Saturday, August 11, 2018

CONTOH BAB 4 DAN BAB 5 SKRIPSI


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1      Isolasi Bakteri dan Khamir dari Nira Tebu
Tebu yang telah dipanen dan tertunda giling dengan kondisi penyimpanan terkena sinar matahari selama tiga hari dicuci bersih dan dibuang kulitnya untuk mempermudah pemerasan nira. Tunda giling selama tiga hari bertujuan untuk meningkatkan kandungan mikroorganisme di dalam nira tebu yang terkandung di dalamnya (Downes and Ito, 2011). Hal ini dikarenakan kerusakan sukrosa terjadi secara cepat antara 24 jam-48 jam dan pembentukan dekstran terjadi sangat cepat pada 48 jam-72 jam setelah tebu dipanen (Saxena et al., 2010). Mikroorganisme yang secara alami terdapat dalam nira tersebut selanjutnya digunakan sebagai stok kultur bakteri dan khamir (Miron and Schaffer, 2010). Penggilingan dilakukan sebanyak tiga kali agar nira yang terperas keluar lebih maksimal. 
Nira yang diperoleh kemudian diencerkan dengan menggunakan Buffered Peptone Water (BPW) hingga pengenceran 106. Pengenceran dilakukan hingga 106 betujuan untuk memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang tersuspensi dalam sampel (Haq and Ali, 2007). Selanjutnya masing-masing sampel dari tiga pengenceran terakhir diambil 1 ml dan dilakukan plating pada media Nutrient Agar (NA) untuk isolasi kultur bakteri dan media Potato Dextrose Agar (PDA) untuk isolasi kultur khamir dengan metode pour plate secara triplo. Metode pour plate dipilih karena memiliki keunggulan yaitu dapat menumbuhkan sel target baik yang berada di permukaan (jenis aerob) maupun yang terendam di dalam agar (jenis anaerob) (Miron and Schaffer, 2010). Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam (bakteri) dan 48 jam (khamir). Penggunaan suhu inkubasi 37oC dikarenakan mikroorganisme yang terdapat di dalam nira tebu termasuk golongan mesofil (Skowronek et al., 2013). 
Koloni yang tumbuh diamati setelah inkubasi. Satu buah koloni yang sesuai diisolasi dan diremajakan pada media agar miring. Jika akan digunakan untuk penelitian selanjutnya, kultur dibuat suspensi menggunakan media Nutrient Broth (NB) untuk bakteri dan Potato Dextrose Broth (PDB) khamir (Aranda et al., 2014). 

1.2      Penentuan Rasio Bahan:Pelarut
Ekstraksi adalah proses pemisahan senyawa antara dua fasa yang bercampur untuk mencapai koefisien distribusi yang tepat (Rahayu dkk, 2011). Ekstraksi merupakan proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solvent) sebagai agen pemisah (separating agent). Pemisahan terjadi atas dasar kemampuan larut yang berbeda dari komponen-komponen dalam campuran (Purwani dkk, 2008).
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan ekstraksi adalah rasio bahan:pelarut (Naufalin, 2015). Penentuan rasio bahan:pelarut sangat penting untuk memperoleh hasil ekstraksi yang paling optimal. Pada penelitian ini dilakukan dua variasi metode ekstraksi yaitu infus dan maserasi menggunakan aquades sebagai pelarut.

4.1.1  Penentuan Rasio Bahan:Pelarut Metode Infus
Metode ekstraksi infus pada penelitian ini yaitu dengan cara melarutkan bahan dalam aquades dengan variasi rasio masing-masing 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), 1:45 (b/v) pada erlenmeyer yang sudah ditutup oleh alumunium foil dan selanjutnya erlenmeyer dipanaskan menggunakan penangas air selama 15 menit pada suhu 90OC. Hal ini sesuai dengan Magdalena (2015) dan Pambayun dkk. (2007) bahwa gambir dapat diekstrak dengan berbagai cara salah satunya yaitu infus dengan suhu 90°C selama 15 menit.
Berdasarkan hasil ekstraksi menggunakan metode infus dengan variasi rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), 1:45 (b/v). Rasio perbandingan bahan:pelarut yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik pada metode infus yaitu 1:35 (b/v). Hal ini diperoleh melalui uji difusi Kirby-Bauer terhadap ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), dan 1:45 (b/v) dimana zona hambat bakteri terbesar yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v) dan zona hambat bakteri terkecil yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v). Data pengaruh rasio bahan:pelarut infusa terhadap zona hambat bakteri dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1 Pengaruh rasio bahan:pelarut infusa terhadap zona hambat bakteri uji
Rasio Bahan:Pelarut
Zona Hambat

Ulangan 1
(mm)
Ulangan 2
(mm)
Ulangan 3 (mm)
Total
(mm)
Rerata
(mm)
Aquades (Kontrol)
0
0
0
0
0±0,00
1:25 (b/v)
4,79
4,85
4,81
14,46
4,82±0,02
1:35 (b/v)
6,69
6,70
6,73
20,21
6,71±0,02
1:45 (b/v)
5,70
5,70
5,66
17,06
5,69±0,02

Berdasarkan Tabel 4.1 diatas ditunjukkan rerata diameter zona hambat kontrol negatif (aquades), 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), dan 1:45 (b/v) berturut-turut yaitu 0 mm, 4,82 mm, 6,71 mm, dan 5,69 mm. Zona hambat terbesar diperoleh pada rasio bahan:pelarut 1:35 ulangan ketiga dengan luas zona hambat yaitu 6,73 mm atau memiliki daya hambat sedang. Hal ini sesuai dengan Suradikusumah (2008), bahwa zona hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya hambat kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah.
Selain terhadap bakteri, pengujian zona hambat juga dilakukan terhadap khamir uji. Berdasarkan hasil ekstraksi menggunakan metode infus dengan variasi rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), 1:45 (b/v). Rasio perbandingan bahan:pelarut yang memiliki aktivitas antifungal terbaik pada metode infus yaitu rasio 1:35 (b/v). Hal ini diperoleh melalui uji difusi Kirby-Bauer terhadap ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), dan 1:45 (b/v) dimana zona hambat khamir terbesar yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v) dan zona hambat khamir terkecil yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v). Data pengaruh rasio bahan:pelarut infusa terhadap zona hambat khamir dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Pengaruh rasio bahan:pelarut infusa terhadap zona hambat khamir uji
Rasio Bahan:Pelarut
Zona hambat
Total
(mm)
Rerata
(mm)
Ulangan 1
(mm)
Ulangan 2
(mm)
Ulangan 3 (mm)
Aquades (Kontrol)
0
0
0
0
0±0,00
1:25 (b/v)
6,19
6,11
6,16
18,46
6,15±0,03
1:35 (b/v)
8,35
8,45
8,44
25,24
8,41±0,04
1:45 (b/v)
7,21
7,23
7,20
21,64
7,21±0,01

Berdasarkan Tabel 4.2 diatas ditunjukkan rerata diameter zona hambat kontrol negatif (aquades), 1:25 (b/v), 1:35 (b/v), dan 1:45 (b/v) berturut-turut yaitu 0 mm, 6,15 mm, 8,41 mm, dan 7,21 mm. Rerata zona hambat terbesar diperoleh pada rasio bahan:pelarut 1:35 ulangan kedua dengan luas zona hambat yaitu 8,45 mm atau memiliki daya hambat sedang. Hal ini sesuai dengan Suradikusumah (2008), bahwa zona hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya hambat kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa volume pelarut aquades sebanyak 35 mL merupakan rasio paling optimal karena mampu mengekstrak senyawa antimikroba daun gambir dengan hasil yang paling besar. Hal ini diduga karena kontak bahan dengan pelarut lebih efektif pada volume 35 mL daripada perlakuan ekstraksi dengan volume pelarut sebanyak 25 mL dan 45 mL. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Pelczar dan Chan (2005) bahwa rasio bahan:pelarut yang optimal menjamin kehomogenan dan pemanasan yang efektif. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Parekh et al. (2015), dimana perlakuan terbaik untuk ekstraksi tanin daun anting-anting yaitu dengan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v). Data ini juga diperkuat oleh penelitian Magdalena (2015) bahwa perlakuan terbaik ekstraksi senyawa fenolik daun gambir yaitu perlakuan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v).
Pada perlakuan rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v) diduga perubahan suhu terjadi lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan rasio bahan:pelarut 1:35 (b/v) dan 1:45 (b/v) yang cenderung lebih stabil, sehingga mengakibatkan tingginya kerusakan termal pada senyawa fenolik dalam bahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Naufalin (2015), bahwa massa larutan yang terkestrak berbanding terbalik dengan peningkatan suhu. Menurut Sukardi dkk (2007) hal tersebut dikarenakan seluruh senyawa fenolik akan terekstrak keluar dan bercampur dengan pelarut (air) pada awal proses ekstraksi, dan setelah mencapai titik optimal senyawa tersebut perlahan akan mengalami penurunan. Istiqomah (2013) juga menambahkan bahwa kerusakan fenol yang bersifat antimikroba disebabkan proses hidrolisis selama ekstraksi dan pemanasan terus menerus. Fenol dapat terhidrolisis menjadi asam tanat dan glukosa yang tidak bersifat antimikroba. Sehingga, rasio bahan:pelarut 1:25 (b/v) kurang efektif untuk memperoleh total fenol yang optimal pada ekstrak daun gambir.
Pada perlakuan rasio bahan:pelarut 1:45 (b/v) diduga volume pelarut yang digunakan terlalu berlebihan. Penggunaan pelarut yang berlebihan ternyata tidak meningkatkan perolehan total fenol senyawa ekstrak daun gambir. Prasetiyo (2015), menyebutkan bahwa semakin besar perbandingan bahan dengan pelarut maka proses pelarutan semakin baik karena kontak antara partikel dalam bahan semakin sering, namun jumlah pelarut yang berlebihan tidak dapat menghasilkan ekstrak yang lebih banyak namun hanya menghasilkan rendemen yang lebih banyak.
Kelebihan pelarut juga diduga menyebabkan pemanasan pada ekstrak daun gambir menjadi kurang optimal karena panas diserap oleh pelarut. Hal ini  diperkuat oleh Magdalena (2015), bahwa pelarut yang berlebihan menyebabkan pemanasan kurang baik karena radiasi diserap oleh pelarut. Ridawati (2008) juga menambahkan bahwa pemecahan sel pada energi panas yang rendah akan terjadi secara bertahap atau berangsur-angsur, menyebabkan penetrasi pelarut menuju matriks sel bahan menjadi rendah. Sehingga, rasio bahan:pelarut 1:45 (b/v) kurang efektif untuk memperoleh total fenol yang optimal pada ekstrak daun gambir.

4.1.2     Penentuan Rasio Bahan:Pelarut Metode Maserasi
Selain infus, metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini yaitu maserasi. Ekstraksi maserasi dilakukan dengan melarutkan rasio bahan:pelarut sebanyak 1:5 (b/v), 1:10 (b/v), 1:15 (b/v) dalam aquades selama 24 jam pada erlenmeyer yang sudah ditutup oleh alumunium foil, menggunakan shaker dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang. Proses ekstraksi ini sesuai dengan Ningsih dkk. (2014) dan Rahmawati dkk. (2013) bahwa maserasi dilakukan pada suhu ruang dan kondisi kedap cahaya.
Berdasarkan hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan variasi rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v), 1:10 (b/v), 1:15 (b/v). Rasio perbandingan bahan:pelarut yang memiliki aktivitas antibakteri tertinggi pada metode maserasi yaitu 1:10 (b/v). Hal ini diperoleh melalui uji difusi Kirby-Bauer terhadap ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v), 1:10 (b/v), dan 1:15 (b/v) dimana zona hambat bakteri terbesar yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:10 (b/v) dan zona hambat bakteri terkecil yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:15 (b/v). Data pengaruh rasio bahan:pelarut maserat terhadap zona hambat bakteri dapat dilihat pada tabel Tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Pengaruh rasio bahan:pelarut maserat terhadap zona hambat bakteri uji
Rasio Bahan:Pelarut
Zona Hambat

Ulangan 1
(mm)
Ulangan 2
(mm)
Ulangan 3 (mm)
Total
(mm)
Rerata
(mm)
Aquades (Kontrol)
0
0
0
0
0±0,00
1:5 (b/v)
6,30
6,32
6,34
18,96
6,32±0,02
1:10 (b/v)
7,75
7,70
7,72
23,17
7,72±0,02
1:15 (b/v)
6,15
6,17
6,10
18,42
6,14±0,03

Berdasarkan Tabel 4.3 diatas ditunjukkan rerata diameter zona hambat kontrol negatif (aquades), 1: 5 (b/v), 1:10 (b/v), dan 1:15 (b/v) secara berturut-turut yaitu 0 mm, 6,32 mm, 7,72 mm dan 6,14 mm. Rerata zona hambat terbesar diperoleh pada rasio bahan:pelarut 1:10 ulangan pertama dengan luas zona hambat yaitu 7,75 mm atau memiliki daya hambat sedang. Hal ini sesuai dengan Suradikusumah (2008), bahwa zona hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya hambat kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah.
Pengujian maserat juga dilakukan terhadap khamir. Berdasarkan hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan variasi rasio bahan:pelarut  1:5 (b/v), 1:10 (b/v), 1:15 (b/v). Rasio perbandingan bahan:pelarut yang memiliki aktivitas antifungal tertinggi pada metode maserasi yaitu 1:10 (b/v). Hal ini diperoleh melalui uji difusi Kirby-Bauer terhadap ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v), 1:10 (b/v), dan 1:15 (b/v) dimana zona hambat khamir terbesar yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:10 (b/v) dan zona hambat khamir terkecil yaitu pada ekstrak daun gambir dengan rasio bahan:pelarut 1:15 (b/v).  Data pengaruh rasio bahan:pelarut maserat terhadap zona hambat khamir dapat dilihat pada tabel Tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Pengaruh rasio bahan:pelarut maserat terhadap zona hambat khamir uji
Rasio Bahan:Pelarut
Zona Hambat

Ulangan 1
(mm)
Ulangan 2
(mm)
Ulangan 3 (mm)
Total
(mm)
Rerata
(mm)
Aquades (Kontrol)
0
0
0
0
0±0,00
1:5 (b/v)
8,19
8,18
8,20
24,57
8,19±0,01
1:10 (b/v)
11,40
11,45
11,44
34,29
11,43±0,02
1:15 (b/v)
6,89
6,92
6,93
20,74
6,91±0,02

Berdasarkan Tabel 4.4 diatas ditunjukkan rerata diameter zona hambat kontrol negatif (aquades), 1: 5 (b/v), 1:10 (b/v), dan 1:15 (b/v) secara berturut-turut yaitu 0 mm, 8,19 mm, 11,43 mm dan 6,91 mm. Rerata zona hambat terbesar yaitu rasio bahan:pelarut 1:10 (b/v) ulangan kedua yaitu 11,45 mm atau termasuk memiliki daya hambat kuat. Hal ini sesuai dengan Suradikusumah (2008), bahwa jika zona hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya hambat kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa volume pelarut aquades sebanyak 10 ml merupakan rasio paling optimal karena mampu mengekstrak senyawa antimikroba daun gambir dengan hasil yang paling optimal. Hal ini diduga karena kontak bahan dengan pelarut lebih efektif pada volume 10 ml daripada perlakuan ekstraksi dengan volume pelarut sebanyak 5 ml dan 15 ml.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Ana et al. (2009) bahwa rasio optimal dari pelarut pada rasio bahan atau padatan menjamin kehomogenan dan pemanasan yang efektif, yang juga didukung hasil penelitian Prasetiyo (2015) bahwa jumlah pelarut mempengaruhi luas kontak padatan dengan pelarut yang akan mempengaruhi distribusi pelarut ke padatan. Hal ini diperkuat oleh Jayanudin dkk (2014), bahwa meratanya distribusi pelarut ke bahan akan memperbesar komponen bahan yang terkekstrak secara sempurna. Hasil penelitian Dewi (2010) menunjukkan bahwa rasio bahan dengan pelarut yang optimal berpengaruh terhadap efisiensi ekstraksi senyawa fenolik serbuk daun gambir yaitu rasio bahan:pelarut 1:10 (b/v).
Pada rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v), diduga pelarut yang digunakan terlalu sedikit untuk mengekstrak senyawa fenol di dalam bahan. Hal ini menyebabkan senyawa fenol yang terekstrak sedikit dan aktivitas antimikroba yang dihasilkan juga rendah. Hal ini sesuai dengan Winata (2013), bahwa rasio bahan:pelarut yang terlalu sedikit menyebabkan kontak antara bahan dengan pelarut terbatas atau tidak merata. Zamarel dan Risfaheri (2015) menambahkan bahwa jumlah pelarut yang terlalu sedikit menyebabkan proses ekstraksi senyawa di dalam sel tidak optimal. Sehingga, rasio bahan:pelarut 1:5 (b/v) kurang efektif untuk memperoleh total fenol ekstrak daun gambir yang berperan sebagai antimikroba.
Pada rasio bahan:pelarut 1:15 (b/v), diduga volume pelarut yang digunakan terlalu berlebihan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jayanudin dkk (2014), bahwa penggunaan pelarut yang berlebihan dapat menyebabkan kejenuhan pelarut selama ekstraksi sehingga senyawa fenolik tidak terekstrak secara sempurna. Hal ini diperkuat oleh Zhu et al. (2012) menyebutkan bahwa jumlah pelarut yang berlebihan tidak berbanding lurus dengan ekstrak yang dihasilkan. Sehingga, rasio bahan:pelarut 1:15 (b/v) kurang efektif untuk memperoleh total fenol ekstrak daun gambir yang berperan sebagai antimikroba.

4.2    Analisa Total Fenol Ekstrak
Setelah diperoleh rasio bahan:pelarut, juga dilakukan analisa total fenol ekstrak dengan metode Folin-Ciocaltaeu yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan kandungan senyawa fenolik yang bersifat antimikroba (antibakteri dan antifungal). Hal ini sesuai dengan Amos dkk. (2014) bahwa kandungan total fenolik dalam ekstrak daun gambir diukur dengan metode Folin-Ciocaltaeu (F-C).
Metode Folin-ciocalteu adalah salah satu metode termudah untuk mengukur kandungan total fenol (Folin dan Ciocalteu, 1944). Aranda et al. (2014) menambahkan bahwa prinsip kerjanya yaitu senyawa fenolik yang terkandung dalam ekstrak akan tereduksi oleh dua asam heteropoli yaitu asam fosfomolibdat (H3PMo12O40) dan asam fosfotungstat (H3PW12O40) sehingga membentuk senyawa kromogen yaitu biru molibdenum tungsten. Semakin tinggi kandungan fenolik pada ekstrak maka semakin banyak kromogen terbentuk yang berbanding lurus dengan intensitas warna biru yang dihasilkan. Intensitas dari warna biru dapat diukur pada panjang gelombang 765 nm.
Pada penelitian ini, standar (pembanding) yang digunakan adalah asam galat yang memiliki nama kimia asam 3,4,5- trihidroksibenzoat (C6H2(OH)3COOH). Rerata total fenol infusa dan maserat berturut-turut 40,779±3,32 mg/g ekstrak dan 54,662±1,73 mg/g ekstrak. Hal ini sesuai dengan penelitian Prasetiyo dkk (2015) yang memperoleh total fenol daun gambir sebesar 42,865 mg/g. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Istiqomah (2013) yang memperoleh fenol dari ekstrak daun gambir dengan range sebesar 37,887 mg/g-60,478 mg/g. Hasil penelitian Roslizawaty dkk (2013) juga memperkuat bahwa total fenol ekstrak daun gambir diatas 40 mg/g sudah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen pada pangan. Hal ini sesuai dengan Naufalin (2015), ekstrak daun gambir dengan pelarut aquades senyawa fenolik ketika dianalisa dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Hasil dari pengujian total fenol, ditunjukkan bahwa total fenol maserat daun gambir lebih tinggi dibandingkan total fenol infusa daun gambir. Perbedaan total fenol ekstrak ini diduga karena perbedaan metode ekstraksi. Selama ekstraksi dengan metode infus, dilakukan pemanasan yang bertujuan untuk membantu proses pemecahan matriks sel daun gambir, sehingga senyawa antimikroba (senyawa fenolik) dapat dilepaskan secara optimal. Hal ini sesuai dengan Magdalena (2015) bahwa  panas bertujuan untuk membantu pemecahan matriks sel daun gambir sehingga senyawa dapat diekstrak oleh pelarut (aquades).
Suhu yang tinggi selama ekstraksi infus diduga menyebabkan degradasi beberapa senyawa fenolik sehingga total fenol ekstrak infusa menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian Naidu (2010) bahwa kadar fenol meningkat seiring dengan naiknya suhu namun pada suhu 95oC, kadar fenol cenderung konstan dan menurun kembali. Hal ini diperkuat oleh Parhusip (2014), bahwa jika suhu ekstraksi terlalu tinggi melebihi suhu optimum maka senyawa fenolik akan terdegradasi. Sedangkan pada metode ekstraksi maserasi, suhu yang digunakan yaitu suhu ruang sehingga degradasi senyawa fenolik akibat suhu tinggi dapat dihindari. Hal ini diperkuat oleh Fauzi (2013), bahwa keunggulan metode ekstraksi maserasi yaitu dapat mencegah degradasi pada senyawa target termolabil seperti senyawa fenolik.
Dalam ekstrak produk gambir senyawa fenolik merupakan komponen terpenting yang bersifat antibakteri dan antifungal (Pambayun dkk., 2007). Hal ini sesuai dengan Dewi (2010), bahwa mekanisme kerja turunan senyawa fenol dapat menyebabkan denaturasi protein melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah, terbentuk kompleks protein-fenol dengan ikatan lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi, fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis, mengubah permeabilitas membran bakteri. Pernyataan ini juga diperkuat oleh penelitian Pambayun dkk. (2007), bahwa senyawa fenol dalam ekstrak gambir berperan dalam menghambat pertumbuhan S. aureus dan B. Subtilis.

4.3    Kadar Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Daun Gambir
Analisa karakteristik antimikroba pada penelitian ini menggunakan metode dilusi. Pemilihan metode dilusi dikarenakan metode ini memiliki keunggulan dibandingkan metode difusi, yaitu dapat mengetahui Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Hal ini sesuai dengan Lay (2012), bahwa metode dilusi dapat digunakan untuk menentukan KHM dan KBM.

4.3.1 Kadar Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Daun Gambir Terhadap Bakteri
Pada penelitian ini KHM bakteri ditentukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Infusa dengan perlakuan konsentrasi 70% (M1K1), 80% (M1K2), 90% (M1K3), dan 100% (M1K4) menunjukkan respon yang berbeda yaitu semakin tinggi konsentrasi infusa daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin jernih mendekati kejernihan kontrol negatif (kontrol media) dan semakin rendah konsentrasi infusa daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin keruh mendekati kekeruhan kontrol positif (kontrol bakteri). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan infusa daun gambir memberikan pengaruh yaitu menghambat pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan kejernihan sampel setelah inkubasi 24 jam pada suhu 37oC. 
Maserat dengan perlakuan konsentrasi 70% (M2K1), 80% (M2K2), 90% (M2K3), dan 100% (M2K4) menunjukkan respon yang berbeda yaitu semakin tinggi konsentrasi maserat daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin jernih mendekati kejernihan kontrol negatif (kontrol media) dan semakin rendah konsentrasi maserat daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin keruh mendekati kekeruhan kontrol positif (kontrol bakteri). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan maserat daun gambir memberikan pengaruh yaitu menghambat pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan kejernihan sampel setelah inkubasi 24 jam pada suhu 37oC.
 Data hasil analisa kualitatif bakteri (Lampiran 5) disimpulkan pada Tabel 4.5 berikut:

Tabel 4.5 Rerata hasil analisa KHM kualitatif bakteri uji
Perlakuan
Pertumbuhan bakteri
Rerata Total
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Infusa Konsentrasi 70%
+
+
+
+
Infusa Konsentrasi 80%
+
+
+
+
Infusa Konsentrasi 90%
-
+
+
+
Infusa Konsentrasi 100%
-
-
-
-
Maserat Konsentrasi 70%
+
+
+
+
Maserat Konsentrasi 80%
+
+
+
+
Maserat Konsentrasi 90%
-
-
-
-
Maserat Konsentrasi 100%
-
-
-
-
Kontrol Positif (Bakteri)
+
+
+
+
Kontrol Negatif (Media)
-
-
-
-
Keterangan:    + = bakteri tumbuh (keruh)
- = bakteri tidak tumbuh (jernih)

Berdasarkan data pada Tabel 4.5 diatas ditunjukkan bahwa sampel infusa dengan perlakuan konsentrasi 70% (M1K1), 80% (M1K2), dan 90% (M1K3) berubah keruh yang menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri sedangkan sampel infusa dengan perlakuan konsentrasi 100% (M1K4) tetap jernih setelah inkubasi selama 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa KHM sampel infusa secara kualitatif yaitu perlakuan konsentrasi 100% (M1K4). Sedangkan sampel maserat pada konsentrasi 70% (M2K1) dan 80% (M2K2) berubah keruh yang menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. Sementara sampel dengan konsentrasi 90% (M2K3) dan 100% (M2K4) tetap jernih setelah inkubasi selama 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa KHM sampel maserat secara kualitatif yaitu konsentrasi 90% (M2K3). Kontrol positif pada penelitian ini menunjukkan hasil yang keruh sedangkan negatif media tetap jernih setelah inkubasi 24 jam.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Pelczar dan Chan (2005) yang menyatakan bahwa penghambatan bakteri ditunjukkan dengan adanya kerjernihan media uji dan penurunan jumlah koloni bakteri setelah penambahan ekstrak antibakteri. Hal ini diperkuat oleh Ahmed (2008) bahwa pada medium yang keruh menunjukkan bakteri masih dapat tumbuh, antibakteri tidak efektif, sedangkan bila medium jernih berarti antibakteri efektif menghambat pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Magdalena (2015) bahwa gambir telah terbukti menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada pangan dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) pada rentang konsentrasi 80% hingga 100%. Hasil penelitian Widiyanti (2006) memperkuat bahwa Kadar Hambat Minimum (KHM) gambir terhadap bakteri S. aureus yaitu 90%.
Aktivitas antibakteri pada daun gambir disebabkan oleh senyawa fenolik. Mekanisme kerjanya yaitu mengerutkan dinding sel atau membran sel, sehingga mengganggu permeabilitas sel bakteri (Ajizah, 2004). Hendra et al. (2014) menambahkan, mekanisme antibakteri fenolik yaitu dengan cara menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sel, dan menghambat metabolisme energi.
Perbedaan KHM pada dua metode ekstraksi yang berbeda ini diduga karena banyaknya kandungan fenol yang rusak akibat proses ekstraksi infus sehingga dibutuhkan ekstrak dengan konsentrasi yang lebih banyak dibandingkan sampel hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi yang lebih mampu melindungi kandungan senyawa fenolik karena penggunaan suhu yang rendah yaitu suhu ruang. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Naufalin (2015) bahwa aktivitas antibakteri ekstrak yang diperoleh dari metode infus lebih rendah dikarenakan pemanasan selama ekstraksi berlangsung menyebabkan fenolik daun gambir tidak dapat terlarut secara sempurna di dalam pelarut namun sebagian besar mengalami degradasi.
Metode ekstraksi maserasi memiliki keunggulan dibandingkan metode infus karena dapat mencegah degradasi pada senyawa target termolabil sekalipun seperti senyawa fenolik. Hal ini menyebabkan maserat dapat memberikan pengaruh penghambatan bakteri yang lebih baik dibandingkan infusa (Almeida et al., 2005). Hasil penelitian Roslizawaty et al. (2013) maserasi cocok digunakan untuk mengekstrak senyawa termolabil seperti senyawa fenolik.
Selain pengujian secara kualitatif, pengujian KHM terhadap bakteri uji juga dilakukan secara kuantitatif dengan metode dilusi tabung atau metode turbidimetri. KHM merupakan konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Nilai KHM ditentukan dari konsentrasi terendah dimana terdapat nilai OD yang negatif (OD bakteri adalah 0). Nilai OD yang negatif menunjukkan adanya penurunan nilai absorbansi yang berarti terjadi penurunan jumlah sel setelah inkubasi. Nilai OD positif menunjukkan adanya peningkatan nilai absorbansi yang menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri. KHM ditentukan dengan menghitung OD setelah inkubasi (akhir) dikurangi OD sebelum inkubasi (awal). Tabel 4.6 berikut merupakan hasil analisa KHM kuantitatif terhadap bakteri uji:


Tabel 4.6 Rerata hasil analisa KHM kuantitatif bakteri uji
Perlakuan
Rerata ΔOD
Total ΔOD
Rerata
ΔOD
Persentase Penghambatan (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Infusa Konsentrasi 70%
0,573
0,605
0,575
1,753
0,584
6,47±0,015
Infusa Konsentrasi 80%
0,374
0,439
0,308
1,121
0,374
40,2±0,053
Infusa Konsentrasi 90%
0,219
0,233
0,101
0,553
0,184
70,5±0,059
Infusa Konsentrasi 100%*
0,001
0,006
0,001
0,008
0,003
99,6±0,002
Maserat Konsentrasi 70%
0,451
0,376
0,335
1,162
0,387
37,8±0,048
Maserat Konsentrasi 80%
0,244
0,458
0,251
0,953
0,318
49,5±0,099
Maserat Konsentrasi 90%*
0,038
0,060
0,068
0,166
0,055
91,2±0,013
Maserat Konsentrasi 100%
0,003
0,009
0,004
0,016
0,005
99,2±0,003
Kontrol Positif (Bakteri)
0,601
0,650
0,624
1,875
0,625
-
Kontrol Negatif (Media)
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
-
Keterangan: * = Kadar Hambat Minimum (KHM)

Berdasarkan Tabel 4.6 diatas, persentase penghambatan tertinggi terhadap bakteri yaitu perlakuan infusa konsentrasi 100% dengan rerata persentase penghambatan 99,6% dan rerata ΔOD 0,003. Sedangkan rerata persentase penghambatan terendah yaitu perlakuan infusa konsentrasi 70% dengan persentase penghambatan 6,47% dan rerata ΔOD 0,584. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka aktivitas antibakteri semakin tinggi yang dibuktikan dengan rerata ΔOD yang semakin mendekati kontrol negatif. Semakin rendah konsentrasi ekstrak maka aktivitas antibakteri semakin rendah yang dibuktikan dengan rerata ΔOD yang semakin mendekati kontrol positif. Hal ini diperkuat oleh Ahmed (2008), semakin tinggi konsentrasi suatu ekstrak antibakteri, kemampuan penghambatannya cenderung semakin tinggi.
Hasil analisa KHM kuantitatif belum diperoleh diperoleh ekstrak daun gambir yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri hingga 100%. Sehingga berdasarkan hasil analisa KHM kuantitatif, ekstrak daun gambir belum bisa dinyatakan memiliki KHM hingga konsentrasi 100%. Persentase penghambatan yang belum mencapai 100% diduga karena variasi bakteri yang terdapat di dalam nira tebu. Hal ini diduga pada konsentrasi antibakteri yang cukup untuk menghambat bakteri gram positif belum cukup untuk menghambat bakteri gram negatif akibat perbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ahmed (2008), bahwa terdapat beberapa macam mikroorganisme pada nira tebu yang berasal dari tanah dan udara serta menempel pada batang tebu sebelum digiling. Patil et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri pada nira tebu terdiri dari bakteri aerob pembentuk spora, bakteri aerob tidak membentuk spora, dan bakteri pembentuk lendir gum.
Berdasarkan hasil analisa ragam KHM terhadap bakteri (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan variasi metode ekstraksi dan konsentrasi ekstrak berpengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap KHM bakteri uji. Namun pada interaksi antar perlakuan atau antar faktor tidak berpengaruh nyata terhadap KHM bakteri uji. Hasil uji BNT KHM bakteri uji akibat perlakuan variasi metode ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 4.7 berikut:

Tabel 4.7 Kadar Hambat Minimum (KHM) bakteri uji akibat perlakuan variasi metode ekstraksi
Metode Ekstraksi
Rerata ΔOD
BNT (α = 0,01)
Infus
0,859b
0,0442
Maserasi
0,574a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (α = 0,01)
                                                                                                                                 
Berdasarkan tabel 4.7 diatas, perlakuan metode ekstraksi infus memberikan rerata ΔOD 0,859 yang berbeda sangat nyata dengan perlakuan metode ekstraksi maserasi dengan rerata ΔOD 0,574. perlakuan metode ekstraksi maserasi menunjukkan kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri uji yang lebih signifikan dibandingkan perlakuan dengan metode ekstraksi infus. Hal ini terlihat dari rerata ΔOD metode ekstraksi maserasi lebih rendah dibandingkan rerata ΔOD metode ekstraksi infus. Hal ini sesuai dengan Istiqomah (2013) bahwa maserasi merupakan metode ekstraksi dingin yang mampu mengekstrak senyawa dengan hasil yang lebih banyak sehingga berpengaruh terhadap kemampuan antibakteri yang lebih baik. Selain itu hasil analisa ini juga diperkuat oleh Naufalin (2015), bahwa keunggulan metode ekstraksi maserasi yaitu dapat mencegah degradasi pada senyawa target termolabil seperti senyawa fenolik yang bersifat antibakteri dan antioksidan. Sementara menurut Umar dkk (2012), senyawa fenolik memiliki kemampuan mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri.
Selain disebabkan oleh metode ekstraksi, konsentrasi ekstrak yang ditambahkan juga berpengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap KHM bakteri uji. Namun pada interaksi antar perlakuan atau antar faktor tidak berpengaruh nyata terhadap KHM bakteri uji, sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.8 Kadar Hambat Minimum (KHM) bakteri uji akibat perlakuan konsentrasi ekstrak
Konsentrasi (%)
Rerata ΔOD
BNT (α = 0,01)
70
1,458d
0,0625
80
1,037c
90
0,360b
100
0,013a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (α = 0,01)

Berdasarkan Tabel 4.8 diatas, perlakuan penambahan konsentrasi ekstrak 70% memberikan rerata ΔOD sebesar 1,458 yang berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 80% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 1,037. Selain itu juga berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 90% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 0,360 serta berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 100% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 0,013. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan maka rerata ΔOD semakin rendah. Hal ini diduga karena kandungan antibakteri di dalam ekstrak semakin banyak sehingga lebih efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Hasil penelitian ini sesuai Pelczar dan Chan (2005) bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu bahan antibakteri maka aktivitas antibakterinya semakin kuat. Pernyataan tersebut didukung pula oleh Roslizawaty et al. (2013) dan Kavitha et al. (2012), bahwa meningkatnya konsentrasi zat menyebabkan peningkatan kandungan senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri sehingga aktivitas antibakteri semakin besar. Hal ini juga diperkuat oleh Pratiwi (2009), bahwa aktivitas antibakteri ekstrak daun gambir berbanding lurus dengan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan.
Hasil analisa KHM ekstrak daun gambir terhadap bakteri secara kualitatif, ditunjukkan bahwa KHM bakteri yaitu infusa konsentrasi 100% (M1K4) dan maserat konsentrasi 90% (M2K3). Karena itu, diperoleh tiga perlakuan yang akan digunakan untuk uji KBM bakteri yaitu infusa konsentrasi 90% (M1K3), maserat konsentrasi 90% (M2K3), maserat konsentrasi 100% (M2K4). Hal ini dikarenakan ketiga perlakuan tersebut menunjukkan kejernihan setelah diinkubasi selama 24 jam pada uji KHM bakteri. Hal ini sesuai dengan Dewi (2010) bahwa tidak adanya kekeruhan menunjukkan bahwa mikroorganisme dapat dihambat oleh ekstrak didalam tabung. Selain itu, persentase penghambatan ketiga perlakuan tersebut berada diatas 90% dan mendekati 100%. Hal ini juga didukung oleh Suraini dkk (2015) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol gambir, maka semakin rendah pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian Pratiwi (2009) membuktikan bahwa ekstrak dengan persentase penghambatan diatas 90% dapat digunakan untuk uji lanjut KBM.

4.3.2 Kadar Hambat Minimum (KHM) Ekstrak Daun Gambir Terhadap Khamir
Pada penelitian ini KHM khamir ditentukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Penentuan KHM secara kualitatif dilakukan dengan membandingkan tingkat kekeruhan sampel secara visual sebelum dan setelah inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC dengan kontrol positif (kontrol khamir) dan kontrol negatif (kontrol media).  
Berdasarkan gambar 4.11 diatas, infusa dengan perlakuan konsentrasi 70% (M1K1), 80% (M1K2), 90% (M1K3), dan 100% (M1K4) menunjukkan respon yang berbeda yaitu semakin tinggi konsentrasi infusa daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin jernih mendekati kejernihan kontrol negatif (kontrol media). Semakin rendah konsentrasi infusa daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin keruh mendekati kekeruhan kontrol positif (kontrol khamir). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan infusa daun gambir memberikan pengaruh yaitu menghambat pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan kejernihan sampel setelah inkubasi 48 jam pada suhu 37oC. 
Berdasarkan gambar 4.12 diatas, maserat dengan perlakuan konsentrasi 70% (M2K1), 80% (M2K2), 90% (M2K3), dan 100% (M2K4) menunjukkan respon yang berbeda yaitu semakin tinggi konsentrasi maserat daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin jernih mendekati kejernihan kontrol negatif (kontrol media). Semakin rendah konsentrasi maserat daun gambir yang ditambahkan maka sampel tampak semakin keruh mendekati kekeruhan kontrol positif (kontrol khamir). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan maserat daun gambir memberikan pengaruh yaitu menghambat pertumbuhan khamir yang ditunjukkan dengan kejernihan sampel setelah inkubasi 48 jam pada suhu 37oC.
Data hasil analisa kualitatif bakteri (Lampiran 7) disimpulkan pada tabel 4.9 berikut:

Tabel 4.9 Rerata hasil analisa KHM kualitatif khamir uji
Perlakuan
Kejernihan/ Kekeruhan
Rerata Total

Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Infusa Konsentrasi 70%
+
+
+
+
Infusa Konsentrasi 80%
+
+
+
+
Infusa Konsentrasi 90%
-
+
-
-
Infusa Konsentrasi 100%
-
-
-
-
Maserat Konsentrasi 70%
+
+
+
+
Maserat Konsentrasi 80%
-
+
+
+
Maserat Konsentrasi 90%
-
-
+
-
Maserat Konsentrasi 100%
-
-
-
-
Kontrol Positif (Khamir)
+
+
+
+
Kontrol Negatif (Media)
-
-
-
-
Keterangan:    + = khamir tumbuh (keruh)
- = khamir tidak tumbuh (jernih)

Berdasarkan pada hasil Tabel 4.9 diatas ditunjukkan bahwa sampel infusa pada konsentrasi 70% (M1K1), 80% (M1K2) berubah keruh sedangkan sampel dengan konsentrasi 90% dan 100% tetap jernih setelah inkubasi selama 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa KHM sampel infusa yaitu konsentrasi 90%. Sedangkan sampel maserat pada konsentrasi 70% (M2K1) dan 80% (M2K2) berubah keruh setelah inkubasi selama 48 jam. Sementara sampel dengan konsentrasi 90% (M2K3), dan 100% (M2K4) menunjukkan penampakan yang tetap jernih. Hal ini menunjukkan bahwa KHM sampel maserat yaitu konsentrasi 90%. Kontrol positif pada penelitian ini menunjukkan hasil yang keruh sedangkan kontrol negatif tetap jernih setelah inkubasi 48 jam.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Racowski et al. (2015) yang menyatakan bahwa kerjernihan sampel uji setelah inkubasi menunjukkan kemampuan suatu antimikroba menghambat pertumbuhan sel target. Hal ini diperkuat oleh Ana et al. (2009) bahwa pada medium yang keruh menunjukkan bakteri masih dapat tumbuh karena antimikroba yang digunakan belum mampu menghambat atau tidak sesuai. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Prasetiyo (2015) bahwa gambir telah terbukti menghambat pertumbuhan jamur pada fase log dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) pada rentang konsentrasi 80% hingga 90%. Hasil penelitian Widiyanti (2006) memperkuat bahwa gambir memiliki kemampuan menghambat Saccharomycess cerevisiae pada konsentrasi 90%
Perbedaan KHM pada dua metode ekstraksi yang berbeda ini diduga karena banyaknya kandungan fenol yang rusak akibat proses ekstraksi infus sehingga dibutuhkan ekstrak dengan konsentrasi yang lebih banyak dibandingkan sampel hasil ekstraksi menggunakan metode maserasi yang lebih mampu melindungi kandungan senyawa fenolik karena penggunaan suhu yang rendah yaitu suhu ruang. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Naufalin (2015) bahwa aktivitas antifungal ekstrak yang diperoleh dari metode infus lebih rendah dikarenakan pemanasan selama ekstraksi berlangsung menyebabkan fenolik daun gambir tidak dapat terlarut secara sempurna di dalam pelarut namun sebagian besar mengalami degradasi.
Metode ekstraksi maserasi memiliki keunggulan dibandingkan metode infus karena dapat mencegah degradasi pada senyawa target termolabil sekalipun seperti senyawa fenolik. Hal ini menyebabkan maserat dapat memberikan pengaruh penghambatan khamir yang lebih baik dibandingkan infusa (Almeida et al., 2005). Hasil penelitian Roslizawaty et al. (2013) maserasi cocok digunakan untuk mengekstrak senyawa termolabil seperti senyawa fenolik. Hasil pengujian KHM kuantitatif terhadap khamir diperoleh hasil sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.10 berikut:

Tabel 4.10 Rerata hasil analisa KHM kuantitatif khamir uji

Perlakuan
Rerata ΔOD
Total ΔOD
Rerata
ΔOD
Rerata Persentase Penghambatan (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Infusa Konsentrasi 70%
0,492
0,536
0,587
1,615
0,438
13,8±0,039
Infusa Konsentrasi 80%
0,218
0,284
0,290
0,792
0,264
57,7±0,033
Infusa Konsentrasi 90%*
0,077
0,095
0,116
0,288
0,064
84,6±0,016
Infusa Konsentrasi 100%
0,014
0,009
0,006
0,032
0,013
98,5±0,003
Maserat Konsentrasi 70%
0,400
0,388
0,377
1,165
0,321
37,9±0,009
Maserat Konsentrasi 80%
0,172
0,149
0,157
0,478
0,159
74,5±0,010
Maserat Konsentrasi 90%
0,034
0,026
0,031
0,091
0,030
95,2±0,003
Maserat Konsentrasi 100%
0,004
0,002
0,001
0,007
0,002
99,6±0,001
Kontrol Positif (Khamir)
0,650
0,595
0,633
1,878
0,626
-
Kontrol Negatif (Media)
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
-
Keterangan: * = Kadar Hambat Minimum (KHM)

Berdasarkan tabel 4.10 diatas, persentase penghambatan tertinggi terhadap khamir yaitu perlakuan maserat konsentrasi 100% (M2K4) dengan rerata persentase penghambatan tertinggi yaitu 99,6% dan rerata ΔOD 0,002 sedangkan rerata persentase penghambatan terendah yaitu perlakuan infusa konsentrasi 70% (M1K1) dengan persentase 13,8% dan rerata ΔOD 0,438. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka aktivitas antifungal semakin tinggi yang dibuktikan dengan rerata ΔOD yang semakin mendekati kontrol negatif. Semakin rendah konsentrasi ekstrak maka aktivitas antifungal semakin rendah yang dibuktikan dengan rerata ΔOD yang semakin mendekati kontrol positif. Hasil penelitian ini sesuai dengan Suraini dkk (2015) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol gambir, maka semakin rendah pertumbuhan khamir. Aktivitas antifungal gambir telah dibuktikan oleh penelitian Widiyanti (2006) bahwa gambir memiliki kemampuan menghambat khamir Saccharomycess cerevisiae.
Hasil analisa KHM kuantitatif belum diperoleh diperoleh ekstrak daun gambir yang mampu menghambat pertumbuhan khamir hingga 100%. Sehingga berdasarkan hasil analisa KHM kuantitatif, ekstrak daun gambir belum bisa dinyatakan memiliki KHM hingga konsentrasi 100%. Persentase penghambatan yang belum mencapai 100% dikarenakan variasi khamir yang terdapat di dalam nira tebu. Hal ini sesuai dengan Widyawati dkk (2015) bahwa khamir yang hidup dalam nira tebu terdapat 26 spesies, tetapi khamir yang banyak terdapat dalam nira tebu terdiri dari delapan spesies seperti Saccharomyces cerevisiae serta Saccharomyces carlbergensis var. Alcohophila (kapang utama dalam proses fermentasi), Pichia Candida guiliemondii, Pichia fermentans, dan Candida intermedia var. Etahopila. Hal ini juga diperkuat oleh Widiyanti (2006) bahwa khamir yang terdapat di dalam nira tebu yang bervariasi memiliki ketahanan/resistensi terhadap antimikroba, sehingga senyawa antimikroba tidak dapat maksimal menghambat pertumbuhan khamir.
Berdasarkan hasil analisa ragam KHM terhadap khamir (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan variasi metode ekstraksi dan konsentrasi ekstrak berpengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap KHM khamir uji. Namun pada interaksi antar perlakuan atau antar faktor tidak berpengaruh nyata terhadap KHM uji. Hasil uji BNT KHM khamir uji akibat perlakuan variasi metode ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut:

Tabel 4.11 Kadar Hambat Minimum (KHM) khamir uji akibat perlakuan variasi metode ekstraksi
Metode Ekstraksi
Rerata ΔOD
BNT (α = 0,01)
Infus
2,727b
0,0643
Maserasi
1,741a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (α = 0,01)

Berdasarkan tabel 4.11 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan metode ekstraksi infus memberikan rerata ΔOD 2,727 yang berbeda sangat nyata dengan perlakuan metode ekstraksi maserasi dengan rerata ΔOD 1,741. Metode ekstraksi maserasi menunjukkan kemampuan menghambat pertumbuhan khamir uji yang lebih signifikan dibandingkan perlakuan dengan metode ekstraksi infus. Hal ini ditunjukkan dengan rerata ΔOD metode ekstraksi maserasi lebih rendah dibandingkan metode ekstraksi infus. Hal ini sesuai dengan Istiqomah (2013) bahwa maserasi merupakan metode ekstraksi dingin yang mampu mengekstrak senyawa dengan hasil yang lebih banyak sehingga berpengaruh terhadap kemampuan antibakteri yang lebih baik. Hal ini diperkuat oleh Prasetiyo (2015), bahwa metode ekstraksi maserasi mampu mencegah degradasi pada senyawa target termolabil karena menggunakan suhu ekstraksi yang rendah. Benko (2010) menambahkan bahwa polifenol dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+ and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), perubahan karakteristik morfologi hifa, bengkak dan tidak bisa memanjang
Selain disebabkan oleh metode ekstraksi, konsentrasi ekstrak yang ditambahkan juga memberikan pengaruh sangat nyata terhadap KHM khamir uji sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.12 berikut:
                                                                                                                                 
Tabel 4.12 Kadar Hambat Minimum (KHM) khamir uji akibat perlakuan konsentrasi ekstrak
Konsentrasi (%)
Rerata ΔOD
BNT (α = 0,01)
70
1,390d
0,0909
80
0,635c
90
0,190b
100
0,020a
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan perbedaan sangat nyata (α = 0,01)

Berdasarkan tabel 4.12 diatas dapat dilihat bahwa perlakuan konsentrasi ekstrak 70% memberikan rerata ΔOD sebesar 1,390 yang berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 80% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 0,635  juga berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 90% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 0,190 serta berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi ekstrak 100% yang memberikan rerata ΔOD sebesar 0,020. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka rerata ΔOD semakin rendah. Hal ini diduga karena kandungan antifungal di dalam ekstrak semakin banyak. Hal ini sesuai dengan Zhu et al. (2012) bahwa konsentrasi ekstrak berbanding lurus dengan jumlah senyawa aktif yang terkandung. Hal ini didukung oleh Ridawati dkk (2008) bahwa tingginya konsentrasi ekstrak mengakibatkan tingginya aktivitas penghambatan pertumbuhan jamur karena tingginya ekstrak yang terdifusi kedalam sel jamur. Hal ini diperkuat oleh Benko (2010), bahwa jumlah ekstrak yang terdifusi kedalam sel khamir meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi yang ditambahkan.
Hasil analisa KHM ekstrak daun gambir terhadap khamir secara kualitatif, ditunjukkan bahwa KHM khamir yaitu infusa konsentrasi 90% (M1K3) dan maserat konsentrasi 90% (M2K3). Karena itu, diperoleh empat perlakuan yang akan digunakan untuk uji KBM khamir yaitu infusa konsentrasi 90% (M1K3), infusa konsentrasi 100% (M1K4), maserat konsentrasi 90% (M2K3), maserat konsentrasi 100% (M2K4). Hal ini dikarenakan keempat perlakuan tersebut menunjukkan kejernihan setelah diinkubasi selama 48 jam pada uji KHM khamir. Hal ini sesuai dengan Dewi (2010) bahwa tidak adanya kekeruhan menunjukkan bahwa mikroorganisme dapat dihambat oleh ekstrak didalam tabung. Selain itu, persentase penghambatan keempat perlakuan tersebut berada diatas 80% dan mendekati 100%. Hal ini juga didukung oleh Suraini dkk (2015) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun gambir, maka semakin rendah pertumbuhan khamir. Hasil penelitian Pratiwi (2009) membuktikan bahwa ekstrak dengan persentase penghambatan diatas 90% dapat digunakan untuk uji lanjut KBM.
           
4.4    Kadar Bunuh Minimum (KBM) Ekstrak Daun Gambir
KBM adalah konsentrasi terendah bahan antimikroba yang dapat mematikan mikroba (Rahayu dkk, 2011). KBM pada penelitian ini ditentukan dengan metode hitungan cawan. Konsentrasi terendah yang menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri ditetapkan sebagai KBM.

4.4.1 Kadar Bunuh Minimum (KBM) Ekstrak Daun Gambir Terhadap Bakteri
Penentuan KBM bakteri dilakukan terhadap infusa konsentrasi 90% (M1K3), maserat konsentrasi 90% (M2K3), dan maserat konsentrasi 100% (M2K4). Perlakuan M1K4 (ekstrak infusa 100%), M2K3 (ekstrak maserat 90%), dan M2K4 (ekstrak maserat 100%) masih menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri setelah inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Hasil analisa KBM ekstrak daun gambir terhadap bakteri uji (Lampiran 9) ditunjukkan pada tabel 4.13 berikut:

Tabel 4.13 Hasil analisa kuantitatif KBM terhadap bakteri uji
Perlakuan
Bakteri yang Tumbuh pada Cawan
Rerata
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Infusa Konsentrasi 100%
145
130
135
137±6,24
Maserat Konsentrasi 90%
300
292
280
291±8,22
Maserat Konsentrasi 100%
55
45
50
50±4,08

Berdasarkan data pada tabel 4.13 diatas ditunjukkan bahwa pertumbuhan koloni bakteri tertinggi dan terendah berturut-turut tumbuh pada perlakuan ekstrak maserat konsentrasi 90% dengan rerata 291±8,22 koloni dan maserat konsentrasi 100% dengan rerata 50±4,08 koloni. Namun, masih terdapat pertumbuhan bakteri semua perlakuan sehingga tidak diperoleh nilai KBM ekstrak daun gambir terhadap bakteri. Hal ini diduga karena senyawa fenolik daun gambir hanya bersifat bakteriostatik dan bukan bakterisidal atau bakteriolitik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Patil et al. (2012) bahwa kemampuan suatu bahan antimikroba dalam meniadakan kemampuan hidup mikroorganisme tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan antimikroba itu sendiri.
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh hasil penelitan Umar dkk (2012) bahwa ekstrak kental daun gambir bersifat bakteriostatik. Hasil penelitian Magdalena (2015) juga membuktikan bahwa daun gambir mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) pada Escherichia Coli 100%, Salmonella typhimurium 90%, Staphylococcus aureus 90%, dan Bacillus cereus 80%. Namun ekstrak daun gambir belum mampu membunuh bakteri atau tidak terbukti memiliki Kadar Bunuh Minimum (KBM) terhadap bakteri.
Variasi bakteri yang terdapat dalam nira tebu diduga mempengaruhi aktivitas antibakteri ekstrak daun gambir, karena terdapat beberapa bakteri yang memiliki resistensi sangat tinggi terhadap antibakteri (Racowski et al., 2015). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Patil et al. (2012), bahwa terdapat beberapa macam mikroorganisme pada nira tebu. Mikroorganisme tersebut antara lain:
a.    Bakteri aerob pembentuk spora, yaitu Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus mogatherium, Bacillus aterrimus, dan Bacillus mesentericus
b.    Bakteri aerob tidak membentuk spora, yaitu tiga spesies Micrococcus. Ketiga spesies tersebut yaitu Flavobacterium, Achromabacterium dan Eschericia.
c.     Bakteri pembentuk lendir gum, seperti Leuconostoc mesentroides yang menghasilkan dekstran dan CO2 dan Leuconostoc dextranicum serta Betacoccus arabinosaceus yang menghasilkan dekstran dari glukosa.

Adanya dua jenis bakteri yaitu bakteri gram negatif dan bakteri gram positif dalam nira tebu diduga mempengaruhi hasil dari KBM. Karena pada konsentrasi antibakteri yang cukup untuk membunuh bakteri gram positif diduga belum cukup untuk membunuh bakteri gram negatif. Hal ini dikarenakan perbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Madigan et al. (2013) menyebutkan bahwa dinding sel bakteri gram positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif. Sedangkan lapisan dinding sel bakteri gram negatif mengandung 5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua yang disebut lipopolisakarida (LPS) yang mengandung polisakarida dan protein dengan berat molekul yang lebih besar. Hal ini juga diperkuat oleh Patil et al. (2012), bahwa semakin tinggi berat molekul protein semakin sulit untuk menembus permukaan membran luar. Karena itu pengaruh aktivitas antibakteri lebih signifikan pada bakteri gram positif daripada terhadap bakteri gram negatif. Hal ini juga diperkuat oleh Magdalena (2015), bahwa antibakteri ekstrak daun gambir lebih efektif memberikan pengaruh pada bakteri gram positif dibandingkan pada bakteri gram negatif.
Sensitivitas bakteri uji berdasarkan hasil penelitian ini diduga berkaitan dengan karakteristik kepolaran antibakteri. Hal ini sesuai dengan laporan Racowski et al. (2015) bahwa bakteri gram positif dan gram negatif memiliki ketahanan yang berbeda terhadap senyawa antimikroba. Singh and Solomon (2003) menjelaskan bahwa bakteri gram negatif umumnya sensitif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat polar karena dinding sel bakteri gram negatif bersifat polar sehingga lebih mudah dilewati oleh senyawa antibakteri yang bersifat polar. Sebaliknya bakteri gram positif lebih sensitif terhadap senyawa antibakteri yang bersifat nonpolar. Sensitivitas bakteri gram positif terhadap senyawa antimikroba yang bersifat nonpolar disebabkan komponen dasar penyusun dinding sel bakteri gram positif adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino alanin yang bersifat hidrofobik (nonpolar).

4.4.2 Kadar Bunuh Minimum (KBM) Ekstrak Daun Gambir Terhadap Khamir
Kadar Bunuh Minimum (KBM) khamir adalah kadar terendah dari antifungal yang dapat membunuh khamir yang ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni pada media (Suraini dkk, 2015). Mekanisme kerja antifungal pada khamir yaitu senyawa fenolik berinteraksi dengan protein membran sel yang menyebabkan presipitasi dan terdenaturasinya protein membran sel (Al-Bakir and Whittaker, 2007). Kerusakan pada membran sel menyebabkan perubahan permeabilitas pada membran, sehingga mengakibatkan lisisnya membran sel khamir (Dewi, 2010). Perlakuan M1K3 (ekstrak infusa 90%), M1K4 (ekstrak infusa 100%), M2K2 (ekstrak maserat 80%), dan M2K3 (ekstrak maserat 90%) tetap menunjukkan adanya pertumbuhan koloni khamir setelah inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Namun pada perlakuan M2K4 (ekstrak maserat 100%) tidak ditunjukkan adanya pertumbuhan koloni khamir. Data hasil pengujian KBM terhadap khamir uji ditunjukkan pada Tabel 4.14 berikut:

Tabel 4.14 Hasil analisa kuantitatif KBM terhadap khamir
Perlakuan
Khamir yang Tumbuh pada Cawan
Rerata
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Infusa Konsentrasi 90%
130
140
135
135±4,08
Infusa Konsentrasi 100%
45
38
45
128±3,30
Maserat Konsentrasi 90%
3
2
0
2±1,25
Maserat Konsentrasi 100%
0
0
0
0±0,00

Berdasarkan Tabel 4.14 diatas, pertumbuhan koloni khamir tertinggi dan terendah berturut-turut tumbuh pada perlakuan ekstrak infusa konsentrasi 90% dengan rerata 135±4,08 koloni dan ekstrak maserat konsentrasi 100% dengan rerata 0±0,00 koloni. Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka aktivitas antifungal semakin besar. Hal ini sesuai dengan Suraini dkk (2015) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun gambir, maka semakin rendah pertumbuhan khamir. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Pelczar dan Chan (2005) bahwa semakin tinggi konsentrasi antifungal maka semakin sedikit koloni khamir yang tumbuh pada media uji.
Hasil pengujian KBM terhadap khamir pada perlakuan M1K3 (ekstrak infusa 90%), M1K4 (ekstrak infusa 100%), M2K2 (ekstrak maserat 80%), dan M2K3 (ekstrak maserat 90%) masih menunjukkan adanya pertumbuhan khamir sedangkan pada perlakuan M2K4 (ekstrak maserat 100%) tidak terdapat pertumbuhan khamir pada setiap ulangan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan M2K4 (ekstrak maserat 100%) dapat ditentukan sebagai KBM ekstrak daun gambir terhadap khamir. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suraini dkk (2015) yang melakukan uji aktivitas antifungal ekstrak gambir (Uncaria gambir Roxb) dengan konsentrasi 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% terhadap Candida albicans secara in vitro didapatkan bahwa Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari ekstrak etanol gambir terhadap jamur Candida albicans adalah konsentrasi 100%. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Pratiwi (2009) yang membuktikan bahwa ekstrak kental daun gambir bersifat fungsidal.
Aktivitas fungisidal ekstrak daun gambir disebabkan kandungan senyawa fenolik di dalamnya. Senyawa fenolik pada gambir berperan sebagai antifungal dengan cara mengganggu proses difusi makanan ke dalam sel sehingga pertumbuhan jamur terhenti atau mati (Apea-Bah, 2009). Senyawa fenolik juga diduga berperan mengerutkan dinding sel sehingga menganggu permeabilitas sel itu sendiri sehingga aktivitas hidup mikroba dan fungi terhambat (Ajizah, 2004). Pernyataan ini diperkuat oleh Benko (2010) bahwa pada khamir, polifenol dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+ and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), dan perubahan karakteristik morfologi hifa, bengkak dan tidak bisa memanjang. Apea-Bah (2009) menambahkan bahwa polifenol juga dapat mendorong pembentukan oksigen reaktif intraseluler, kerusakan inti, pemanasan membran plasma, dan berakhir dengan kematian.



V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1  Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.         Ekstrak daun gambir memiliki potensi sebagai antimikroba yang bersifat bakteriostatik terhadap bakteri serta bersifat fungistatik dan fungisidal terhadap khamir
2.         Perlakuan metode ekstraksi (infus dan maserasi) tidak menunjukkan adanya interaksi antar faktor namun memberikan pengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir nira tebu
3.         Perlakuan konsentrasi ekstrak daun gambir (70%, 80% 90%, 100%) tidak menunjukkan adanya interaksi antar faktor namun memberikan pengaruh sangat nyata (α = 0,01) terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir nira tebu yang diamati melalui Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). KHM infusa dan maserat daun gambir terhadap bakteri berturut-turut yaitu infusa konsentrasi 100% (M1K4) dan maserat konsentrasi 90% (M2K3). Namun belum terdapat KBM infusa maupun maserat daun gambir terhadap bakteri. Sedangkan KHM infusa dan maserat daun gambir terhadap terhadap khamir berturut-turut yaitu infusa konsentrasi 90% (M1K3) dan maserat konsentrasi 90% (M2K3). KBM ekstrak daun gambir terhadap khamir yaitu maserat konsentrasi 100% (M2K4).

5.2 Saran
1.    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap jenis-jenis bakteri dan khamir secara spesifik yang dapat dihambat oleh ekstrak daun gambir
2.    Perlu dilakukan penelitian pengaruh ekstrak daun gambir terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas nira tebu pasca panen





No comments:

Post a Comment

CATATAN BIOAKTIF DAN SINDROM METABOLIK

SINDROM METABOLIK 1.        Obesitas menyebabkan inflamasi, hipertensi, resistensi insulin . Kemudian menyebabkan DM 2, penyakit kardi...