi keragaman antar spesies, dalam satu spesies dan antar populasi. RAPD dapat mendeteksi sekuen nukleotida yang polimorfis dengan bantuan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sebuah primer tunggal (Xue et al., 2010). Teknik RAPD merupakan metode analisis pada tingkat DNA yang menggunakan primer acak yang dapat digunakan untuk menetapkan hubungan kekerabatan antar spesies tanaman (Arya et al., 2011; Vural et al., 2009; Das et al., 2009; Verma et al., 2009). Beberapa keunggulan RAPD yaitu prosesnya cepat, biayanya rendah, tidak bergantung pada lingkungan, dan hanya membutuhkan sejumlah kecil sampel (Verma et al., 2009).
Jika dibandingkan dengan RFLP, metode RAPD lebih mudah dilakukan, cepat, memerlukan lebih sedikit template DNA, dan tidak memerlukan informasi awal genom target. Selain itu, RAPD dapat dapat mengidentifikasi sejumlah besar polimorfisme yang memungkinkan perbedaan antara aksesi dan identifikasi kemungkinan duplikat (Bastianel et al., 1998). Oleh karena itu, sejumlah penelitian yang mengevaluasi keragaman genetik dan hubungan taksonomi berbagai tanaman telah dilakukan berdasarkan teknik ini. Namun RAPD memiliki kekurangan, yaitu kemampuan amplifikasinya dipengaruhi oleh seluruh parameter yang mempengaruhi reaksi PCR. Kemampuan pengulangan hasil (reprodusibilitas) RAPD dengan pola yang sama sangat rendah (Arya et al., 2011).
Metode RAPD telah berhasil digunakan untuk membedakan aksesi, mengevaluasi keragaman genetik antar spesies dan mengidentifikasi duplikasi dalam koleksi plasma nutfah (Daher et al., 2002; Teixeira-Cabral et al., 2002; Picoli et al., 2004; Palomino et al., 2005). RAPD juga telah digunakan untuk mengidentifikasi gen untuk kepentingan agronomi. Selain itu, RAPD diaplikasikan untuk memetakan keterkaitan genetik dan berbagai studi tentang keragaman genetik dan filogeni (Engle et al., 2001; Ilbi, 2003).
Berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa RAPD mampu mendeteksi aksesi-aksesi anggrek untuk identifikasi kultivar Dendrobium (Inthawong et al., 2006). Identifikasi pola keragaman anggrek (Parab dan Krishnan, 2008; Sulistianingsih et al., 2010). Deteksi keragaman antar spesies, dalam satu spesies dan antar populasi Trichodesma indicum (Verma et al., 2009). Karakterisasi anggrek Phalaenopsis (Niknejad et al., 2009). Analisa keragaman genetik anggrek Aerides (Sivanaswari et al., 2011). Analisis genetik anggrek Vanda (Tanee et al., 2012) dan interspesifik hibridisasi Begonia (Chen dan Mii, 2012). Serta mengidentifikasi variasi genetik spesies Iris (Azimi et al., 2012).
Evaluasi keragaman genetik pada tanaman pangan diantaranya yaitu identifikasi kimera pada jeruk (Bastianel et al., 1998). Identifkasi kultivar lemon (Tusa et al., 2002. Analisa hubungan filogenetik dalam genus Citrus dan kekerabatannya (Agisimanto dkk, 2007). Identifikasi keragaman genetik salak Jawa (Nandariyah, 2007). Analisa fingerprint jeruk siam kultivar komersial (Agisimanto dkk, 2007). Studi perbedaan genetik interspesifik dan analisis kekerabatan genus Jatropha (Sudheer, 2009). Studi genetik Dacydium pierrei dan Cathaya argrophylla (Wang et al., 2009). Serta analisa keragaman genetik Pisum sativum (Gowhar et al., 2010), dan evaluasi tanaman ketumbar (Coriandrum sativum) (Nisha et al., 2011).



4.    Keunggulan ISSR dan penelitian sebelumnya
ISSR merupakan sekuen yang dibuat berdasarkan urutan sekuen mikrosatelit yang menyebar di sepanjang genom dan bersifat co-dominant untuk mengeksplorasi variasi genetik. ISSR merupakan bagian mikrosatelite yang tidak mengkode protein (non coding region) dan biasanya berupa mono-, di- atau trinukleotida (Anon, 2008). Sekuen ini tersebar di sepanjang genom eukaryotik (Wang et al., 2009) dan dapat mengamplifkasi sekuen di antara mikrosatelit dengan cepat dan membedakan individu-individu yang berkerabat dekat (Parab and Krishnan, 2008)
ISSR merupakan penanda molekuler versi terbaru dibanding RAPD dan RFLP. Karena itu ISSR memiliki reproducibility yang tinggi (Tusa et al., 2002). Primer yang digunakan pada
ISSR lebih panjang (16-25 bp) bila dibanding dengan RAPD yang reproducibility-nya rendah (Hartati, 2015). Menurut Mansyah et al. (2010) penanda ISSR lebih cepat, lebih murah, dan dengan jumlah DNA yang sedikit sudah mampu mendeteksi genetik polimorfisme. Evaluasi dengan teknik ISSR dapat dilakukan tanpa mengetahui susunan basa (sequence) DNA genom. Selain itu, ISSR banyak digunakan untuk mengidentifikasi spesies, kultivar ataupun populasi suatu spesies dan sangat berguna sebagai alat pendeteksi keragaman genetik suatu spesies tanaman yang mempunyai variasi genetik yang sangat luas (Romeida et al., 2012).
Jika dibandingkan dengan RAPD, teknik ISSR lebih sensitif mendeteksi diversitas genetik pada tingkat rendah, namun relatif mudah dan sama ekonomisnya dengan teknik RAPD (Bradford, 2008). Selain itu, amplifkasi dengan primer ISSR menunjukkan sejumlah lokus per primer dibandingkan dengan analisis RAPD (Wolff et al., 1995). Primer-primer ini tidak memerlukan lokus spesifik karena setiap primer akan mencari setiap tempat di dalam genom yang mengandung mikrosatelit (Fang dan Roose, 1997). Selain itu, bila amplikon ISSR diseparasi dengan gel poliakrilamid, jumlah pita DNA yang dapat dideteksi lebih banyak dibandingkan dengan analisis RAPD (Wolff et al., 1995).
ISSR telah banyak digunakan pada penelitian sebelumnya diantaranya pada polimorfisme genetik hasil persilangan pada tanaman kelapa (Cocos nucifera) (Manimekalai et al., 2004). Mengidentifikasi keragaman genetik gandum di Cina Barat (Hou et al., 2005). Analisis mandul jantan, jantan fertil, dan hibrid tanaman pearl millet (Pennisetum glaucum (L.) R.Br.) (Kumar et al., 2006). Memetakan kekerabatan genetik Catharanthus roseus (Gupta et al., 2007), serta mempelajari keanekaragaman DNA polimorfisme tanaman jati (Narayanan et al., 2007).
Marker ISSR juga telah digunakan untuk identifikasi kekerabatan kultivar jeruk (Fang dan Roose, 1997). Identifikasi kerapatan hubungan kultivar jeruk (Fang dan Roose, 1997). Identifikasi bibit zigotik dan nuselar (Tusa et al., 2002), dan karakterisasi allotetraploid (Scarano et al., 2002). Memetakan hubungan kekerabatan Grevillea, tanaman asli Australia (Pharmawati et al., 2004). Penentuan kekerabatan strawberry (Fragaria ananassa Duch) yang diambil dari Fruit Breeding Departmen’s, Research Institute of Pomologi and Floriculture, Polandia (Kuras et al., 2004).

5.    Metode Penelitian

Pada penelitian untuk menganalisa keragaman genetik Colletotrichum falcatum Went Accessions yang dilakukan Patel et al. (2017) terdapat empat tahap penelitian yaitu pengambilan jamur dari sampel sepluh tebu dari berbagai daerah di Gujarat Selatan. Kemudian dilanjutkan dengan ekstraksi genom DNA dan amplifikasi menggunakan PCR dan elektroforesis gel. Terakhir dilakukan analisa data dan pengelompokkan (clustering) berdasarkan kedekatan kekerabatannya.

5.1  Sumber Jamur
Spora tunggal dari masing-masing  jamur ditumbuhkan di media agar miring oatmeal (4±1oC) untuk memperoleh kultur murni yang akan digunakan di tahap selanjutnya (ekstraksi DNA).
5.2  Ekstraksi Genom DNA
Prinsip utama dalam isolasi DNA ada tiga yakni penghancuran (lisis), ektraksi atau pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian DNA (Pharmawati et al., 2004; Bradford, 2008). Proses ekstraksi genom pada penelitian Patel et al. (2017) dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Tahap Ekstraksi Genom
Urutan
Kegiatan
Keterangan
1
Miselium jamur ditumbuhkan selama 5-7 hari pada suhu ruang di complete media broth (CMB) (Yeast Extract 6 g/l, Casien Acid Hydrolysate 6 g/l dan Sucrose 10 g/l) kemudian DNA jamur diisolasi dari menggunakan metode Raeder and Broda (Raeder and Broda, 1985).
Yeast Extract memberikan suplai vitamin, bahan organik seperti asam lemak dan lipid serta beberapa mineral untuk pertumbuhan serta mensuplai vitamin B kompleks. Sedangkan casein acid hydrolysate berfungsi untuk mensuplai asam amino dan substansi nitrogen komplek lainnya. Sedangkan sukrosa adalah sumber karbohidrat penghasil energi terbaik dibanding glukosa, maltosa, rafinosa (Narayanan et al., 2007).
2
Miselium dipanen menggunakan kertas saring (Whatman no.1) kemudian diendapkan menjadi serbuk murni di mortar dan pestle menggunakan nitrogen cair.
Proses ini bertujuan untuk memecahkan sel (lisis) yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Tusa et al., 2002). Menurut Kuras et al. (2004) penghancuran sel dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni dengan cara fisik seperti menggerus sampel dengan menggunakan mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau menggunakan metode freezing-thawing dan iradiasi.
3
Serbuk kering dari setiap isolat (70 mg) dilarutkan dalam 750 µl DNA extraction buffer (700 mM NaCl, 50 mM Tris (pH 8.0), 10 mM EDTA (pH 8.0), 2% cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB), 1% Polyvinyl pyrolidone (PEP) dan 1% 2-mercaptoethanol)
·         Fungsi larutan buffer adalah untuk menjaga struktur DNA selama proses lisis dan purifikasi sehingga memudahkan penghilangan protein dan RNA serta mencegah aktivitas enzim pendegradasi DNA dan mencegah perubahan molekul DNA (Hou et al., 2005) 
·         Ethylenediamine tetra acetic acid (EDTA) berperan menginaktivasi enzim DNase dan menginaktivasi enzim nuklease dengan cara mengikat ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim DNAse (Wang et al., 2009).  
·         Detergen seperti cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB) digunakan untuk melisiskan membran sel pada isolasi DNA (Kumar et al., 2006). 
·         NaCl berfungsi untuk menghilangkan polisakarida sementara 2-mercaptoethanol befungsi untuk menghilangkan senyawa polifenol serta melindungi RNA dari senyawa quinon, disulphide, peroksida, polifenol oksidase, dan protein (Wang et al., 2009).
4
kemudian diinkubasi selama 45 menit (62oC) sambil sesekali diaduk
Proses pemanasan bertujuan untuk melarutkan CTAB dan mercaptoetanol, mendegradasi protein dan dinding sel (Wang et al., 2009). Inkubasi sampel dalam water bath bertujuan untuk optimalisasi kerja buffer ekstrak (Gupta et al., 2007).
5
Setelah inkubasi, larutan disentrifugasi pada 10.000 rpm selama 15 menit dan supernatannya dikumpulkan di fresh tube
Sentrifugasi sampel dilakukan untuk memisahkan debris dan komponen sel lain yang menjadi pengotor DNA. Hasilnya akan terbentuk 2 fase yang terpisah yakni fase organik pada lapisan bawah dan fase aquoeus (air) pada lapisan atas sedangkan DNA dan RNA akan berada pada fase aquoeus setelah sentrifugasi sedangkan protein yang terdenaturasi akan berada pada interfase dan lipid akan berada pada fase organik (Hou et al., 2005).
6
Kemudian, supernatan diekstraksi ganda menggunakan klorofom: isoamyl alcohol (24:1) dilanjutkan dengan etanol murni
 Kloroform digunakan untuk mendeproteinisasi berdasarkan kemampuan rantai polipeptida yang terdenaturasi untuk termobilisasi ke dalam fase antara kloroform – air. Konsentrasi protein yang tinggi pada fase antara tersebut dapat menyebabkan protein mengalami presipitasi. Sedangkan lipid dan senyawa organik lain akan terpisah pada lapisan kloroform (Romeida et al., 2012). 
7
Hasil yang diperoleh disentrifuge pada 12.000 rpm selama 10 menit untuk mempresipitasi DNA
Ekstraksi ganda menyebabkan protein kehilangan kelarutannya dan mengalami presipitasi yang selanjutnya dapat dipisahkan dari DNA melalui sentrifugasi. Sentrifugasi dilakukan hingga didapatkan pelet DNA
8
Pellet DNA kemudian dicuci menggunakan etanol 70%
Setelah proses ekstraksi, DNA yang didapat dapat dipekatkan melalui presipitasi (Romeida et al., 2012). Pada umumnya digunakan etanol atau isopropanol dalam tahapan presipitasi. Etanol 70% berpera mengikat fase aqueous sehingga DNA menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet setelah dilakukan sentrifugasi (Pharmawati et al., 2004). Anon (2008) juga menambahkan bahwa presipitasi juga berfungsi untuk menghilangkan residu-residu kloroform yang berasal dari tahapan ekstraksi. 
9
Kemudian segera dikering anginkan dan dilarutkan di dalam 200 µl of 1X Tris-EDTA (TE).
Setelah presipitasi dan pencucian dengan etanol, maka etanol dibuang dan pellet dikering anginkan. perlakuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan residu etanol dari pelet DNA. Penghilangan residu etanol dilakukan dengan cara evaporasi karena etanol mudah menguap (Tusa et al., 2002).
10
Kontaminasi RNA dari genom DNA dihilangkan dengan menambahkan 5 µl of RNase (10 µg/ml) ke setiap tube dan menginkubasinya selama 1 jam di suhu 37oC
Ekstrak DNA yang didapat seringkali terkontaminasi oleh RNA sehingga RNA harus dipisahkan dari DNA dengan penambahan RNAse (Anon, 2008). Inkubasi selama 1 jam di suhu 37oC agar RNAse dapat bekerja optimal (Bradford, 2008).
11
Genom DNA dimurnikan dengan kombinasi pelarut phenol: chloroform:isoamyl alcohol (25:24:1)
Supernatan yang telah diperoleh selanjutnya diambil dan ditambahkan dengan larutan Phenol:Chloroform:Isolamyl Alkohol (PCI) untuk memurnikan DNA dari kontaminan. Fenol merupakan pelarut organik yang dapat melarutkan protein, lipid dan molekul lain seperti polisakarida sehingga didapatkan supernatan yang berisi DNA bebas kontaminan. Setelah pencampuran, homogenat tersebut divorteks untuk optimalisasi homogenasi (Narayanan et al., 2007).
12
Presipitasi menggunakan 3 M ammonium acetate dan alkohol murni
Pada tahapan presipitasi ini, DNA yang terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu RNA dan protein yang masih tersisa. Residu tersebut juga mengalami koagulasi namun tidak membentuk struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat granular yang derajat kemurniannya lebih tinggi (Bradford, 2008). Selain itu, pencucian kembali pellet yang dipresipitasi bertujuan untuk menghilangkan residu-residu garam yang masih tersisa. Garam-garam yang terlibat dalam proses ekstraksi dapat terpresipitasi bersama DNA, oleh sebab itu dibutuhkan presipitasi kembali dengan alkohol untuk menghilangkan residu garam (Moulin et al., 2012). 

13
Dilarutkan di TE buffer
Mansyah et al. (2010) menyatakan bahwa buffer TE dan penyimpanan suhu pada -20ºC bertujuan agar sampel DNA yang telah diekstraksi dapat disimpan hingga waktu berminggu-minggu. Moulin et al. (2012) juga menjelaskan bahwa pelarutan kembali dengan buffer TE juga dapat memisahkan antara RNA yang mempunyai berat molekul lebih rendah dibandingkan DNA sehingga DNA yang didapatkan tidak terkontaminasi oleh RNA dan DNA sangat stabil ketika disimpan dalam keadaan terpresipitasi pada suhu -20ºC (Guo et al., 2009).
14
Dianalisa menggunakan spektrofotometer
Menentukan kualitas DNA dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm (protein 280 nm; DNA murni apabila pengukuran pada 260:280 = 1,7 – 1,9). Satu OD = 50 ng DNA (Moulin et al., 2012).
15
Elektroforesis agarose gel (0,8%).
Elektroforesis bertujuan untuk melihat band. Band yang tebal secara kualitatif menunjukkan DNA yang bagus (Guo et al., 2009).

5.3  Amplifikasi PCR dan Agarose Gel Electrophoresis
PCR diprogram menggunakan gradient thermocycler (Eppendorf) using 200 µl PCR tubes. Selanjutnya sebanyak 35 primer RAPD (Operon technologies, USA) dan 39 primer ISSR digunakan untuk analisa genetik C. falcatum. PCR untuk RAPD dan ISSR berisi 25 ml buffer MgCl2, primer, deoxynucleotides mixtures dan Taq polymerase (Bangalore GeNei, India, GeNei TM), dan genom DNA. Setelah selesai, produk PCR dipisahkan pada 1,5% gel agarose dan divisualisasi di  Gel Doc system. 100 untai pasang basa (Bangalore GeNei Pvt Ltd, Bangalore, India) digunakan sebagai standar DNA marker. Analisa dilakukan dua kali untuk mengkonfirmasi reproduksibilitas hasilnya.

5.4  Analisa data
Amplifikasi dihitung berdasarkan band pada gel. Keberadaan bands dihitung satu (1) dan ketiadaan band dihitung nol (0), dan hanya band yang konsisten reprodusible yang diikutkan pada analisa akhir. Data dianalisa menggunakan prosedur standar NTSYS-PC by means of Dice’s coefficient. Dendogram dibuat menggunakan metode unweighted pair group berdasarkan rerata aritmatik (UPGMA) algoritma berdasarkan jarak genetik. Informasi polimorfisme (PIC) dihitung menggunakan EIGEN modul NTSYSpc 2.02 untuk mengkonfirmasi efisiensi primer mengacu pada rumus Khalegi.

6.    Hasil dan Pembahasan
Hasil clustering pada penelitian Patel et al. (2017) yang membandingkan antara penanda molekuler RAPD dan ISSR dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3. Perbandingan hasil clustering menggunakan marker RAPD dan ISSR
Parameter
RAPD
ISSR
Marker berbeda nyata
15 dari 35 primer
21 dari 39 primer
Scorable loci
67
119
Monomorphic loci
13
38
Bands yang diamplifikasi
434 bands

Scorable bands
2 hingga 7
2 (SSR822) hingga 8 (ISSR807, ISSR823, dan ISSR15)
Amplifikasi band terbanyak
RPI1 (55)
ISSR835 (57)
Amplifikasi band tersedikit
RPI5 (12)
ISSR822 (16)
% polimorfisme
42,86% hingga 100%.
33.33% hingga 100%.
100% polimorfisme
8 dari 15 primer primer (RPI5, RPI10, RPI11, RPI14, RPI15, RPI17, RPI18 dan RPI19)
4 dari 21 primer (ISSR830, ISSR845, ISSR4 and ISSR15)
Koefisien genetik tertinggi (variasi genetiknya sangat rendah)
cfTIM dan cfMAR (0.91)
cfCHA dan cfMAD (0.93)
Koefisien genetik terendah (variasi genetiknya sangat tinggi)
cfNAV dan cf8436 (0.43)
cfVES dan cfGAN (0.73)
PIC tertinggi
RPI1 (0.849)
ISSR807 (0.849)
PIC terendah
RPI15 (0.489)
ISSR822 (0.469)
Rerata PIC/primer
0.705 (8 dari 15 primer diatas rerata)
0.767 (12 dari 21 primer diatas rerata)
Cut off value cluster
0.75
0.81
Jumlah cluster
2
2
Keunggulan
cepat dan simpel
independen
Kekurangan
inkonsisten
-

Pada penelitian ini dilakukan pengelompokan (clustering). Clustering bertujuan memisahkan objek kedalam beberapa kelompok yang mempunyai sifat berbeda antar kelompok yang satu dengan yang lain (Vural et al., 2009). Sedangkan cut-off value cluster adalah titik pemisah pada skala pengukuran, dimana hasil pengujian dibagi ke dalam kategori yang berbeda (Tanee et al., 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cut off value cluster marker ISSR lebih tinggi (0.81) daripada marker RAPD (0.75).
Scorable loci adalah keterkaitan antara lokus gen penyakit yang sama dengan lokus marker, tetapi memiliki alel yang berbeda yang memisahkan pada lokus marker (Sivanaswari et al., 2011). Monomorfisme adalah sekumpulan DNA yang terdapat pada semua individu sedangkan Polimorfisme genetik adalah variasi struktur genetik dalam satu populasi yang mewakili keanekaragaman hayati paling dasar (Vural et al., 2009). Polimorfisme terdapat pada individu atau beberapa individu yang berkerabat namun tidak ada pada individu lain (Tanee et al., 2012). Berdasarkan data pada tabel 3, marker ISSR lebih unggul dibandingkan RAPD berdasarkan parameter scorable loci, %polimorfisme, dan monomorfisme (monomorphi loci).
Penanda molekuler RAPD memiliki keunggulan yaitu prosesnya cepat dan sederhana, namun hasilnya inkonsisten. Karena itu digunakan ISSR yang independen. Pada penelitian ini juga dilakukan kombinasi keduanya untuk meningkatkan akurasi data yang diperoleh. Selain itu kombinasi RAPD dan ISSR bertujuan untuk mengetahui derajat diversitas genetik di dalam populasi C. Falcatum. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, diperoleh peta kekerabatan C. Falcatum pada gambar 1, 2, dan 3 berikut:





Berdasarkan peta kekerabatan tersebut, ditunjukkan bahwa terdapat hubungan antara variasi genetik dengan distribusi geografis. Nilai PIC menunjukkan kemampuan primer untuk membedakan kekerabatan. Semakin tinggi nilai PIC, maka primer tersebut semakin baik dalam membedakan kemiripan genetik. pada penelitian ini, nilai PIC tertinggi sama pada RAPD maupun ISSR yaitu 0,849. Sedangkan rerata PIC pada RAPD yaitu 0,705 sedangkan rerata PIC pada ISSR yaitu 0,767. Hal ini menunjukkan kemampuan ISSR dalam membedakan kemiripan genetik pada C. falcatum lebih baik dibandingkan RAPD.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata band polimorfisme pada RAPD, ISSR, dan kombinasi RAPD dan ISSR berturut-turut yaitu 0,87; 1,81; dan 1,42. Rerata band polimorfisme pada RAPD, ISSR, dan kombinasi RAPD dan ISSR berturut-turut yaitu 3,60; 3,86; dan 3,75. Sedangkan % polimorfisme RAPD, ISSR, dan kombinasi RAPD dan ISSR berturut-turut yaitu 80,60; 68,70; dan 74,73.

7.    Perbandingan Akurasi Primer RAPD dan ISSR
Teknik identifikasi molekuler yang digunakan pada penelitian ini adalah penggunaan marka RAPD dan ISSR. Primer ISSR mendeteksi lebih banyak pita DNA dibandingkan dengan primer RAPD, sehingga akurasi identifikasi dan eksplorasi polimorfisme menjadi lebih tinggi. Dendogram primer ISSR memperlihatkan spesifitas kekerabatan yang lebih tinggi dibandingkan dendogram primer RAPD. Karena itu, primer ISSR dianggap lebih efektif dibandingkan primer RAPD.
Beberapa penelitian sebelumnya menguatkan bahwa reprodusibilitas RAPD lebih rendah dibandingkan ISSR (Moulin et al., 2012). Selain itu, identifikasi kekerabatan jeruk siam lebih efisien dilakukan menggunakan primer ISSR (Agisimanto dkk, 2007). ISSR memiliki reproduksibilitas lebih tinggi daripada RAPD pada beberapa tanaman (Guo et al., 2009), karena penggunaan primer yang lebih panjang (16-25 basa nukleotida) dibandingkan primer RAPD (10 basa nukleotida), yang menggunakan suhu annealing yang tinggi (45-60oC).

8.    Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penanda molekuler RAPD dan ISSR cocok untuk deteksi genetik C. falcatum. Meskipun penanda molekuler RAPD dan ISSR memberikan akurasi yang tinggi, namun ISSR menunjukkan akurasi yang lebih tinggi dan spesifik dibandingkan RAPD. Karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan marker lain seperti SCAR, APC and SNPs untuk memperoleh hasil yang lebih presisi dan komperhensif.

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Utama
Patel, P., B. K. Rajkumar,  P. Parmar, R. Shah, R. Krishnamurty. 2017. Assessment of Genetic Diversity in Colletotrichum falcatum Went Accessions Based on RAPD and ISSR Markers. Journal of Genetic Engineering and Biotechnology. (Article in Press). https://doi.org/10.1016/j.jgeb.2017.11.006.



Jurnal Pendukung
Agisimanto, D., C. Martasari, dan A. Supriyanto. 2007. Perbedaan Primer RAPD dan ISSR dalam Identifkasi Hubungan Kekerabatan Genetik Jeruk Siam (Citrus suhuniensis L. Tan) Indonesia. J. Hort. 17(2):101-110, 2007.
Anon. 2008. ISSR. Information.http://www.biosci.ohiostate.edu/~awolfe/ISSR/ISSR.html.
Arya, V., Yadav S, and Yadav JP. 2011. Intra Specific Genetic Diversity of Different Accessions of Cassia Occidentalis By RAPD Marker. Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 1(22): 1-8.
Astarini, I. A. 2009. Aplikasi Marka Molekuler untuk Peningkatan Kualitas Produksi Kembang Kol (Brassica oleraceae var. botrytis). Ed: Wirawan, IGP, Supartana P, dan Juliasih, SM. Denpasar: Penerbit Universitas Udayana.
Azimi, S.Y., Sadeghian V, Ahari R, Khazaei F, Hafashjani AF. 2012. Genetic Variation of Iranian Iris Species Using Morphological Characteristics and RAPD Markers. International. Journal of Agriculture Science, 2(9): 875-889.
Bastianel, M., Schwarz SF, Filho HDC, Lin LL, Machado M., and Koller OC. 1998. Identification of Zygotic and Nucellar Tangerine Seedlings (Citrus spp.) using RAPD. Genetics and Molecular Biology 21: 123-127.
Bradford, K. 2008. Comparing The Ability of Two PCR Based Techniques, RAPD and ISSR to Detect Low Levels of Genetic Diversity, to Detect Low Levels of Genetic Diversity. Chicago Botanic Garden, Glencoe, IL.
Chen, Y.M., and Mii M. 2012. Interspecific hybridization of Begonia semperflorens (section Begonia) with B. pearcei (section Eupetalum) for introducingyellow flower color. Original paper. Plant Biotechnology, 29(1): 77-85.
Daher, R.F., Pereira MG, Tupinamba EA, Amaral-Júnior AT, Aragão WM, Ribeiro FE, Oliveira LO and Sakiyama NS. 2002. Assessment of coconut tree genetic divergence by compound sample RAPD marker analysis. Crop Breeding and Applied Biotechnology 2: 431-438.
Das, B.K, Jena RC and Samal KC. 2009. Optimization of DNA Isolation and PCR Protocol For RAPD Analysis of Banana/ Plantain (Musa Spp). Agriculture Science, 1(2): 21-25.
Engle LM, Fan MJ, Wang JY, Lo SF and Shu TR. 2001. Analysis of Genetic Diversity of Capsicum spp. (pepper) Using Random Amplified Polymorphic DNA Analysis. Journal of Agricultural Researches of China 50: 29-42
Fang, D. Q., and M. L. Roose. 1997. Identifcation ofClosely Related Citrus Cultivars with Inter-Simple Sequence Repeats Markers. Theoretical Applied Genetics95:408-417.
Fatchiyah, Arumingtyas, Widyarti, Rahayu. 2011. Biologi Molekuler, Prinsip Dasar Analisis. Jakarta: Erlangga.
Gonçalves, L.S.A., Rodrigues, R., Amaral Júnior, A.T., Karasawa, M., Sudré, C.P. Comparison of Multivariate Statistical Algorithms to Cluster Tomato Heirloom Accessions. Genetics and Molecular Research, v. 7, n. 4, p. 1289-1297, 2008.
Gowhar A, Mudasir, K. Rajdeep, Shikha M K, Srivastava. 2010. Evaluation of Genetic Diversity in Pea (Pisum sativum L) Using RAPD Analysis. Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 16: 1-5.
Guo, H.B., Huang, K.Y., Zhou, T.S., Wu Q.H., Zhang, Y.J., and Liang, Z.S. 2009. DNA Isolation, Optimization of ISSR-PCR system and Primers Screening of Scutellaria baicalensis. Journal Medicine Plant Research, 3(11): 898-901.
Hartati, S. 2015. Analisis Keragaman Genetik Tetua dan Hasil Persilangan Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lindl.). [Disertasi]. Program Studi S3 Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Hou, C., Yong,Yan Z, Wei Y and Zheng Y. 2005. Genetic Diversity in Barley from West China Based on RAPD and ISSR Analysis. Barley Genetic Newsletter, 35: 9-22.
Ilbi, H. 2003. RAPD Markers Assisted Varietal Identification and Genetic Purity Test in Pepper, Capsicum annuum. Scientia Horticulturae 97: 211-218.
Inthawong, S., Weenun B, Nuttha K and Pimchai A. 2006. Analysis of Intersectional Hybrid of Dendrobium by RAPD Technique. Kasetsart Journal, 40(2): 456-461.
Julisanah, N.I., Sulistyowati, L., dan Sugiharto, A.N. 2008. Analisis Kekerabatan Mentimun (Cucumis sativus L.) menggunakan Metode RAPD-PCR dan Isozim. Jurnal Biodiversitas, 9(2): 99-102.
Khosravi, A.R., Kadir MA, Kadzemin SB, Zaman FQ, and De Silva AE. 2009. RAPD Analysis Of Cholchicine Induced Variation of The Dendrobium Serdang Beauty. Africa Journal of Biotechnology, 8(8): 1455-1465.
Kumar, A., Arya L, Kumar V, Sharma S. 2006. Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) Analysis of Cytoplasmic Male Sterile, Male Fertile Lines, and Hybrids of Pearlmillet [Pennisetu glaucum (L.) R.Br.]. Indian J Crop Sci 1(1-2): 117- 119
Kuras, A., Korbin, M and Zueawicz E. 2004. Comparison of Suitability of RAPD and ISSR Techniques for Determination of Strawberry (Fragaria x ananassa Duch.) Relationship. Biotechnologia, (2)79: 189-193.
Maiti, B., Shekar M, Khusiramani R., and Kasunasagar I. 2009. Evaluation of RAPD-PCR And Protein Profile Analysis to Differentiate Vibrio harveyi Strains Prevalent Along The Southwest Coast of India. Journal of Genetics, 88(3): 273-279.
Manimekalai, R., Nagarajan P, Bharathi M, Naresh kumar S. 2003. DNA Polymorphism Among Coconut (Cocos nucifera L.) Cultivars and Reciprocal Cross Derivatives Differing in Drought Tolerance. J Pl Crops 32 : 117-122.
Moulin, M. M., R. Rodrigues, L. S. A. Gonçalves, C. P. Sudré and M. G. Pereira 2012. A Comparison of RAPD and ISSR Markers Reveals Genetic Diversity Among Sweet Potato Landraces (Ipomoea batatas (L.) Lam.). Acta Scientiarum. Agronomy Maringá, v. 34, n. 2, p. 139-147, Apr.-June, 2012.
Nandariyah. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Kultivar Salak Jawa Berdasarkan Analisis RAPD. Agrosains, 9(2): 70-76.
Narayanan, C., Wali SA., Shukla N, Kumar R, Mandal AK, Ansar SA. 2007. RAPD and ISSR Markes for Molecular Characterization of Teak (Tectona grandis) Plus Trees. J Trop For Sci 19(4): 218–225.
Niknejad, A., Kadir MA, Kadzimin SB, Abdullah NAP, Sorkheh K. 2009. Moleculer Characterization and Phylogenetic Relationship Among and Within Species of Phalaenopsis (Epdendroideae: Orchidaceae) Based on RAPD Analysis. African Journal of Biotechnology, 8(20): 5225-5240.
Nisha, P., Jakhar ML and Malik CP. 2011. Analysis of Genetic Diversity in Coriander (Coriandrum sativum L.) Varieties Using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Markers. Journal Microbiology of Biotechnology Research, 1(4): 206-215.
Palomino EC, Mori ES, Zimback L, Tambarussi EV and Moraes CB (2005) Genetic Diversity of Common Bean Genotypes of Carioca Commercial Group Using RAPD Markers. Crop Breeding and Applied Biotechnology 5: 80-85.
Parab, G.V and Krishnan S. 2008. Assessment Of Genetic Variation Among Populations of Rhynchostylis Retusa An Epiphytic Orchid From Goa, India Using ISSR and RAPD Marker. Journal of Biotechnology, 7(17): 313-319.
Pharmawati, M., Yan G and Mc Farlane IJ. 2004. Application of RAPD and ISSR Marker to Analyse Molecular Relationship in Grevillea (Proteace). Australian Systematic Botani, 17: 49-61.
Picoli, EAT, Alfenas AC, Cruz CD, Moura DF and Dias LAS. 2004. Sample size for number of RAPD markers to estimate genetic diversity in Eucalyptus. Crop Breeding and Applied Biotechnology 4: 384-390.

Raeder, U dan Broda, P. 1985. Rapid Preparation of DNA From Filamentous Fungi. Lett. Appl. Microbiol. 1: 17-20
Romeida, A., Surjono HS, Agus Purwito, Dewi S, Rustikawati. 2012. Variasi Genetik Mutan Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Berdasarkan Marker ISSR. Jurnal Agronomi Indonesia, 40(3): 218-224.
Scarano, M. T., L. Abbate, S. Ferrante, S. Lucretti, and N. Tusa. 2002. ISSR-PCR Technique: A Useful Method for Characterizing New Allotetraploid Somatic Hybrids of Mandarin. Plant Cell Reports 20: 1162-1166.
Sivanaswari, Chalaparmal, Thohirah, LA., Fadelah, AA., dan Abdullah, NAP. 2011. Hybridization of several Aerides species and in vitro germination of its hybrid. African Journal of Biotechnology, 10(53): 10864-10870.
Sudheer, P.D.V.N., Meenakshi, Sarkar R., Boricha G., Reddy M.P. 2009. A Simplifies Method For Extraction of High Quality Genomic DNA from Jatropha curcas For Genetic Diversity and Moleculer Marker Studies. Indian Journal of Biotechnology, 8(2): 187-192.
Sulistianingsih, R., Semiarti E., Purwantoro A., Mangoendidjojo. 2010. Analisis keragaman genetic mutan anggrek Phalaenopsis amabilis L, blume dengan RAPD. Seminar Nasional Biologi UGM, Jogyakarta.
Tanee, T., Chadmuk P., Sudmoon R., Chaveerach A., and Noikotr K. 2012. Genetic Analysis For Identification, Genomic Template Stability in Hybrids and Barcodes of The Vanda species (Orchidaceae) of Thailand. African Journal of Biotechnology, 11(55): 11772-11781.
Teixeira-Cabral, T.A., Sakiyama N.S., Zambolim L, Pereira A.A., Barros E.G., and Sakiyama C.C.H. 2002. Reproducibility of RAPD Marker and Its Efficiency in Coffee Tree Genotypes Grouping Analysis. Crop Breeding and Applied Biotechnology 2: 121-129.
Tusa, N., L. Abbate, S. Ferrante, S. Lucretti, and M.T. Scarano. 2002. Identifcation of Zygotic and Nucellar Seedlings in Citrus Interploid Crosses by Means of Isozymes, Flow Cytometry and ISSR-PCR. Cellular and Molecular Biology Letters 7:703-708.
Verma, N., Koche V., Tiwari K.L., and Mishra S.K. 2009. RAPD Analysis Reveal Genetic Variation In Difeerent Population of Trichodesma indicum – A Perennial Medicinal Herb. Journal of Biotechnology, 8(18): 4333-4338.
Vural, Cingili and Dageri. 2009. Optimization of DNA Isolation For RAPD-PCR Analisys of Selected (Echinaceae purpurea L. Moench) Medicinal Plant of Conservation Concern From Turkey. Journal of Medicinal Plants Research 3(1): 16-19.
Wang, H.Z., Feng S.G., LU J.J., Shi N.N., Liu J.J. 2009. Phylogenetic Study and Molekculer Identification of 31 Dendrobium Species Using Intersimple Sequent Repeat (ISSR) Markers. Scientia Horticulturae, 122(3): 140-447.
Wolff, K., E. Zietkiewicz, H. Hofstra. 1995. Identifcation of Chrysanthemum Cultivars and Stability of DNA Fingerprint Patterns. Theoretical Applied Genetics 91:439-447.
Xue, D., Feng S, Zhao H, Jiang H, Shen B, Shi N, Lu J, Liu J., and Wang H. 2010. The Linkage Maps of Dendrobium Species Based on RAPD and SRAP Marker. Journal of Genetic and Genomic, 37(3): 197-204.
Yunus, A. 2007. Identifikasi Keragaman Genetik Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Berdasarkan Penanda Isozim. Jurnal Biodiversitas, 8(3): 249-252.





No comments:

Post a Comment

CATATAN BIOAKTIF DAN SINDROM METABOLIK

SINDROM METABOLIK 1.        Obesitas menyebabkan inflamasi, hipertensi, resistensi insulin . Kemudian menyebabkan DM 2, penyakit kardi...