Friday, August 3, 2018

OHMIC HEATING APPLICATION TO FOOD PROCESSING


TEKNOLOGI OHMIC HEATING PADA PROSES PENGOLAHAN PANGAN




 
1.    Definisi
Pemanasan ohmik mengambil nama dari hukum Ohm, yang dikenal sebagai hubungan antara arus, tegangan, dan tahanan. Pemanasan ohmik yang dikenal sebagai joule heating atau resistance heating merupakan teknik pemanasan dengan melewatkan arus bolak balik (AC) pada bahan pangan yang merupakan material konduktif. Pemanasan ohmik berbeda dengan pemanas microwave dari segi penggunaan frekuensi. Pemanasan ohmik dioperasikan dengan frekuensi rendah (50 sampai dengan 60 Hz) yang tidak akan merusak dinding sel, sedangkan microwave dioperasikan pada frekuensi tinggi yaitu sekitar 915 sampai 2450 MHz (Sastry, 2002). Teknologi pemanasan ohmik dapat diterapkan, tidak hanya untuk cairan tetapi juga untuk multi-fase campuran cair-padat (Delgado et al., 2012). Dalam bidang pengolahan pangan, pemanasan ohmik didefinisikan sebagai suatu proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara keduanya) dipanaskan secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melaluinya.
Pada pemanasan ohmik, hal penting yang perlu diperhatikan untuk memastikan keberlangsungan perlakuan adalah mengetahui ‘cold spot’ bahan pangan. Apabila lokasi ‘cold spot’ telah diketahui maka suhunya dapat diukur secara langsung (Knirsch et al., 2010). Elektroda yang digunakan harus memiliki kemampuan menghantarkan listrik yang baik dan komponennya tidak mudah untuk berpindah ke bahan pangan. Pemanasan ohmik dicapai melalui aplikasi medan listrik (electric field) pada pangan yang memiliki konduktivitas listrik yang berada diantara dua elektroda dan kontak langsung dengannya (Vicente and Ines, 2007).

2.   Prinsip Kerja
Secara teori, setiap bahan pangan memiliki hambatan (biasa dikenal sebagai specific electrical resistance) yang dapat menghasilkan panas apabila ada listrik yang melewatinya (Fellows, 2009). Dasar inilah yang digunakan dalam teknologi pemanasan ohmik. Pemanasan ohmik menggunakan hambatan listrik dari produk pangan tersebut untuk menghasilkan energi yang akan menyebabkan terjadinya kenaikan temperatur sehingga pemanasan yang terjadi akan dapat berjalan cepat dan seragam (Sakr and Shuli, 2014). Bila dibandingkan dengan pemanasan konvensional dimana pemanasan diberikan dari luar permukaan bahan pangan, maka pada pemanasan ohmik, pemanasan terjadi dari dalam dan di seluruh bagian bahan pangan.

3.   Mekanisme Kerja
            Pada pemanasan ohmik, suhu konduktivitas listrik menjadi lebih tinggi, karena terjadinya electro-osmosis yang tergantung dari besarnya medan voltase yang digunakan. Pada voltase tinggi, electro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding sel bahkan pada suhu lebih rendah (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
            Untuk menghasilkan panas, bahan pangan harus memiliki konduktifitas listrik. Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan pangan tersebut. Jumlah panas yang dibangkitkan dalam bahan pangan akibat aliran arus berhubungan langsung dengan kerapatan arus yang ditimbulkan oleh besarnya medan listrik (field strength) dan konduktifitas listrik dari bahan pangan yang diolah. Konduktifitas listrik bahan pangan meningkat secara linier dengan peningkatan suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin efektif dengan semakin meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik berlangsung (Salengke dan Sastry, 1999).


4.   Peralatan
Sistem pemanasan ohmik terdiri dari minimal 2 atau lebih elektroda, elektroda menjadi faktor penting dalam merancang peralatan pemanasan ohmik. Perbedaan rancangan tergantung pada lokasi dan posisi. Rancangan dapat disusun sebagai sistem statis dalam kontainer atau aliran kontinu (Sakr and Shuli, 2014). Berikut adalah skema dari beberapa rancangan dasar pada sistem pemanasan ohmik:
                                                                                                              
 

Gambar 1. Rancangan dasar dari sitem pemanasan ohmik. (a) sistem batch, untuk (b)-(d) adalah sistem kontinu.
 
Bahan yang biasa digunakan untuk elektroda adalah titanium, stainless steel, platinized-titanium, aluminium dan graphite. Untuk produk yang memiliki kualitas yang tinggi, biasanya penggunaan logam seperti stainless steel lebih disarankan, pada saat yang sama frekuensi dan tegangan harus ditingkatkan untuk mencegah terjadinya korosi (Sakr and Shuli, 2014).

5.   Keunggulan
            Keuntungan menggunakan pemanasan ohmik yaitu efisiensi konversi energi dan kedalaman penetrasi lebih tinggi dibandingkan microwave. Selain itu Pencapaian temperatur yang diinginkan berlangsung dengan cepat (>1oC/s), seragam, dan menyeluruh (tidak hanya di permukaan). Sedangkan keunggulan utama dari pemanasan ohmik yaitu cepat dan system pemanasannya yang relatif seragam dan merata, termasuk untuk produk yang mengandung partikulat yang dapat mengurangi jumlah total panas yang kontak dengan produk dibandingkan dengan pemanasan konvensional yang memerlukan waktu lama untuk terjadinya penetrasi panas ke bagian pusat bahan (Muchtadi dan Ayustaningwarno, 2010).

6.   Aplikasi
Pemanasan ohmik dapat digunakan untuk memanaskan makanan cair yang mengandung partikulat besar, seperti sup dan makanan rebus dan irisan buah-buahan pada sirup, saus, dan cairan sensitif panas. Aplikasi lain potensi ohmik pemanasan termasuk blanching, pencairan, gelatinisasi, fermentasi, pengeringan dan ekstraksi (Ramaswamy, 2003). Beberapa penelitian yang mengaplikasikan pemanasan ohmik yaitu sebagai berikut:

a.   Pasteurisasi Gochujang (Cho et al., 2016)
Gochujang (produk pangan tradisional Korea) yang memiliki nilai konduktivitas yang rendah (0,458 W/m.K) dipasteurisasi menggunakan pemanasan ohmik dengan variasi frequensi (40-20.000 Hz) dan tegangan (20-60 V). Hasilnya menunjukkan bahwa pemanasan ohmik dengan frequensi 5 kHz dan tegangan 60 V merupakan perlakuan terbaik. Penurunan jumlah mikroba strain Bacillus mencapai 99,7%. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan pemanasan konvensional pada suhu 100oC selama 8 menit dimana penurunan jumlah mikroba hanya 81,9%. Selain itu, kualitas organoleptik dan kandungan fisikokimia produk hasil pasteurisasi frequensi (40-20.000 Hz) dan tegangan (20-60 V). Hasilnya menunjukkan bahwa pemanasan ohmik dapat dipertahankan sesuai dengan produk awal dan lebih baik dari produk hasil pasteurisasi konvensional. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pemanasan ohmik dapat diaplikasikan untuk proses pasteurisasi produk kental seperti pasta Gochujang (lada merah fermentasi).
b.  Thawing pada daging beku (Duygu and Gurbuz, 2015)
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan pengaruh pemanasan ohmik dan secara konvensional terhadap jumlah dan kecepatan berat yang hilang pada produk setelah thawing. Hasilnya menunjukkan bahwa proses thawing dengan pemanasan ohmik memerlukan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan konvensional. Pada pemanasan ohmik nilai kehilangan berat (loss weight) lebih kecil, begitu juga nilai kerusakan nutrisi dan aktivitas mikroba selama thawing. Berdasarkan hasil tersebut maka pemanasan ohmik dapat dijadikan alternatif thawing daging beku yang efektif.
c.   Pasteurisasi jus jeruk untuk menjaga kandungan karotenoid (Achir et al., 2015)
Pada penelitian tersebut dilakukan perbandingan pemanasan ohmik dan pasteurisasi konvensional terhadap kandungan karotenoid jus jeruk. Hasilnya menunjukkan bahwa penurunan kandungan karotenoid produk yang dipasteurisasi dengan pemanasan ohmik lebih kecil dibandingkan dengan produk pasteurisasi konvensional. Pada pasteurisasi konvensional penurunan kandungan eppoxyxantofil terjadi hingga 70% dan hidroxyxantofil 40%. Sedangkan pada pemanasan ohmik nilai penurunannya dibawah 30% dan 20%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemanasan ohmik dapat menjadi alternatif pasteurisasi jus jeruk untuk menjaga kandungan karotenoid khususnya xantofil.

7.   Parameter-Parameter yang Berpengaruh
Beberapa parameter yang mempengaruhi proses pemanasan ohmik, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Arus dan Tegangan Listrik
Kerapatan arus listrik (current density) adalah rasio antara arus dan luas permukaan elektroda. Hal ini penting untuk diperhatikan karena digunakan untuk merancang dimensi dari elektroda. Beda tegangan listrik yang digunakan pada proses akan mempengaruhi waktu pemanasan ohmik, pembentukan panas per unit waktu akan meningkat seiring dengan kenaikan beda tegangan yang digunakan (Sakr and Shuli, 2014).
b.    Frekuensi dan Bentuk Gelombang
Frekuensi dan bentuk gelombang pada tegangan yang digunakan dapat memberikan pengaruh pada nilai konduktivitas dan proses pemanasan bahan. Pada industri pangan dilaporkan bahwa ketika frekuensi bahan ditingkatkan dari 50 – 10.000 Hz maka waktu yang dibutuhkan untuk memanaskan bahan hingga suhu 80oC mengalami peningkatan 6 kali lipat.  Pada proses pemanasan ohmik tipe frekuensi rendah yakni sekitar 50-60 Hz dapat menyebabkan oksigen dan hydrogen mengalami perubahan dan akan menyebabkan elektrolisis pada air (Sakr and Shuli, 2014).
c.    Konduktivitas Elektrik
Parameter utama yang mempengaruhi efektivitas proses pemanasan ohmik adalah konduktivitas elektrik (σ). Konduktivitas elektrik menunjukkan nilai efektivitas bahan mampu mengakomodasi pergerakan muatan elektrik. Nilai tersebut didapatkan dari rasio densitas dan kekuatan medan listrik (Sakr and Shuli, 2014). Persamaannya yaitu sebagai berikut :

σ = (1/R) (L/A)
Dimana : σ (Sm-1) = kontivitas produk,   R (Ω)   = hambatan,
L(m)      = panjang dari sel,     A (m2) = luas area sel.

Konduktivitas listrik pada bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kekuatan ionik, air bebas dan struktur mikro dari bahan. Keberadaan komponen ionik seperti asam dan garam akan meningkatkan nilai konduktivitas, sedangkan keberadaan komponen non-polar seperti lemak dapat menurunkan nilai konduktivitas (Varghese et al., 2014).  Konduktivitas listrik pada beberapa bahan tidaklah konstan dan itu bergantung pada suhu bahan, normalnya berhubungan secara linier (Sakr and Shuli, 2014).
Efisiensi proses pemanasan ohmik bergantung pada konduktivitas listrik dari bahan pangan. Semakin tinggi nilai konduktivitasnya maka efisiensinya akan semakin meningkat. Setiap bahan memiliki nilai konduktivitas yang berbeda-beda, berikut adalah beberapa contoh produk dengan dengan nilai konduktivitasnya.

Tabel 1. Nilai konduktivitas listrik dari beberapa jenis bahan pangan (Varghese et al., 2014)


d.    Ukuran, Kapasitas Panas dan Viskositas/Sifat Alir Bahan
Ukuran partikel bahan yang kecil seperti bentuk emulsi dan koloid (yang memiliki ukuran < 5 mm) efek orientasinya tidak begitu mempengaruhi konduktivitas namun pada bahan dengan ukuran partikel yang lebih besar (15-25 mm) maka orientasinya pada medan listrik akan memberikan efek pada konduktivitas listrik bahan yang tentu akan berpengaruh pada kecepatan pemanasan (Vargeshe, 2014).
Bahan yang mempunyai kapasitas panas yang rendah maka akan cenderung untuk panas lebih cepat dan sebalknya apabila bahan memiliki kapasitas panas yang tinggi maka akan cenderung lambat proses pemanasannya (Vargeshe, 2014). Viskositas fluida bahan juga mempengaruhi proses pemanasan ohmik, bahan yang memiliki viskositas fluida yang lebih tinggi akan lebih cepat dalam proses pemanasan ohmik dibandingkan dengan bahan yang viskositas fluidanya lebih rendah. (Sakr and Shuli, 2014). Pada pemanasan ohmik bahan yang memiliki komponen padatan lebih banyak akan lebih cepat proses pemanasannya dibandingkan apabila dalam bentuk cair. Ini terjadi pada bahan yang memiliki nilai konduktivitas yang sama. Hal tersebut berbeda dengan proses pemanasan konvensional, dimana pada bahan cair proses pemanasannya akan lebih cepat (Fellows, 2009). Berikut adalah grafik yang dapat kondisi tersebut :



Gambar 2. Penetrasi panas pada bahan pangan. (a) pemanasan konvensional, (b) pemanasan ohmik

8.   Efek Proses
a.   Efek Terhadap  Mikroba
Selama proses pemanasan ohmik yang akan menyebabkan terbentuknya pori-pori pada membran sel sehingga sel mikroba menjadi inaktif. Pori-pori dapat terbentuk dengan berbagai ukuran bergantung kekuatan dari medan listrik dan selanjutnya membrane dapat terbuka dalam waktu yang singkat. Pecahnya membran menyebabkan komponen intraseluler keluar dan menyebabkan mikroba berada pada kondisi letal atau subletal injury (Turp et al., 2013). Pemanasan ohmik mampu menurunkan jumlah mikroba lebih dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pemanasan konvensional, berikut adalah data penurunan jumlah mikroba setelah pemanasan ohmik pada beberapa produk :

Tabel 2. Inaktifasi mikroba pada beberapa produk daging (Turp et al., 2013)
 


b.  Efek Terhadap Enzim
Pemanasan ohmik enzim-enzim mampu mendegradasi/inaktifasi enzim penyebab off-flavor, perubahan rasa dan juga tekstur diantaranya peroksidase, lipoksigenase, polifenoloksidase, pektinase, alkaline phosphatase, dan ß-galactosidase (Vicente and Ines, 2007). Pada penelitian yang dilakukan oleh Icier et al. (2006) menunjukkan bahwa proses blansing kacang polong menggunakan pemanasan ohmik dengan tegangan 30 V/cm mampu menginaktifasi enzim peroksidase lebih cepat dibanding blansing konvensional.

c.   Efek Terhadap Komponen yang Sensitif Panas/Nutrisi
Penelitaian yang dilakukan Sarkis et al. (2013) menggunakan tegangan listrik yang rendah pada pemanasan ohmik menunjukkan terjadinya degradasi antosianin (komponen sensitif panas) lebih rendah dibandingkan pemanasan konvensional. Degradasi antosianin dapat meningkat apabila dilakukan peningkatan tegangan listrik dan komponen padatan pada proses pemanasan ohmik. Hal tersebut juga terjadi pada asam askorbat (vitamin C), menurut penelitian Castro et al. (2004) diketahui bahwa proses pemanasan ohmik dengan tegangan yang rendah sekitar 20 V/cm tidak mengakibatkan terjadinya degradasi asam askorbat.
d. Efek Terhadap Warna
Berdasarkan penelitian Bozkurt and Icier (2010), terjadi perubahan nilai parameter warna daging setelah proses pemanasan ohmik yakni nilai L* lebih tinggi dan nilai a* lebih rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk daging menjadi lebih terang dan lebih pudar warna merahnya bila dibandingkan dengan pemanasan konvensional. Pada pemanasan ohmik produk daging yang dihasilkan memiliki warna yang lebih homogen dan tidak ada lapisan yang lebih matang/coklat pada permukaannya. Perubahan warna juga terjadi pada produk buah-buahan. Berdasarkan penelitian Mercali et al. (2014), pulp buah acerola mengalami penurunan nilai L*, a* dan b* setelah proses pemanasan ohmik. Hal tersebut diperkirakan akibat terjadinya degradasi komponen pigmen yang berupa antosianin dan karotenoid.


DAFTAR PUSTAKA

Achir, C., Thiziri H., Khodir M., Jean P., Manuel D. 2016. Pasteurization of Citrus Juices with Ohmic Heating to Preserve The Carotenoid Profile. Innovative Food Science & Emerging Technologies, 33:397-404.
Bozkurt, H., Icier, F. 2009. Rheological Characteristics of Quince Nectar during Ohmic Heating. International Journal of Food Properties, 12:844–859.
Castro, I., Teixeira, J. A., Salengke, S., Sastry, S. K., Vicente, A. A. 2004. Ohmic Heating of Strawberry Products: Electrical Conductivity Measurements and Ascorbic Acid Degradation Kinetics. Innovative Food Science & Emerging Technologies, 5:27–36.
Cho, W., Yoon Y., Myong-Soo C. 2016. Pasteurization of Fermented Red Pepper Paste by Ohmic Heating. Innovative Food Science & Emerging Technologies, 34:180-186.
Duygu, B., Gürbüz U. Application of Ohmic Heating System in Meat Thawing. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 195:2822-2828.
Fellows, P.J. 2009. Dielectric, ohmic and infrared heating’ in Food Processing Technology (Third edition), p. 581-609.
Icier, F., Yildiz, H., & Baysal, T. 2008. Polyphenoloxidase Deactivation Kinetics During Ohmic Heating of Grape Juice. Journal of Food Engineering, 85:410–417.
Knirscha,M., Carolina A., Antonio A. Oliveira S., Thereza. 2010. Ohmic Heating. Trends in Food Science & Technology, 21:436-441
Mercali, G. D., Schwartz, S., Marczak, L. D. F., Tessaro, I. C., Sastry, S. 2014. Ascorbic Acid Degradation And Color Changes In Acerola Pulp During Ohmic Heating: Efect Of Electric Feld Frequency. Journal of Food Engineering, 123, 1–7.
Muchtadi, R. T dan Ayustaningwarno, F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan
Pangan
.
Penerbit Alfabeta : Bandung.
Ramaswamy, Raghupathy., Balasubramaniam, V.M (Bala)., Sastry, S.K. 2003. Ohmic Heating of Foods Fact Sheet for Food Processors. Ohio State University, Columbus.
Sakr, M., Shuli L. 2014. A comprehensive review on applications of ohmic heating (OH). Renewable and Sustainable Energy Reviews, 39:262–269
Sarkis, J. R., Mercali, G. D., Tessaro, I. C., Marczak, L. D. F. 2013. Evaluation Of Key Parameters during Construction and Operation of An Ohmic Heating Apparatus. Innovative Food Science & Emerging Technologies, 18:145–154.
Salengke, S. 2000. Electrothermal Effects of Ohmic Heating on Biomaterials.
Ph.D. Dissertation, The Ohio State University, Columbus, OH.
Salengke, S., Sastry, S.K. 1999. Comparative modeling study of ohmic heating of
solid-liquid mixture. Institute of Food technologists Annual Meeting
. Chicago - Illinois, USA. July 24-28.
Turp, G., Sengun Y., Kendirci P., Icier P. 2013. Effect of ohmic treatment on quality characteristic of meat: A review. Meat Science, 93:441–448.
Varghese, K, Pandey M., Radhakrishna K., Bawa S. 2014. Technology, Applications and Modelling of Ohmic Heating: A Review. J Food Sci Technol, 51(10):2304–2317.
Vicente, A., Ines A. 2007. Novel Thermal Processing Technologies in Advances in Thermal and Non-Thermal Food Preservation. Blackwell Publishing.




No comments:

Post a Comment

CATATAN BIOAKTIF DAN SINDROM METABOLIK

SINDROM METABOLIK 1.        Obesitas menyebabkan inflamasi, hipertensi, resistensi insulin . Kemudian menyebabkan DM 2, penyakit kardi...