Friday, August 3, 2018

CONTOH ISI LKTI MAWAPRES


BAB I. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, salah satunya adalah komoditas tebu. Lahan tebu Indonesia menyebar di sepuluh provinsi yang keseluruhannya mencapai 461.082 ha (data tahun 2012). Sayangnya, produksi gula nasional semakin menurun dari tahun ke tahun (Filianty dkk, 2007). Kebutuhan gula nasional Indonesia sebesar 3,2 juta ton pertahun sementara produksi gula dalam negeri hanya sekitar 2 juta ton (Mardianto, 2005). Hal ini terbukti pada tahun 2010, produksi gula nasional menurun drastis dan menempatkan Indonesia yang pernah menjadi produsen terbesar kedua di dunia setelah Kuba berubah menjadi importir terbesar di dunia setelah Rusia (Harsono, 2012). Sehingga Indonesia terpaksa impor gula dengan nilai mencapai 1,5 juta ton per tahun atau setara dengan 1 triliun (Randy, 2009).
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas industri gula yaitu terjadinya degradasi gula (sukrosa) menjadi gula-gula sederhana (invert) yang tidak dapat dikristalisasi sehingga sehingga menyebabkan penurunan rendemen (Singh and Solomon, 2003; Ghasemnejad and Jamshidi, 2011). Kerusakan sukrosa  terjadi secara cepat antara 24 jam-48 jam penundaan giling (Solomon, et al., 2007), dengan total kehilangan sukrosa dapat mencapai 20-30% selama penanganan bahan baku (Saxena et al., 2010). Padahal umumnya, waktu antara pemanenan hingga penggilingan tebu berkisar antara 3-10 hari (Singh and Solomon, 2003; Solomon 2009).
Bakteri yang berperan diantaranya Leuconostoc sp. (L. mesenteroides or L. dextranicum) yang menghasilkan enzim invertase untuk menginversi sukrosa menjadi monosakarida seperti glukosa dan fruktosa, dekstran, dan asam organik (Solomon et al., 2006; Saxena et al., 2010). Semakin tinggi aktivitas invertase maka semakin rendah kandungan sukrosa pada tebu. Aktivitas enzim intervase perlu dihambat pada proses produksi gula agar rendemen gula yang dihasilkan tetap tinggi (Saxena et al., 2010).
Selain berdampak pada rendahnya produktivitas gula nasional, hal ini juga merugikan petani tebu karena tebu yang dipanen tidak diterima pabrik akibat rendemennya terlalu rendah (7%) sementara rendemen minimal yang diterima pabrik yaitu 8%. Selain itu, banyaknya petani tebu yang sangat bergantung pada pekerjaannya bertani dan tidak bekerja sama sekali diluar musim panen sehingga penghasilannya hanya bergantung pada upah panen tebu.
Solusi yang pernah diterapkan sebelumnya yaitu penggunaan Potassium Metabisulfit 0.01% (Sangeeta et al., 2013), dan kombinasi natrium benzoat dan potassium sorbat 1:1 (Taufiqul, 2014). Sayangnya solusi sebelumnya dirasa kurang optimal sehingga diperlukan penanganan tebu pasca panen yang lebih baik. Selanjutnya dikembangkan metode pencegahan inversi tanpa bahan kimia sintetik yaitu dengan metode kombinasi tekanan dan suhu memerlukan peralatan khusus dan mahal sehingga tidak terjangkau oleh petani (Nuriah, 2015).
Gambir merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia, karena memasok kebutuhan dunia hingga mencapai 80% dengan permintaan ekspor yang terus meningkat sepanjang tahun (Denian, 2002). Gambir adalah ekstrak daun dan ranting tanaman Uncaria gambir (Hunter) Roxb yang dikeringkan (Hidayat dan Rodame, 2015). Pemanfaatan Gambir selama ini masih belum optimal karena kurangnya pengetahuan masyarakat dalam ekstraksi Gambir. Selama ini Gambir sebagian besar digunakan untuk zat pewarna dalam industri batik, industri penyamak kulit, ramuan makan sirih, bahan baku pembuatan permen dalam acara adat di India dan sebagai penjernih pada industri air (Zamarel dan Risfaheri, 1991).
Gambir mengandung turunan senyawa polifenol terutama katekin dan tanin yang dimanfaatkan secara luas di Indonesia (Pambayun et al., 2007). Katekin dan tanin berpotensi sebagai antioksidan dan antibakteri (Arakawa et al., 2004). Selain itu, katekin dan tanin dinyatakan aman digunakan (Apea-Bah et al., 2009), sehingga aman digunakan dalam pengolahan bahan pangan, salah satunya penghambat inversi.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis mengajukan karya tulis ilmiah berjudul Introduksi AGAR (Antiinversi Alami Daun Gambir) untuk Meningkatkan Kualitas Nira Tebu dan Kesejahteraan Petani Tebu Indonesia. AGAR merupakan larutan ekstrak kasar daun Gambir yang merupakan antimikrobia alami yang diolah secara sederhana sehingga aplikatif dan ekonomis untuk digunakan pada tebu pasca panen di Indonesia.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah cara pembuatan dan pengaplikasian AGAR pada tebu pasca panen?
2.      Bagaimanakah analisis SWOT dari AGAR?
3.      Bagaimanakah metode yang paling efektif untuk mengintroduksi AGAR untuk meningkatkan kesejahteraan petani tebu?

1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari program ini yaitu:
1.      Mengetahui cara pembuatan dan pengaplikasian AGAR pada tebu pasca panen.
2.      Mengetahui analisis SWOT dari AGAR
3.      Mengetahui metode yang paling efektif untuk mengintroduksi AGAR untuk meningkatkan kesejahteraan petani tebu.
Adapun manfaat yang diharapkan dari program ini, antara lain:
a.     Bagi Mahasiswa Pelaksana
Sebagai sarana dalam melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian masyarakat. Selain itu juga sebagai wadah untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh dari kegiatan perkuliahan terhadap mahasiswa.
b.    Bagi Masyarakat Sasaran
Mengurangi penggunaan pengawet sintetik/kimia untuk meningkatkan rendemen nira tebu dengan produk alternatif yang lebih murah serta aplikatif, sehingga dapat meningkatkan produktivitas gula nasional tanpa efek samping yang merugikan konsumen serta ramah lingkungan.
c.     Bagi pemerintah dan Masyarakat Umum
Membantu pemerintah dalam mengatasi kasus tingginya penggunaan pengawet sintetik/kimia untuk meningkatkan rendemen tebu dengan memperkenalkan alternatif antiinversi alami.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Petani Tebu
Kondisi pendidikan petani tebu di Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD dengan penghasilan dibawah Rp 500.000,- perbulan. Rendahnya rendemen tebu yang dihasilkan menurunkan nilai bagi hasil antara petani dan pabrik. Rasio bagi hasil gula antara petani dengan pabrik penggiling yang ditetapkan bersifat progresif, semakin tinggi rendemen yang didapat semakin besar ratio bagian petani. Jika rendemen yang didapatantara 6 - < 7% bagi hasil gula petani sebesar 66% dan pabrik gula 34%. Jika rendemen yang didapat antara 7 – 8% maka bagi hasil petani sebesar 68% dan pabrik gula sebesar 32%. Sedangkan jika rendemen yang didapat > 8% maka bagi hasil gula petani sebesar 70% dan pabrik gula 30% (Indrawanto dkk, 2010).
Dari segi ekonomi, petani umumnya hanya memperoleh pendapatan di musim bertani dan tidak berpenghasilan sama sekali di musim paceklik. Pendapatan tersebut diperoleh dari upah memanen tebu Rp 16.000 per kuintal. Hal ini dikarenakan pabrik hanya mau menerima tebu dengan rendemen diatas 8%, sehingga beberapa pabrik yang mau menerima memberlakukan sistem bagi hasil yang kurang menguntungkan. Permasalahan terakhir adalah banyaknya petani tebu yang sangat bergantung pada pekerjaannya bertani dan tidak bekerja sama sekali diluar musim panen.

2.2 Nira Tebu
Nira tebu merupakan cairan hasil perasan yang diperoleh dari penggilingan tebu yang memiliki warna coklat kehijauan. Nira tebu selain mengandung gula, juga mengandung zat-zat lainnya (zat non gula) (DeConnick et al., 2012). Perolehan nira tebu yang mengandung sukrosa, diperoleh dari tebu dengan pemerahan dalam unit penggilingan setelah melalui proses pencacahan tebu. Proses ini dimaksudkan untuk mempermudah proses ekstraksi berikutnya. Dalam unit penggilingan tebu, nira terperah keluar, yang tersisa adalah ampas (Kultsum, 2009).
Komponen yang terkandung di dalam nira tebu dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Komposisi Nira Tebu
Komposisi nira tebu
Jumlah
Air
70-75%
Sukrosa
11-16%
Gula Reduksi
0,4-2%
Organik non-gula
0,5-1%
Mineral
0,5-1%
Serat
10-16%
.... Sumber: Loto dkk, 2012

2.3 Pengaruh Penundaan Giling

Gambar 2. Reaksi inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Madsen, 2009)
Menurut Goutara dan Wijandi (1985), sejak dipanen, nira tebu telah mengalami kerusakan enzim yang dikeluarkan oleh berbagai mikroorganisme yang berasal dari tanah dan menempel pada batang tebu. Tebu setelah dipanen kurang dari 4 jam mengandung sekitar 1-20 juta mikroba per mL nira. Selama berlangsungnya perkembangbiakan mikroba di dalam nira menyebabkan kehilangan sukrosa dan membentuk gula reduksi, asam organik, dan dekstran yang menyebabkan nira menjadi keruh, berwarna lebih pekat, dan bau (Kurniawan, 1984). Hal ini disebabkan enzim invertase dapat dihasilkan dari berbagai macam organisme. Namun menurut Harsono (2012), mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada nira tebu Saccaromycess cereviceae dan Leuconostoc spp.

2.4 Mikroorganisme yang Berperan
Enzim Invertase dapat dihasilkan dari berbagai macam organisme, seperti pada kapang: Aspergillus niger (Aranda et al., 2006), A.caepitosus (Ana et al., 2009), A.ochraceus (Guimaraes et al., 2009), Cladosporium cladosporioides (Almeida et al., 2005), A.versicolor, C.herbarum, Mortierella minutissima, Penicillium chrysogenum, Sclerotium sp (Almeida et al., 2005), khamir: Candida utilis (Belzar, 2002), Saccharomyces cerevisiae (Haq and Ali, 2007; Amaya et al., 2006) serta bakteri: Bacillus macerans (Ahmed, 2008), Zymomonas mobilis (Al-Bakir and Whittaker, 2007), Leuconostoc mesentroides dan Leuconostoc dextranicum (Solomon et al., 2006). Aktivitas Invertase beberapa mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2. Aktivitas Invertase Beberapa Mikroorganisme
Golongan
Nama Mikroorganisme
Kondisi
pH
suhu
Lama fermentasi
Yeast
S. cerevisiae1
5.50
25oC
48 jam
Kapang
Aspergillus oryzae1
5.50
30oC
72 jam
Aspergillus niger2
4.00
30oC
48 jam
Aspergillus niger3
4.50
30oC
72 jam
Aspergillus niger4
5.50
30oC
72 jam
Aspergillus niger3
5.00
30oC
120 jam
Aspergillus flavus5
5.00
30oC
96 jam
Aspergillus caespitosus4
4.00
60oC
72 jam
Pseudozyma sp.6
4.00
50oC
72 jam
Bakteri
Leuconostoc mesentroides7
4.50
30oC
48 jam
Leuconostoc dextranicum7
4.50
30oC
48 jam
Bacillus macerans8
4.00
30oC
48 jam
Zymomonas mobilis9
4.00
30oC
72 jam
Sumber: 1(Poonawala et al., 1965), 2(Gonzales et al., 2002), 3(Balasubramaniem et al., 2001), 4(Ana et al., 2009), 5(Uma et al., 2010), 6(Tamio et al., 2009), 7(Solomon et al., 2006), 8(Ahmed, 2008), 9(Al-Bakir and Whittaker, 2007)
Telah banyak pelaporan tentang aktivitas enzim Invertase yang dihasilkan oleh beberapa mikroorganisme, yang memiliki kisaran aktivitas enzim pada suhu 25o-90oC dengan pH antara 4.00 sampai 5.50. Namun, dari mikroorganisme yang disebutkan diatas, menurut Harsono (2012), mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada nira tebu dari jenis khamir yaitu Saccharomycess cerevisiae dan dari jenis bakteri yaitu Leuconostoc spp.
  


Gambar 1. Saccharomycess cerevisiae (atas) dan Leuconostoc spp. (bawah)
Khamir yang hidup dalam nira tebu terdapat 26 spesies. Namun khamir yang banyak hidup di dalam nira tebu terdiri dari 8 spesies seperti Saccharomycess cereviceae, Saccharomyces carlbergensis var. Alcohophila (kapang utama dalam proses fermentasi), Pichia Candida guiliemondii, Pichia fermentans, dan Candida intermedia var. Etahopila. Khamir akan menghasilkan alkohol yang kemudian dilanjutkan oleh Leuconostoc mesentroides (Untara, 2011).

2.5 Solusi yang Pernah Diterapkan
Selama ini telah dilakukan beberapa upaya untuk mencegah degradasi sukrosa yang menyebabkan rendahnya rendemen nira tebu yaitu dengan Potassium Metabisulfit 0.01%, namun hal ini menimbulkan kekhawatiran adanya residu Potassium Metabisulfit pada nira (Sangeeta et al., 2013). Karena itu dikembangkan solusi lainnya menggunakan kombinasi natrium benzoat dan potassium sorbat 1:1. Namun sayangnya, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran adanya residu natrium benzoat dan potassium sorbat (Taufiqul, 2014).
Selain penggunaan bahan-bahan kimia, menurut Nuriah dkk (2015) telah dikembangkan antiinversi menggunakan kombinasi tekanan dan suhu, sayangnya hal ini berdampak negatif yaitu terjadinya penurunan kualitas tebu dan butuh peralatan khusus. Selain itu harga per prosesnya cukup mahal yaitu Rp 125.000,- sehingga tidak dapat dijangkau petani tebu.

2.6 Gambir
Tanaman Gambir (Uncaria gambir Roxb) merupakan tumbuhan menjalar sebangsa kopi-kopian keluarga rubiaceae yang berproduksi dengan baik pada jenis tanah podsolik merah kuning sampai merah kecoklatan dengan curah hujan sekitar 3.000 – 3.353 mm (Zuldian, 2009). Keunggulan tanaman ini yaitu dapat dipanen secara berkelanjutan tergantung dari perawatan yang kita lakukan. Tanaman ini bisa berumur puluhan tahun dan tetap bisa menghasilkan getah dengan baik (Manan, 2008).
Bagian tanaman Gambir yang dipanen adalah daun dan ranting yang selanjutnya diolah untuk menghasilkan ekstrak Gambir yang bernilai ekonomis (Zuldian, 2009). Panen dan pemangkasan daun dilakukan setelah tanaman berumur 1,5 tahun, tetapi produksinya masih relatif rendah, yaitu sekitar 2.000 kg daun dan ranting muda tanaman Gambir atau setara dengan 100 kg Gambir kering per hektar per panen. Pada umur 2 dan 2,5 tahun atau panen kedua dan ketiga, produksi meningkat masing-masing dua dan tiga kali lipat dari panen pertama, yaitu sebanyak 4.000 kg daun dan ranting muda tanaman Gambir atau setara dengan 200 kg Gambir kering per hektar per panen dan 6.000 kg atau setara dengan 300 kg Gambir kering per hektar per panen. Mulai tanaman berumur tiga tahun ke atas produksi rata-rata sebanyak 6.900 kg daun dan ranting muda tanaman Gambir atau setara dengan 550 kg Gambir kering per hektar per panen dan relatif sama sampai berumur 10 tahun (Tinambunan, 2008).  
Masa pemanenan paling menguntungkan pada tanaman Gambir dimulai pada tahun ketiga atau keempat dan kadang kadang sampai umur 20 tahunan, tergantung kepada cara pemangkasan dan perawatan yang dilakukan oleh petani Gambir (Mediawati, 2010). Pemangkasan dilakukan 2-3 kali setahun dengan selang 4-6 bulan. Pangkasan daun dan ranting harus segera diolah, karena jika pengolahan ditunda lebih dari 24 jam, getahnya akan berkurang (Alim, 2011).

2.7 Potensi Bahan Baku
Alasan pemilihan Gambir yaitu karena lebih ekonomis dari segi harga jika dibandingkan dengan tanaman yang memiliki kandungan polifenol (katekin dan tanin) lainnya sebagai dijelaskan pada Tabel 3 berikut:
Tabel 3. Perbandingan Kandungan dan Harga Bahan Baku
No
Bahan
Kandungan Polifenol
Harga/kg
Sumber
1
Daun Jambu Kering
7,82%
Rp 75.000
Sukardi dkk, 2007
2
Daun Alpukat Kering
22,07%
Rp 40.000
Lestari dkk, 2009
3
Daun Kejibeling (Strobhilantes Crispa (L.) Blume
8, 17%
Rp 37.000
Amalia dkk, 2015
5
Daun Teh (Camellia sinensis L.)
17%
Rp 50.000
Politi et al., 2011
4
Gambir (Uncaria gambir Roxb)
75%
Rp 25.000
Roufiq dkk, 2007
Berdasarkan data pada Tabel 3 diatas, ditunjukkan bahwa Gambir merupakan bahan baku dengan kandungan polifenol tertinggi dan harga termurah yaitu Rp 25.000,- selain itu pada Tabel 4 berikut menunjukkan volume dan nilai ekspor Gambir yang terus meningkat di Indonesia:
Tabel 4. Volume dan Nilai Ekspor Gambir
Tahun
Volume (kg)
Nilai (US$)
2005
3.372.135
5.404.972
2006
2.879.852
5.219.612
2007
7.626.716
11.459.020
2008
12.781.188
24.717.444
2009
11.667.606
23.184.711
2010 (jan-jul)
8.501.667
18.793.212
Sumber: Kanwil Beacukai Menurut Disperindag (2010)
Selain itu, ditinjau dari aspek lingkungan, tidak ada kompetisi penggunaan lahan antara Gambir dengan tanaman lainnya. Tanaman Gambir yang berbentuk perdu dengan sistem perakaran yang kuat dan daun yang menutup tersebut akan dapat dipergunakan sebagai tanaman produktif di lahan marjinal yang datar maupun lereng. Di samping itu, aspek lain dari kelayakan lingkungan adalah lingkungan sosial budaya. Tanaman Gambir merupakan tanaman yang punya nilai sosial yang tinggi karena luas tanaman yang diusahakan masing-masing keluarga merupakan tingkat status sosial keluarga di tengah-tengah masyarakat (Manan, 2008).

2.8 Kandungan Kimia dan Pemanfaatan Daun Gambir
Komponen-komponen kimia yang terdapat dalam Gambir dapat dilihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel 5. Komponen-komponen yang Terdapat dalam Gambir
No
Nama Komponen
Jumlah (%)
1
Cathecin
7 – 33
2
Asam catechutannat
20 – 55
3
Pyrocathecol
20 -33
4
Gambir flouresensi
1 – 3
5
Red catechu
3 – 5
6
Quersetin
2 – 4
7
Fixed oil
1 – 2
8
Lilin
1 – 2
9
Alkaloid
Sedikit
Sumber: Gumbira-Sa’id et al., 2009
Rauf, Santoso, dan Suparmo (2010) menyatakan bahwa Gambir mengandung komponen polifenol cukup tinggi sebagai komponen utamanya yaitu katekin (7-33%) dan tanin (20-55%). Katekin dan tanin merupakan senyawa polifenol yang berpotensi sebagai antioksidan dan antibakteri (Arakawa et al., 2004). Menurut Pratten et al. (1998), suatu zat antibakteri harus berinteraksi langsung dengan dinding sel bakteri untuk masuk ke dalam sel bakteri tersebut.
Tanin pada Gambir memiliki khasiat sebagai algisida, juga antibakteri dan antijamur (Diah, 2010; Haryanto, 2009). Sedangkan katekin dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri dan berperan juga sebagai antikarsinogenik (Amos dkk, 2005). Komposisi dari dinding sel bakteri sangat mempengaruhi kemampuan zat antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri.


         

Gambar 2. Katekin (atas) dan Tanin (bawah) (Harborne, 1987)



BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Cara Pembuatan AGAR
Cara pembuatan “AGAR” meliputi langkah-langkah pada Gambar 3 berikut:

Persiapan Alat dan Bahan



Pembuatan Serbuk Daun Gambir Cubadak

Pembuatan Ekstrak Kasar Daun Gambir Cubadak

Analisa Total Fenol

Pengemasan dan Penyimpanan

AGAR siap digunakan

Gambar 3. Proses pembuatan AGAR

3.2 Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan meliputi Sosialisasi, Pengajaran, dan Evaluasi (SERASI) yang disusun berdasarkan kepedulian terhadap masyarakat yang diterapkan melalui beberapa tahapan pelaksanaan sebagai berikut :
1. Persiapan Program
Dalam persiapan program ini akan dilakukan proses :
a. Survei lokasi dan perijinan
Observasi langsung lokasi dan wawancara petani serta menghubungi kepala desa untuk menjelaskan program, dan meminta izin pelaksanaan program serta bekerjasama dalam pengumpulan peserta
b. Persiapan pelatihan
Menyusun jadwal kegiatan dan susunan acara pelatihan dan menyiapkan perlengkapan penyelenggaraan pelatihan dan materi pelatihan
c. Persiapan alat dan bahan demonstrasi
d. Pembuatan modul pelatihan dan PPT pelatihan
2. Pelaksanaan Program                 
a.       Sosialisasi tentang bahaya pengawet sintetik/kimia kepada petani
b.      Pelatihan pembuatan AGAR, aplikasi AGAR pada tebu pasca panen, dan pengemasan AGAR
c.       Pendampingan pembuatan, aplikasi dan pengemasan AGAR
3. Tahap Evaluasi
Pada tahap ini, seluruh tahapan kegiatan dievaluasi keberhasilanya, sejauh mana keberhasilan itu dicapai, dan diadakan perbaikan-perbaikan pada proses yang dirasa belum optimal.

3.3  Kerangka Berpikir
Antibakteri Gambir lebih efektif menghambat bakteri gram positif daripada bakteri Gram negative karena sasaran polifenol Gambir tertuju pada dinding sel bakteri. Sedangkan pada jamur, polifenol dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+ and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), dan perubahan karakteristik morfologi hifa, bengkak dan tidak bisa memanjang. Selain itu, juga dapat mendorong pembentukan oksigen reaktif intraseluler, kerusakan inti, pemanasan membran plasma, dan berakhir dengan kematian jamur.
Mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada nira tebu Saccaromycess cereviceae dan Leuconostoc spp. Saccaromycess cereviceae merupakan khamir dan Leuconostoc spp merupakan bakteri gram positif. Bateri gram positif lebih mudah dihambat oleh polifenol. Sehingga, ekstrak kasar daun Gambir Cubadak berpotensi digunakan sebagai antiinversi dengan cara menghambat maupun mematikan mikroorganisme penghasil enzim invertase.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Mekanisme Penghambatan Inversi oleh AGAR
AGAR merupakan larutan ekstrak kasar Gambir yang dapat digunakan tanpa pengenceran. Proses penghambatan pertumbuhan mikroorganisme terjadi karena karena antibakteri Gambir lebih efektif menghambat bakteri Gram positif daripada bakteri Gram negatif, berarti sasaran penghambatan oleh polifenol Gambir tertuju pada dinding sel bakteri. Diduga, polifenol berikatan dengan unit peptida pada komponen peptidoglikan dari dinding sel. Terjadinya pengikatan itu dapat mengacaukan integritas dinding sel bakteri dan menyebabkan kebocoran pada sel bakteri Gram-positif. Pada bakteri Gram-negatif kenyataan itu tidak bisa terjadi. Bahan ini akan merusak membran sel bakteri sehingga bakteri akan mati dengan sendirinya. Selain itu, polifenol dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+ and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), dan perubahan karakteristik morfologi hifa, bengkak dan tidak bisa memanjang. Selain itu, juga dapat mendorong pembentukan oksigen reaktif intraseluler, kerusakan inti, pemanasan membran plasma, dan berakhir dengan kematian.       
Sedangkan menurut Harsono (2012), mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada nira tebu Saccaromycess cereviceae dan Leuconostoc spp. Saccaromycess cereviceae merupakan khamir dan Leuconostoc spp merupakan bakteri gram positif. Bakteri gram positif lebih mudah dihambat oleh polifenol. Sehingga pengaplikasian “AGAR” ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas tebu pasca panen yang nantinya dapat berimbas pada peningkatan jumlah produksi gula nasional.

4.2 Aplikasi AGAR dan Potensinya Sebagai Anti-Inversi
Metode penyemprotan AGAR merupakan salah satu faktor penting. Penyemprotan dilakukan menggunakan tangki semprot dengan penyemprotan dilakukan di kedua ujung batang yang dipotong lalu dilanjutkan ke seluruh batang tebu. Metode ini merupakan metode paling aplikatif untuk dilakukan di lahan daripada disiram atau dengan cara pencelupan. Selain itu, jika semakin lama waktu penggilingan, maka akan menyebabkan reaksi invertase yang berkelanjutan menurunkan kadar sukrosa.

4.3 Pengaruh Penggunaan AGAR
Pasca penggunaan AGAR pada tebu pasca panen dan tunda giling selama tiga hari menunjukkan kadar rendemen nira tebu dapat dipertahankan pada persentase 11,085% dengan pH 5,626. Selain itu, AGAR terbukti menurunkan pertumbuhan mikroba hingga log 5.877 dan menurunkan kadar gula pereduksi hingga tersisa hanya 0,649%. Hal ini dapat meningkatkan produktivits gula nasional yang dapat menekan angka impor gula sebagaimana terlihat pada Tabel 6 berikut:
Tabel 6. Pengaruh peningkatan rendemen nira
No
Rendemen nira tebu
Produksi Gula Nasional
Biaya impor gula (Rp)
1
7%
2 juta ton/tahun
1 triliun/tahun
2
10%
3,5 juta ton/tahun
-
3
11%
Swasembada Gula
-

4.4 Analisis SWOT AGAR
Tabel 7. Analisis SWOT AGAR
      FAKTOR DARI LUAR




FAKTOR DARI DALAM
PELUANG (Opportunity)
ANCAMAN (Threat)
v  Rendemen gula terus menurun
v  Alternatif peningkatan rendemen gula yang telah dilakukan kurang efektif
v  Konsep antiinversi berbahan ekstrak kasar Gambir berpotensi untuk ditiru.
KEKUATAN (Strength)
Strenght-Opportunity Strategy
Strenght-Threat Strategy
v  Efesien karena menghambat reaksi inversi secara langsung.
v  Aplikatif, karena penggunaannya sangat sederhana yakni tdisemprotkan ke tebu pasca panen.
v  Dapat berfungsi ganda, sebagai penghambat pertumbuhan bakteri pensekresi enzim invertase dan meningkatkan kualitas rendemen
v  Harga lebih murah
1.      Terus meningkatkan formulasi “AGAR” sehingga kinerjanya semakin baik lagi.
1.    Melakukan pengembangan kualitas dan inovasi “AGAR”, sehingga penjiplakan berdasarkan kualitas oleh pesaing sulit dilakukan.

KELEMAHAN (Weakness)
v  Produk  AGAR” belum diujikan pada semua varietas tebu di Indonesia.

4.5 Pelaksanaan Introduksi AGAR dengan Metode SERASI
4.5.1 Sosialiasi
Sosialisasi bertujuan untuk menjelaskan bahaya pengawet kimia/sintetik khususnya pada tebu pasca panen dan pengenalan AGAR sebagai antiinversi alami tebu. Instrumen pelaksanaan program ini adalah kuisioner, buku panduan dan kamera digital.
Gambar 4. Sosialisasi Bahaya Pengawet Kimia
4.5.2 Pelatihan Pembuatan AGAR
Pelatihan pembuatan AGAR meliputi pemilihan daun Gambir yang tepat, persiapan alat dan bahan, proses pengolahan Gambir hingga menjadi antiinversi berbahan dasar ekstrak kasar daun Gambir.  Instrumen pelaksanaan program ini adalah blender, oven, pisau, saringan, botol semprot, baskom, buku panduan, kuisioner, dan kamera digital.
Gambar 5. Pelatihan pembuatan AGAR
4.5.3 Pelatihan Aplikasi AGAR pada tebu pasca panen
Pelatihan ini bertujuan agar petani dapat mengaplikasikan AGAR dengan baik dan benar. Instrumen Pelaksanaan program ini adalah golok, meja, botol semprot, buku panduan, kuisioner, dan kamera digital.
Gambar 6. Pelatihan Aplikasi AGAR pada tebu pasca panen
4.5.4 Pelatihan Pengemasan AGAR
Pelatihan pengemasan ini bertujuan untuk menjaga kualitas AGAR tetap baik sebelum digunakan sebagai antiinversi di lapangan. Instrumen pelaksanaan program ini adalah botol semprot berwarna gelap, kamera digital, stiker produk dan kuisioner.
Gambar 7. Pelatihan Pengemasan AGAR

4.5.5 Evaluasi Pasca Pelatihan
Pasca pelatihan sebanyak 93% masyarakat paham cara membuat AGAR dan mampu mengaplikasikan AGAR pada tebu pasca panen. Gambar berikut merupakan persentase pemahaman masyarakat pasca pelaksanaan program dan
Berdasarkan pelaksanaan metode SERASI tersebut, diperoleh uraian capaian pelaksanaan introduksi AGAR menggunakan metode SERASI pada Tabel 8 sebagai berikut:
Tabel 8. Uraian Pelaksanaan dan Capaian Metode SERASI
No
Uraian
Target
Capaian
1.
Sosialisasi
100%
100%
2.
Pengajaran
100%
100%
Pelatihan Pembuatan AGAR
100%
100%
Pelatihan Aplikasi AGAR pada tebu pasca panen
100%
100%
Pelatihan Pengemasan AGAR
100%
100%
3.
Evaluasi
100%
100%
Aplikasi AGAR pada tebu pasca panen
100%
100%
Pengemasan AGAR
100%
100%

4.6 Jadwal Pelaksanaan Program Beserta Indikator Jangka Pendek
Tabel 9 berikut ini merupakan jadwal pelaksanaan progam AGAR beserta indikator jangka pendek setiap kegiatan:
Tabel 9. Jadwal Pelaksanaan Program Beserta Indikator Jangka Pendek
Jenis kegiatan
Bulan ke-

Indikator Jangka Pendek
1
2
3
4
5
Pelaksanaan

Kesepakatan kerjasama





Didapatkan surat kesepakatan kerja sama
Survey lokasi





Didapatkan gambaran keadaan wilayah dan sosial masyarakat sasaran
Pembelian peralatan dan bahan





Didapatkan alat dan bahan penunjang pembuatan AGAR
Sosialisasi


 


Didapatkan hasil kuisioner tentang kepahaman materi yang disampaikan
Pengajaran





masyarakat mengerti cara membuat AGAR
Evaluasi


Proses pembuatan

          



Masyarakat mampu membuat AGAR
Proses pengaplikasian





Masyarakat mau mengaplikasikan AGAR
Proses pengemasan





Masyarakat mampu mengemas AGAR

4.7 Kemanfaatan Bagi Masyarakat
Introduksi AGAR dengan metode SERASI memiliki kemanfaatan sebagai dijelaskan pada Tabel 10 berikut:
Tabel 10. Kemanfatan program bagi masyarakat
Parameter
Sebelum
Sesudah
Rendemen nira tebu
≤7%
>10%
Pendapatan Tambahan
Tidak ada
Ada
Kelompok Percontohan
Tidak ada
Ada
Selain pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan, juga dibentuk satu kelompok percontohan. Kelompok yang terpilih kemudian melakukan kesepakatan dan perjanjian untuk memproduksi dan mengaplikasikan AGAR secara kontinyu dan memotivasi serta mendampingi secara langsung kelompok lainnya dalam membuat antiinversi AGAR.
Dampak kemanfaatan program ini bagi masyarakat secara langsung adalah masyarakat dapat membuat antiinversi AGAR yang aman, ramah lingkungan, berharga jual tinggi dibandingkan daun Gambir, dan mengaplikasikan AGAR pada tebu pasca panen untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas rendemennya. Sedangkan secara tidak langsung yaitu terbentuk sistem manajerial persatuan pengrajin AGAR yang terorganisir sehingga kelompok tersebut berperan sebagai unit percontohan yang akan menginisiasi daerah di sekitarnya dimana perekonomian akan tumbuh dengan maksimal di wilayah disekitarnya.




4.8  Rencana Tahapan Berikutnya
Berikut ini merupakan rencana tahapan selanjutnya program SERASI:
1.      Menindaklanjuti pengurusan sertifikasi PIRT dan BPOM untuk memberikan jaminan kemanan bagi konsumen.
2.      Mengurus perizinan sebagai supplier AGAR sehingga daerah kelompok percontohan pengrajin AGAR dapat menjadi sentra produsen AGAR yang produknya dapat diterima di pasaran.


BAB V. PENUTUP

5.1 Simpulan
1.      Pembuatan “AGAR” meliputi persiapan alat dan bahan, pembuatan serbuk daun Gambir, pembuatan ekstrak kasar daun Gambir, analisa total fenol, dan pengemasan serta penyimpanan. Sedangkan untuk aplikasinya “AGAR” langsung disemprotkan ke tebu pasca panen.
2.      Adapun “AGAR” memiliki kekuatan (Strength) yakni efisien karena dapat mencegah kerja enzim invertase secara langsung dan aplikatif karena penggunaannya mudah yaitu cukup dengan disemprotkan saja. Kelemahan (Weakness) karena “AGAR” belum diujikan pada berbagai jenis varietas tebu di Indonesia. Kesempatan (Opportunities) karena produktivitas gula semakin menurun dan belum ada alternatif yang efisien. Serta ancaman (Threat) konsep antiinversi pada tebu pasca panen berpotensi untuk ditiru oleh pesaing.
3.      Metode yang paling tepat yaitu SERASI (Sosialisasi, Pengajaran, dan Evaluasi) sehingga petani dapat membuat dan mengaplikasikan AGAR sehingga terbentuk kelompok percontohan terorganisir sehingga secara tidak langsung meningkatkan taraf ekonomi dan kesejahteraan petani tebu.
5.2 Saran
a)      Diharapkan masyarakat semakin perhatian dan peduli terhadap persediaan gula yang produktivitasnya semakin menurun.
b)      Diharapkan pemerintah mendukung setiap inovasi yang telah ditemukan menangani masalah menurunnya produktivitas gula.
c)      Diharapkan para akademisi untuk selalu mengembangkan inovasi terbaru yang selalu mendukung program pemerintah untuk menciptakan metode alternatif terbarukan yang berbasis masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, S., Syafnir, L., dan Purwanti, L. 2015. Pengaruh Letak Daun terhadap Kadar Katekin Total pada Daun Kejibeling (Strobhilantes Crispa (L.) Blume. Prosiding Penelitian SPeSIA 2015. Farmasi. Unisba.
Amos, H. Henanto, S. Royaningsih, dan F. Laura. 2005. Kandungan Catechin pada Gambir. Makalah pada Seminar Nasional ke XVII & Kongres ke X Perhimpunan Biokimia & Biologi Molekuler Indonesia di Pekanbaru, Riau.
Apea-Bah, F. B. et al. 2009. Assessment of the DPPH and รก-glucosidase Inhibitory Potential of Gambier and Qualitative Identification of Major Bioactive Compound. Journal of Medicinal Plants Research Vol. 3(10): 736-757.
Arakawa, H., M. Masako, S. Robuyusi dan Miyazaki. 2004. Role of hydrogen peroxide in bactericidal action of Catechin. Biological & Pharmaceutical Bulletin, Vol. 27 No. 3227: 227-228.
DeConinck, B.; Cammue, B. P. A.; Thevissen, K. 2012. Modes of Antifungal Action and In Planta Functions of Plant Defensins and Defensin-Like Peptides. Fungal Biology Reviews, Belgium, n. 26, p. 109-120.
Filianty, F., S. Raharja, dan P. Suryadarma. 2007. Perubahan Kualitas Nira Tebu (Saccharum officarum) Selama Penyimpanan dengan Penambahan Akar Kawao (Millettia Sp.) dan Kulit Batang Manggis (Garcinia mangostana L.) Sebagai Bahan Pengawet. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 20 (1), 57-64.
Ghasemnejad Maleki, M.H., Jamshidi, A. 2011. Forecast Model of Sugar Loss Due To Mechanical Harvesting of The Sugarcane Crop. Aust. J. Basic Appl. Sci., 5(12): 1190-1194.
Hidayat, S., dan Rodame, N. 2015. Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta: Penebar Swadaya.
 Lestari, T. 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani. [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Madsen, Lee. 2009. Iron Mediated Precipitation of Phenol:Protein Aggregates From Sugar Cane Juice. [Dissertation]. Department of Chemistry. Louisiana State University.
Pambayun, Rindit, Murdijati Gardjito, Slamet Sudarmadji, dan Kapti Rahayu Kuswanto. 2007. Kandungan Fenol dan Sifat Antibakteri dari Berbagai Jenis Ekstrak Produk Gambir (Uncaria gambir Roxb). Majalah Farmasi Indonesia 18 (3). Hal 141 – 146.
Pratten, J., K. Wills, P. Barnett, dan M. Wilson. 1998. In Vitro Studies of The Effect of Antiseptic-Containing Mouthwashes on The Formation and Viability of Streptococcus sanguis Biofilms. Journal of Applied Microbiology 84, 1149-1155.
Rao, K., Aradhana R., Banjii D., Chaitanya R., and Kumar A.A. 2011. In Vitro Anti Oxidant and Free Radical Scavenging Activity of Various Extracts of Tectona grandis Linn Leaves. Journal of Pharmacy Research 2(4): 440-442.
Risfaheri, Emmyzar dan H. Muhammad, 1991. Budiaya dan Pascapanen Gambir. Temu tugas Aptek Pertanian Sub Sektor Per-kebunan 3-5 September. Solok.
Roufiq, N., Hadad, M. E. A., dan Hasibuan, A. M. 2007. Status Teknologi Budidaya dan Pengolahan Gambir. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Sangeeta, B. S. Hathan, and B.S. khatkar. 2013. Studies on Stability of Sugarcane Juice Blended with Anola Juice at Refrigerated and Room Temperature. International Journal of Agriculture and Food Science Technology. ISSN 2249-3050, Volume 4, Number 10 (2013), pp. 1027-1036
Saxena, P., Srivastava, R.P., Sharma, M.L. 2010. Impact of Cut To Crush Delay and Biochemical Changes In Sugarcane. Aust. J. Crop Sci., 4(9): 692 699.
Singh, I., Solomon, S. 2003. Postharvest Quality Loss of Sugarcane Genotypes Under Sub Tropical Climate: Deterioration of Whole Stalk And Billets. Sugar Tech., 5(4): 285 288.
Solomon, S., Banerji, R., Shrivastava, A.K., Singh, P., Singh, I., Verma, M., Prajapati, C.P., Sawnani, A. 2006. Post Harvest Deterioration of Sugarcane and Chemical Methods To Minimise Sucrose Losses. Sugar Tech., 8(1): 74 78.
Solomon, S. 2009. Postharvest Deterioration of Sugarcane. Sugar Tech., 11(2): 109-123.
Solomon, S., Ramaduri, R., Shanmugnathan, S., Shrivastava, A.K., Deb, S., Singh, I., 2003. Management of Biological Losses In Milling Tandem To Improve Sugar Recovery. Sugar Tech., 5(3): 137-142.
Solomon, S., Srivastava, A.K., Singh, P., Singh, I., Sawnani, A., Prajapati, C.P., 2007. An Assessment of Postharvest Sucrose Losses In Sugarcane Billets Under Subtropical Conditions. Proc. Int. Soc. Sugar Cane Technol., 26: 1513 1520.
Zamarel dan Risfaheri, 1991. Perkembangan Penelitian Tanaman Industri Lain. Edisi Khusus Littro VII (2).Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.


No comments:

Post a Comment

CATATAN BIOAKTIF DAN SINDROM METABOLIK

SINDROM METABOLIK 1.        Obesitas menyebabkan inflamasi, hipertensi, resistensi insulin . Kemudian menyebabkan DM 2, penyakit kardi...