Wednesday, August 8, 2018

CONTOH BAB 1-2 PADA PROPOSAL SKRIPSI



I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Tebu termasuk komoditas perkebunan penting di Indonesia sebagai penghasil nira tebu yang merupakan bahan baku gula (Soetopo dkk, 2012). Perkebunan tebu di Indonesia mencapai luas areal 321 ribu hektar (Datir and Joshi, 2015). Luas areal tebu di Indonesia pada sepuluh tahun terakhir secara umum mengalami pertumbuhan 0,71 persen per tahun. Produksi tebu juga tumbuh dengan laju sebesar 3,54 persen per tahun namun produktivitas rata-rata hablur baru mencapai 5,82 ton/ha dari kondisi potensialnya 8 ton/ha (Tinambunan, 2010).
Masalah lainnya yaitu rendemen tebu yang dihasilkan terlalu rendah (7%) sementara rendemen minimal yang diterima pabrik yaitu 8% (Filianty dkk, 2007). Jika dibandingkan dengan negara lain, rata-rata rendemen tebu yang dihasilkan diatas 10%. Bahkan Brasil dan Kuba telah mencapai rendemen sekitar 14% (Datir and Joshi, 2015). Indonesia mampu memproduksi sekitar 2,4 juta ton gula/tahun dengan tingkat rendemen 7%. Jika rendemen ditingkatkan menjadi 10%, Indonesia mampu memproduksi 3,5 juta ton gula/tahun dan diprediksi mampu memenuhi target swasembada gula jika rendemen tebu mencapai 14% (Winata, 2013).
Salah satu penyebab menurunnya rendemen gula yaitu akibat proses menunggu (down time), padahal jika nira disimpan lebih 4 jam akan terjadi penurunan pH, hal ini dikarenakan fermentasi nira oleh mikroorganisme (Lakshmanan et al., 2009). Penurunan rendemen tersebut dikarenakan sukrosa terdegradasi menjadi gula-gula sederhana (invert) yang tidak dapat dikristalisasi (Singh and Solomon, 2003; Ghasemnejad and Jamshidi, 2011). Degradasi sukrosa terjadi karena adanya peningkatan keasaman, suhu, mikroorganisme dan enzim-enzim di dalam nira. Kerusakan sukrosa terjadi secara cepat antara 24 jam-48 jam dan pembentukan dekstran terjadi sangat cepat pada 48 jam-72 jam setelah tebu dipanen (Saxena et al., 2010). Degradasi sukrosa tersebut disebabkan oleh mikroorganisme dari jenis khamir dan bakteri (Solomon et al., 2007; Saxena et al., 2010). Mikroorganisme ini memanfaatkan glukosa pada tebu yang dikonversi dari sukrosa maupun glukosa yang sudah terbentuk secara alami (Solomon et al., 2003).
Solusi yang pernah diterapkan sebelumnya yaitu penyemprotan tebu menggunakan air bersih (Solomon, 2003), Sodium Metasilicate 5% (Layoso and Rosario, 2005), Sucroguard (Kulkarni and Warne, 2007), Potassium Permanganate (Amaya et al., 2009), Thiocarbamate (Smith et al., 2009), Tsunami-100 (Ecolab, 2010), 150 ppm larutan klorin (Mahbubur et al., 2012), dan Potassium Metabisulfit 0.01% (Sangeeta et al., 2013). Solusi sebelumnya dianggap kurang optimal sehingga diperlukan penanganan tebu pasca panen yang lebih baik.
Produktivitas gambir sangat tinggi sehingga mampu memasok 80% kebutuhan gambir dunia (Amos et al. 2014). Pemanfaatan gambir selama ini masih belum optimal karena kurangnya pengetahuan masyarakat dalam ekstraksi gambir (Nazir, 2011). Gambir sebagian besar hanya diolah untuk zat pewarna dalam industri batik, industri penyamak kulit, ramuan makan sirih, bahan baku pembuatan permen dalam acara adat di India dan sebagai penjernih pada industri air (Zamarel dan Risfaheri, 2015). Padahal gambir sangat potensial untuk diaplikasikan di bidang pengolahan pangan (Naufalin, 2015).
Gambir mengandung turunan senyawa fenol terutama katekin dan tanin (Pambayun et al., 2007). Senyawa fenol pada daun gambir berpotensi sebagai antimikroba (Arakawa et al., 2007; Tinambunan, 2010). Keunggulan lainnya, fenol daun gambir dinyatakan aman digunakan (Apea-Bah, 2009; Lestari, 2009), sehingga aman digunakan dalam pengolahan pangan, salah satunya penghambat pertumbuhan mikroorganisme pada nira tebu pasca panen. Berdasarkan permasalahan diatas penulis mengajukan penelitian berjudul Potensi Antimikroba Ekstrak Daun Gambir (Uncaria gambir var Cubadak) Terhadap Bakteri dan Khamir Nira Tebu (Saccharum officinarum).

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.         Apakah ekstrak daun gambir memiliki potensi aktivitas antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir pada nira tebu?
2.         Apakah metode ekstraksi daun gambir memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir nira tebu?
3.         Apakah konsentrasi ekstrak daun gambir memberikan pengaruh terhadap Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM)?



1.3  Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1.         Mengetahui potensi aktivitas antimikroba ekstrak daun gambir terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir pada nira tebu.
2.         Mengetahui pengaruh metode ekstraksi daun gambir terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir nira tebu.
3.         Mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak daun gambir terhadap Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM).

1.4  Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1.         Memberikan informasi tambahan bagi masyarakat luas terutama para peneliti di bidang teknologi hasil pertanian tentang potensi daun gambir (Uncaria gambir Roxb.) sebagai antimikroba.
2.         Memberikan alternatif pengawet nira tebu alami berbasis antimikroba kepada masyarakat disamping pengawet kimia yang telah ada.

1.5  Hipotesa
            Diduga metode ekstraksi dan konsentrasi ekstrak daun gambir memberikan pengaruh terhadap aktivitas antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri dan khamir pada nira tebu yang dibuktikan dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM).









II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tebu
2.1.1 Klasifikasi Ilmiah
Berikut merupakan klasifikasi botani tanaman tebu (Madsen, 2009):
Kingdom         : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom    : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi    : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi               : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas               : Liliopsida (berkeping satu/monokotil)
Sub kelas        : Commelinidae
Ordo                : Poles
Famili              : Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus             : Saccharum
Spesies           : Saccharum officinarum L.

2.1.2 Tanaman Tebu
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman tropis tahunan yang berasal dari Guinea dan termasuk kedalam kelompok Gramineae (rumput-rumputan) (Solomon et al., 2003). Tanaman ini memerlukan udara panas yaitu 24-30ºC dengan perbedaan suhu musiman tidak lebih dari 6ºC, perbedaan suhu siang dan malam tidak lebih dari 10ºC. Tanah yang ideal bagi tanaman tebu adalah tanah berhumus dengan pH antara 5,7 hingga 7 (Racowski et al., 2015). Tebu merupakan tanaman dengan aktivitas fotosintesis yang tertinggi (aktivitasnya bila dibandingkan dengan tanaman lainnya sekitar 150-200%) (Layoso and Rosario, 2005). 
Menurut Mahbubur (2012), morfologi tanaman tebu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu:
1.     1.  Akar         : berbentuk serabut, tebal dan berwarna putih
2.      Batang     : berbentuk ruas-ruas yang dibatasi oleh buku-buku, penampang melintang agak pipih, berwarna hijau kekuningan.
3.      Daun        : berbentuk pelepah, panjang 1-2 m, lebar 4-8 cm, permukaan kasar dan berbulu, berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua.
4.  Bunga      : berbentuk bunga majemuk, panjang sekitar 30 cm.

Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi, tidak bercabang dan tumbuh tegak dengan tinggi batangnya mencapai 3-5 meter atau lebih (Smith et al., 2009). Komposisi batang tebu terdiri dari 12,5% serabut dan 87,5% nira. Komposisi nira terdiri dari 75-80% air dan sekitar 20-25% bahan kering (P3GI, 2008). Di dalam bahan kering inilah terkandung sukrosa. Akumulasi sukrosa rendah pada bagian batang muda (Soetopo dkk, 2012).
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman tahunan yang dipotong batang utamanya untuk diambil niranya. Batang tebu memiliki kandungan sukrosa dengan rentang 10-15% dari total nira tebu (P3GI, 2008). Gula cair, gula pasir, gula merah dan sejenisnya diproduksi dari nira ini. Sebagai sebuah tanaman tahunan yang terus tumbuh, satu tanaman tebu akan mampu dipanen tiga hingga enam kali panen sebelum diganti dengan tanaman baru (Ghasemnejad and Jamshidi, 2011).
Tanaman tebu harus dipanen secara bergiliran dengan mengatur varietas umur masak yaitu masak awal (± 8-10 bulan), masak tengah (± 10-12 bulan), dan masak lambat (>12 bulan) (Padovan, 2009). Batang tebu berdiri tegak dengan diameter 3-4 cm dan tinggi 2-4 m serta tidak bercabang. Bentuk daun tebu berupa belaian dengan pelepah. Panjang daun dapat mencapai 1-2 m dan lebar 4-8 cm dengan permukaan kasar berbulu (Untara, 2011).

2.1.3 Nira Tebu
Nira tebu merupakan cairan hasil perasan yang diperoleh dari penggilingan tebu yang memiliki warna coklat kehijauan (DeConinck et al., 2012). Nira tebu mengandung senyawa-senyawa kimia baik yang membaur terlarut maupun yang membentuk koloid (Verma et al., 2012; Padovan, 2009). Sukrosa dalam nira tebu serta selulosa dalam serat merupakan dua komponen utama penyusun tanaman tebu, masing-masing komponen tersebut tersusun atas gula sederhana. Sukrosa atau yang biasa dikenal sebagai gula pasir merupakan gabungan dari glukosa dan fruktosa. Selulosa yang merupakan serat-serat penyusun ampas adalah suatu polimer dari glukosa (Racowski et al., 2015). Secara bebas tanpa berikatan, glukosa, dan fruktosa ditemukan pada tebu dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding dengan sukrosa (Untara, 2011). Komposisi nira tebu dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Komposisi Nira Tebu
No
Komposisi Nira Tebu
Jumlah
1
Air
70-75%
2
Sukrosa
11-16%
3
Gula Reduksi
0,4-2%
4
Organik non-gula
0,5-1%
5
Mineral
0,5-1%
6
Serat
10-16%
Sumber: Smith et al. (2009)

2.2 Solusi yang Pernah Diterapkan Sebelumnya
Sebelumnya, telah ada beberapa upaya untuk mencegah degradasi sukrosa yang menyebabkan rendahnya rendemen nira tebu. Tabel 2.2 berikut ini merupakan beberapa penelitian yang telah diterapkan sebelumnya:

Tabel 2.2 Solusi yang pernah diterapkan sebelumnya
No
Penanganan Tebu Pasca Panen
Kelemahan
Sumber
1
Disemprot menggunakan air bersih
Tidak efektif, harus dilakukan setiap hari selama penyimpanan
Solomon, 2003
2
Disemprot dengan Sodium Metasilicate 5%
Tidak berpengaruh signifakan
Layoso and Rosario, 2005
3
Sucroguard 10 ppm
Mahal
Kulkarni and Warne, 2007
4
Thiocarbamate
Kekhawatiran adanya bahan kimia
Smith et al., 2009
5
Potassium Permanganate
Membahayakan kesehatan
Amaya et al., 2009
6
Tsunami-100 (bahan aktif asam peroksi asetat 15.2% dan hidrogen peroksida 11.2%)
Beracun oral akut dengan dosis  150 mg/kg
Ecolab, 2010
7
Direndam dengan 150 ppm larutan klorin selama 15 menit
Kekhawatiran adanya residu klorin
Mahbubur et al., 2012
8
Dicuci dengan Potassium Metabisulfit 0.01%
Kekhawatiran adanya residu Potassium Metabisulfit
Sangeeta et al., 2013

Berdasakan solusi yang telah diterapkan sebelumnya, masih terdapat banyak kelemahan khususnya kekhawatiran adanya residu yang berpotensi menyebabkan dampak negatif bagi manusia dan belum efektifnya mencegah degradasi sukrosa.

2.3 Mikroorganisme yang Berperan dalam Reaksi Inversi Sukrosa
Tebu setelah ditebang masih melakukan kegiatan respirasi sehingga dihasilkan panas yang mengakibatkan penurunan kelembapan. Kondisi ini merupakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan mikroorganisme. Ditunjang pula dengan kerusakan mekanis pada ujung batang akibat pemotongan batang tebu saat pemanenan yang memudahkan mikroorganisme menembus jaringan batang tebu dan menghasilkan enzim Invertase (Prasetiyo, 2015; Purwani dkk, 2008).
Enzim Invertase dapat dihasilkan dari berbagai macam organisme, seperti pada kapang: Aspergillus niger (Aranda et al., 2014), A. caepitosus (Ana et al., 2009), A. ochraceus (Guimaraes et al., 2009), Cladosporium cladosporioides (Almeida et al., 2005), A. versicolor, C. herbarum, Mortierella minutissima, Penicillium chrysogenum, Sclerotium sp (Almeida et al., 2005), khamir: Candida utilis (Solomon et al., 2006), Saccharomyces cerevisiae (Haq and Ali, 2007; Amaya et al., 2009) serta bakteri: Bacillus macerans (Ahmed, 2008), Zymomonas mobilis (Al-Bakir and Whittaker, 2007), Leuconostoc mesentroides dan Leuconostoc dextranicum (Solomon et al., 2007).
Telah banyak pelaporan tentang aktivitas enzim Invertase yang dihasilkan oleh beberapa mikroorganisme, yang memiliki kisaran aktivitas enzim pada suhu 25o-60oC dengan pH antara 4,00 sampai 5,50. Namun dari mikroorganisme yang disebutkan diatas, menurut Harsono (2012) mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada nira tebu yaitu dari jenis bakteri dan khamir. Patil et al. (2012) menambahkan bahwa mikroorganisme pada nira tebu terdiri dari bakteri aerob pembentuk spora, bakteri aerob tidak membentuk spora, dan bakteri pembentuk lendir gum. Hasil penelitian Widyawati dkk (2015) juga menyebutkan terdapat 26 spesies khamir yang hidup dalam nira tebu

2.4 Akibat Reaksi Inversi Sukrosa
Kerusakan gula atau sukrosa dapat disebabkan oleh aktivitas enzim, mikroorganisme ataupun perlakuan proses (misalnya asam, suhu tinggi, dan lainnya) (Kuswurj, 2009; Srivastava et al., 2006). Inversi sukrosa dapat terjadi saat proses tebang angkut maupun proses pengolahan, terutama jika kondisi lingkungan cukup mengandung enzim Invertase. Tebu pasca panen saat di lahan, pengiriman dari lahan ke pabrik, dan penggilingan merupakan subyek yang mudah mengalami infeksi oleh mikroorganisme terutama oleh bakteri penghasil dekstran (Prasetiyo, 2015). Lama waktu penundaan dapat meningkatkan proses infeksi dan penyusutan terhadap tebu (Kuswurj, 2009).
Invertase adalah enzim yang terdapat dalam nira tebu atau hasil aktivitas ekstraseluler mikroorganisme yang mengkatalisis reaksi inversi dan turut memicu kerusakan sukrosa (Xu et al., 2009; Srivastava et al., 2009). Reaksi yang dilakukan oleh invertase disebut reaksi inversi (Madsen, 2009). Reaksi inversi adalah reaksi hidrolisis irreversible karena satu molekul sukrosa dan satu molekul air menghasilkan satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa. Glukosa dan fruktosa merupakan gula sederhana (invert) (Srivastava et al., 2006).
Menurut Kuswurj (2009), inversi sukrosa dapat terjadi pada proses tebang angkut maupun proses pengolahan terutama jika kondisi lingkungan cukup mengandung mikroorganisme penghasil enzim Invertase untuk melakukan aktivitasnya. Enzim ini termasuk enzim hidrolase yaitu enzim yang mengkatalisa reaksi hidrolisa suatu substrat atau pemecahan substrat dengan bantuan molekul air. Degradasi secara enzimatis terjadi ketika ikatan α-1,2-glikosidik dihidrolisis oleh enzim invertase (D-fructofuranosidase, EC 3.2.1.26) atau sucrose synthase (UDP glucose: D-fructose 2-D glucosyltransferase, EC 2.4.1.13). Hidrolisis sukrosa menghasilkan campuran glukosa dan fruktosa yang disebut dengan gula invert (invert sugar). Reaksi hidrolisis sukrosa oleh invertase (juga disebut sebagai sucrase atau saccharose) (Madsen, 2009; Srivastava et al., 2009). 
Molekul sukrosa terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa yang saling berikatan. Proses terjadinya reaksi inversi berawal dari terikatnya molekul sukrosa pada enzim Invertase yang kemudian mengalami hidrolisis dengan penambahan H2O (Skowronek et al., 2013). Reaksi hidrolisis ini mengakibatkan ikatan antara fruktosa dan glukosa terpecah menghasilkan satu molekul glukosa dan satu molekul fruktosa yang tidak berikatan dan terlepas dari enzim (Srivastava et al., 2006). Inversi sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa merupakan masalah utama pada tebu dan dapat menyebabkan penurunan rendemen yang nyata (Haq and Ali, 2007).

2.5 Gambir
2.5.1 Klasifikasi Ilmiah
Klasifikasi ilmiah tanaman gambir menurut Ridawati (2008) yaitu sebagai berikut:
Kerajaan         : Plantae
Divisi               : Magnoliophyta
Kelas               : Magnoliopsida
Ordo                : Gentianales
Famili              : Rubiaceae
Genus             : Uncaria
Species           : Uncaria gambir

2.5.2 Tanaman Gambir
Tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) merupakan tumbuhan menjalar sebangsa kopi-kopian keluarga rubiaceae tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan memanjang, batang tegak sampai 100 cm (Lestari, 2009). Tanaman gambir tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 200 m-900 m dari permukaan laut mulai dari topografi agak datar sampai di lereng bukit. Tanaman ini berproduksi dengan baik pada jenis tanah podsolik merah kuning sampai merah kecoklatan dengan curah hujan sekitar 3.000 – 3.353 mm (Risfaheri dkk, 2011).  
Daun gambir tumbuh tunggal pada tangkai batang dan saling berhadapan, berwarna hijau dan memiliki panjang 8-13 cm dan lebar 4-7 cm. Bentuk daun oval, bagian ujung meruncing, warna daun hijau, tangkai daun pendek, bagian tepi daun bergerigi dan permukaan tidak berbulu. Tanaman gambir memiliki bunga majemuk berbentuk lonceng dan berwarna merah muda atau hijau yang tumbuh di ketiak daun (Mahbubur et al., 2012). Bunga gambir memiliki panjang sekitar 5 cm dengan lima helai mahkota bunga seperti bunga Kopi. Buah gambir berbentuk bulat telur, berwarna hitam memiliki panjang sekitar 1,5 cm dan dua ruang buah (Hadad dkk, 2008). Pada bagian luarnya terdapat sayap yang memungkinkan biji gambir tersebar karena angin. Di dalam inti biji terdapat calon akar radicula, calon batang cauliculus, dan daun lembaga cotyledone (Rishaferi dkk, 2005).
Bagian tanaman gambir yang dipanen adalah daun dan ranting yang selanjutnya diolah untuk menghasilkan ekstrak gambir yang bernilai ekonomis (Risfaheri dkk, 2011; Lestari, 2009). Pemanen dan pemangkasan daun dilakukan setelah tanaman berumur 1,5 tahun, tetapi produksinya masih relatif rendah, yaitu sekitar 2.000 kg daun dan ranting muda tanaman gambir atau setara dengan 100 kg gambir kering per hektar per panen. Pada umur 2 tahun dan 2,5 tahun atau panen kedua dan ketiga, produksi meningkat masing-masing dua dan tiga kali lipat dari panen pertama, yaitu sebanyak 4.000 kg daun dan ranting muda tanaman gambir atau setara dengan 200 kg gambir kering per hektar per panen dan 6.000 kg atau setara dengan 300 kg gambir kering per hektar per panen. Mulai tanaman berumur tiga tahun ke atas produksi rata-rata sebanyak 6.900 kg daun dan ranting muda tanaman gambir atau setara dengan 550 kg gambir kering per hektar per panen dan relatif sama sampai berumur 10 tahun (Tinambunan, 2010). 
Masa pemanenan paling menguntungkan pada tanaman gambir dimulai pada tahun ketiga atau keempat dan kadang-kadang sampai umur 20 tahunan, tergantung kepada cara pemangkasan dan perawatan yang dilakukan oleh petani gambir (Manan, 2012). Pemangkasan dilakukan 2-3 kali setahun dengan selang 4-6 bulan. Pangkasan daun dan ranting harus segera diolah, karena jika pengolahan ditunda lebih dari 24 jam, getahnya akan berkurang (Amos et al., 2014). Disebutkan pula daun gambir yang ditunda pengolahannya selama dua hari akan menurunkan kandungan fenol dan rendemennya (Kasim, 2010).
Ditinjau dari aspek lingkungan, tidak ada kompetisi penggunaan lahan antara gambir dengan tanaman lainnya. Tanaman gambir yang berbentuk perdu dengan sistem perakaran yang kuat dan daun yang menutup tersebut akan dapat dipergunakan sebagai tanaman produktif di lahan marjinal yang datar maupun lereng (Lakshmanan et al., 2009). Aspek lain dari kelayakan lingkungan adalah lingkungan sosial budaya. Tanaman gambir merupakan tanaman yang memiliki nilai sosial yang tinggi karena luas tanaman yang diusahakan masing-masing keluarga merupakan tingkat status sosial keluarga di tengah-tengah masyarakat (Manan, 2012).

2.5.3 Kandungan Kimia Daun Gambir
Penelitian tentang eksplorasi komponen antioksidan ekstrak gambir telah dilaporkan oleh Naufalin (2015) yang menyatakan bahwa gambir mengandung polifenol cukup tinggi dengan komponen utamanya yaitu katekin dan tanin. Sedangkan menurut Pambayun et al. (2007), gambir mengandung turunan senyawa polifenol yaitu katekin, tanin, epikatekin, quersetin epigalokatekin dan beberapa senyawa turunan lainnya. Arakawa et al. (2007) menambahkan, katekin dan tanin merupakan senyawa polifenol yang berpotensi sebagai antimikroba
Uji toksisitas terhadap ekstrak gambir menggunakan sel IEC-6 (Intestinal Ephitelial Cell line no. 6) menunjukkan bahwa antioksidan dan antibakteri yang terdapat dalam gambir bersifat aman, dengan tidak menunjukkan efek negatif yang ditunjukkan dengan lebih dari 93% sel dapat bertahan hidup pada konsentrasi 1 hingga 200 μg/ml (Kavitha et al., 2012). Komponen-komponen kimia yang terdapat dalam daun gambir dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut:



Tabel 2.3 Komponen-komponen kimia yang terdapat dalam daun gambir
No
Nama Komponen
Jumlah (%)
1
Katekin
7 – 33
2
Asam katekutannat
20 – 55
3
Firokatekol
20 -33
4
Gambir flouresensi
1 – 3
5
Pigmen kateku merah
3 – 5
6
Quersetin
2 – 4
7
Minyak
1 – 2
8
Lilin
1 – 2
9
Alkaloid
Sedikit
Sumber: Kasim (2010)

2.5.4 Pemanfaatan Gambir
Kegunaan utama gambir di masyarakat Indonesia dan India adalah sebagai komponen menyirih (Pambayun dkk, 2007; Lestari, 2009). Gambir juga diketahui dapat merangsang keluarnya getah empedu sehingga membantu kelancaran proses di perut dan usus. Gambir juga digunakan sebagai astringen, antiseptik, bahan pencampur kosmetika, penjernih air baku pabrik bir, pemberi rasa pahit pada bir, sebagai bahan campuran pelengkap makanan, antibakteri, dan antifungal (Risfaheri dkk, 2011).
Fungsi lain gambir adalah sebagai campuran obat, seperti sebagai luka bakar, obat sakit kepala, obat diare, obat disentri, obat kumur-kumur, obat sariawan, serta obat sakit kulit (dibalurkan), penyamak kulit, ramuan cat, biopestisida, hormon pertumbuhan, pigmen, dan bahan pewarna tekstil untuk industri batik (Kavitha et al., 2012). Saat ini gambir tengah dikembangkan juga adalah sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel (Kasim, 2010). Gambir juga digunakan sebagai bahan pewarna kain wol dan sutera di Eropa (Nazir, 2011).
Pemanfaatan gambir oleh industri memiliki potensi yang dapat terus berkembang seiring dengan berkembangnya industri yang menggunakan bahan baku komponen-komponen yang terkandung dalam gambir (Patil et al., 2012; Lakshmanan et al., 2009). Komponen gambir yang dapat digunakan diantaranya sebagai katekin sebagai antispasmodik, bronkodilator dan vasodilator (Naufalin, 2015; Miron and Schaffer, 2010) dan menurunkan berat badan (Manan, 2012). Pigmen kateku merah untuk memberikan warna merah. Quersetin memiliki manfaat sebagai antiinflamasi dan antioksidan serta berbagai potensi kesehatan yang menguntungkan lainnya (Hadad dkk, 2008).
Penelitian yang berkaitan dengan aktivitas ekstrak gambir telah banyak dilakukan diantaranya aktivitas antioksidan dan antibakteri dari turunan metil ekstrak etanol daun gambir (Kresnawaty dan Zainuddin, 2009), sebagai antiseptik mulut (Istiqomah, 2013), dan sebagai imunodilator (Patil et al., 2012). Ekstrak gambir juga terbukti sebagai penghambat sintesa asam lemak yang disebabkan oleh fenol yang terkandung di dalam gambir (Hendra et al., 2014).

2.5.5 Gambir Varietas Cubadak
Terdapat empat varietas gambir di Sumatera Barat yaitu gambir varietas cubadak, gambir varietas udang, gambir varietas riau mancik, dan gambir varietas riau gadang (Kresnawaty dan Zainuddin, 2009). Tabel 2.4 berikut ini menunjukkan perbedaan karakteristik morfologi berbagai varietas gambir.

Tabel 2.4 Karakteristik morfologi berbagai varietas gambir
Parameter
Udang
Riau Mancik
Riau Gadang
Cubadak
Jumlah Daun/Ranting
13-14
11-12
13-14
15-16
Jumlah Cabang/Ranting
10-11
11-12
12-13
13-14
Warna Daun
Merah
Hijau Tua
Hijau Tua
Hijau Muda
Bentuk Helai Daun
Oval
Oblongus
Oblongus
Oval
Tebal Daun (mm)
0,36
0,29
0,17
0,18
Sumber: Kasim (2010)
Tabel 2.4 diatas menunjukkan bahwa jumlah daun/ranting dan jumlah cabang/ranting gambir varietas cubadak merupakan yang tertinggi dibandingkan gambir varietas lainnya. Menurut Hadad dkk (2008), gambir varietas cubadak memiliki keunggulan dalam hal produktivitas, daya adaptasi terhadap lingkungan serta keseuaian untuk lahan marjinal dan kering. Mahbubur et al. (2012) juga menambahkan bahwa varietas ini memiliki potensi nilai komersial yang cukup baik. Hal ini diperkuat oleh BPATP (2015) bahwa produktivitas getah daun gambir varietas cubadak rata-rata 903 kg per hektar dengan rendemen 6,1-6,5% sehingga layak dikembangkan untuk kebutuhan komersial. 

2.5.6 Senyawa Fenolik Daun Gambir
Menurut Fellow (2010), senyawa fenolik dan turunannya meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil yang memiliki sifat cenderung larut dalam air. Senyawa fenolik diantaranya adalah senyawa fenol sederhana seperti monofenol dengan satu cincin benzena (3-etilfenol, 3,4-dimetilfenol) yang banyak ditemukan pada kacang-kacangan, grup asam hidroksi sinamat (asam ferulat dan kafeat), flavonoid dan glikosidanya (katekin, proantosianin, antosianidin, dan flavonol) dan tanin yang merupakan senyawa fenol yang kompleks dengan berat molekul yang tinggi.
Senyawa antimikroba pada daun gambir adalah golongan fenolik (Pambayun dkk, 2007; Istiqomah, 2013). Pada tahun 1923, Freudenberg dan Purman mengisolasi dua komponen polifenol yang bersifat antibakteri dari ekstrak kering daun gambir, yaitu (-) katekin dan (+) epikatekin. Kemudian Nonaka dan Nishioka menemukan tujuh flavonoid baru, yaitu gambirin A1, A2, A3, B1, B2, B3, dan C dari gambir. Analisis kuantitatif kandungan total flavan dengan menggunakan metode estimasi asam vanilin dengan kisaran antara 24-79% dan dilakukan analisa dengan RP-HPLC yaitu kadar katekin sebesar 76%, epikatekin 1,5%, dan 1% berupa gambirin B1, B3, dan A1 (Hendra et al., 2014).
Gambir mengandung senyawa (+) katekin sebagai komponen utama disertai dengan bentuk dimer dan oligomernya yang selanjutnya lebih dikenal dengan gambirin (Istiqomah, 2013). Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu kerja membran sitoplasma mikroba. Termasuk diantaranya adalah mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Madigan et al., 2013; Purwani dkk, 2008). Menurut Lay (2012) serta Hidayat dan Rodame (2015), daun gambir muda menghasilkan katekin yang lebih tinggi dibandingkan gambir tua. Hal ini diperkuat oleh Naufalin (2015), bahwa pada pucuk daun gambir yang masih muda enzim polifenol oksidase dan katekin terletak dalam vakuola sel yang dipisahkan oleh membran tonoplas. Membran ini mencegah pergerakan bebas kedua substansi sel tersebut sehingga pada daun muda kondisi katekin masih dalam keadaan baik.
Katekin merupakan golongan flavonoid merupakan senyawa tidak berwarna, larut dalam air, serta menyebabkan rasa pahit dan rasa tajam pada air seduhan (Hidayat dan Rodame, 2015). Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu, 2010). Katekin merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada tanaman dan memiliki aktivitas antimikroba menghambat pertumbuhan kapang (Moat et al., 2012). Struktur kimia katekin ditunjukkan pada Gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5 Struktur kimia katekin (www.wildflowerfinder.org.uk)

Katekin termasuk dalam subkelompok flavan-3-ols yang mempunyai karakteristik antimikroba, antiradiasi, memperkuat pembuluh darah, melancarkan sekresi air seni, menghambat pertumbuhan sel kanker (Istiqomah, 2013), aktivitas antioksidan (Jayanudin dkk, 2014) dan antikarsinogenik (Hendra et al., 2014) serta kaya akan sifat antimikroba (Naufalin, 2015). Menurut Amos dkk (2014) kandungan katekin pada produk gambir yang dihasilkan di Indonesia antara 2,5% sampai dengan 95%. Menurut Lay (2012) serta Hidayat dan Rodame (2015) daun muda menghasilkan rendemen dan kadar katekin yang lebih tinggi dibandingkan daun tua.
Tanin merupakan komponen antimikroba lain selain katekin yang terdapat pada gambir (Purwani dkk, 2008). Tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri dari senyawa fenolik dengan berat molekul 500-3000 (Lemmens dan Soetjipto, 2009; Lontom et al., 2008). Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin terdiri dari sekelompok zat-zat kompleks yang terdapat secara luas dalam tumbuhan, antara lain pada bagian kulit kayu, batang, daun, dan buah-buahan (Moat et al., 2012). Tanin mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya (misalnya karboksil) sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan protein (Purwani dkk, 2008; Amalia dkk, 2015). Beberapa tanin dapat menghambat enzim seperti reverse transkripitase dan DNA topoisomerase (Moat et al., 2012). 
Tanin pada gambir terdapat dalam bentuk asam katekutannat (Lontom et al., 2008). Tanin pada daun gambir termasuk ke dalam tipe proantosianidin yang memiliki khasiat sebagai algisida, juga antibakteri dan antifungal (Lemmens dan Soetjipto, 2009). Tingginya kadar tanin menyebabkan gambir memiliki daya astringensi, antibakteri, dan sifat-sifat farmakologis dan toksis yang lainnya (Amalia dkk, 2015).

2.5.7 Aktivitas Antimikroba Daun Gambir Terhadap Bakteri dan Khamir
Antimikroba adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau metabolisme mikroorganisme baik terhadap kapang, khamir, maupun bakteri (Widyawati dkk, 2015). Fenol pada gambir memiliki khasiat yang baik sebagai algisida, juga antibakteri dan antifungal (Amos dkk, 2014). Sembiring dkk (2013) juga menyebutkan bahwa gambir yang mengandung dua komponen utama yaitu katekin dan asam katekutannat mempunyai banyak manfaat, salah satunya sebagai antimikroba.
Aktivitas antibakteri gambir melalui pengikatan polifenol dengan unit peptida pada komponen peptidoglikan dari dinding sel. Terjadinya pengikatan itu dapat mengacaukan integritas dinding sel bakteri dan menyebabkan kebocoran pada sel bakteri (Amalia dkk, 2015). Bahan ini akan merusak membran sel bakteri sehingga bakteri akan mati dengan sendirinya (Padovan, 2009).
Aktivitas antibakteri daun gambir dibuktikan oleh Kresnawaty dan Zainuddin (2009) bahwa ekstrak gambir menunjukkan zona hambat yang tidak ditumbuhi bakteri pada uji difusi terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. Hal ini diperkuat oleh penelitian Magdalena (2015) bahwa gambir telah terbukti menghambat pertumbuhan bakteri dengan Kadar Hambat Minimum (KHM) pada Escherichia Coli 100%, Salmonella typhimurium 90%, Staphylococcus aureus 90%, dan Bacillus cereus 80%.
Senyawa fenolik pada gambir berperan sebagai antifungal dengan cara mengganggu proses difusi makanan ke dalam sel sehingga pertumbuhan jamur terhenti atau mati (Ridawati dkk, 2008), mengerutkan dinding sel sehingga menganggu permeabilitas sel itu sendiri sehingga aktivitas hidup mikroba dan fungi terhambat (Ajizah, 2004). Hal ini diperkuat oleh Benko (2010) bahwa pada jamur, polifenol dapat mempengaruhi perubahan gradien ion Ca2+ and K+ (dibutuhkan untuk pertumbuhan hifa), dan perubahan karakteristik morfologi hifa, bengkak dan tidak bisa memanjang. Selain itu, juga dapat mendorong pembentukan oksigen reaktif intraseluler, kerusakan inti, pemanasan membran plasma, dan berakhir dengan kematian.
Aktivitas antifungal gambir telah dibuktikan oleh penelitian Roslizawaty dkk (2013) bahwa gambir memiliki kemampuan menghambat khamir Saccharomycess cerevisiae. Hal ini diperkuat oleh penelitian Suraini dkk (2015) bahwa ekstrak air gambir memiliki efek antifungal dengan Kadar Bunuh Minimum (KBM) ekstrak daun gambir pada Candida albicans yaitu konsentrasi 100%.
Telah dilaporkan berbagai aktivitas antimikroba daun gambir terhadap mikroorganisme patogen pada pangan, namun belum dilakukan penelitian terhadap potensi aktivitas antimikroba daun gambir untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme khususnya bakteri dan khamir pada nira tebu.

2.6 Ekstraksi
Kandungan zat antimikroba dari tanaman dapat diperoleh melalui ekstraksi yang bertujuan untuk menarik senyawa kimia dari dalam tanaman (Saxena et al., 2010). Menurut Roslizawaty dkk (2013), ekstraksi merupakan metode pemisahan berdasarkan kelarutan suatu zat yang tidak saling campur. Zhu et al. (2012) menambahkan bahwa ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif bahan menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi digolongkan menjadi dua golongan besar berdasarkan fase yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair-padat.
Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam pelarut non-polar (Lontom et al., 2008). Pada proses ekstraksi, mula-mula terjadi kontak antara bahan dan pelarut. Selanjutnya bahan akan bercampur dengan pelarut dan pelarut akan menembus kapiler bahan padat dan melarutkan ekstrak larutan sehingga terjadi penggumpalan ekstrak dalam pelarut dan pengendapan massa.

2.6.1 Macam-macam Ekstraksi
Terdapat beberapa macam metode ekstraksi. Salah satunya yaitu ekstraksi menggunakan pelarut. Metode ekstraksi ini terbagi menjadi dua yaitu cara dingin dan cara panas, sebagai berikut:

a.   Cara Dingin
Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan dalam proses ekstraksi total, yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil yang terdapat pada sampel. Sebagian besar senyawa dapat terekstraksi dengan cara ekstraksi dingin, walaupun ada beberapa senyawa yang memiliki keterabatasan kelarutan terhadap pelarut pada suhu ruangan terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah ekstraksi dingin (dalam labu besar berisi bahan yang diagitasi menggunakan stirer), dengan cara ini bahan kering hasil gilingan diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut yang kepolarannya makin tinggi. Keuntungan cara ini merupakan metode ekstraksi yang mudah karena ekstrak tidak dipanaskan sehingga kemungkinan kecil bahan alam terurai (Istiqomah, 2013).
Penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolaran bahan alam secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan-bahan alam berdasarkan kelarutannya (dan polaritasnya) dalam pelarut ekstraksi. Hal ini sangat mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi meskipun beberapa senyawa memiliki pelarut ekstraksi pada suhu kamar (Zhu et al., 2012).

1.    Maserasi
Maserasi merupakan proses perendaman sampel atau menggunakan pelarut organik dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruangan. Metode ini digunakan untuk mengekstrak zat aktif yang mudah larut dalam cairan pengekstrak, tidak mengembang dalam pengekstrak, serta tidak mengandung benzoin (Wuryanto dan Susanto, 2013). Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan atau kamar (Umar dkk, 2012). Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya sederhana (Istiqomah, 2013).
Maserasi berasal dari bahasa latin macerace berarti mengairi dan melunakkan. Selama maserasi, dinding dan membran sel bahan pecah akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena lama perendaman dapat diatur. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi melalui cara memerhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut (Umar dkk, 2012).
Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Fauzi, 2013). Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan bahan terhadap cairan pelarut, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Parhusip, 2014).
Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti. Lama maserasi pada umumnya adalah 1-3 hari (Parekh et al., 2015). Menurut Parhusip (2014), maserasi akan lebih efektif jika dilakukan proses pengadukan secara berkala karena keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Melalui usaha ini diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat masuk ke dalam cairan pengekstrak. Rao et al. (2011) menjelaskan bahwa maserasi dilakukan dalam bejana bermulut lebar, serbuk ditempatkan di dalam bejana lalu ditambah pelarut dan ditutup rapat, isinya dikocok berulang-ulang dan disaring. Proses ini dilakukan pada temperatur 15-20oC selama 24 jam.
2.    Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna (exhaustiva extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Parhusip, 2014). Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori (Istiqomah, 2013). Proses terdiri dari tahap pengembahan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus hingga diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Parekh et al., 2015).

b.  Cara Panas
1.    Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehinga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Ridawati dkk, 2008).
2.    Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Haq dan Ali, 2007). Biomassa ditempatkan dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui alat ini pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya kedalam labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Ekstraksi berlangsung sangat efisien dan senyawa dari biomassa secara efektif ditarik kedalam pelarut karena konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut (Zamarel dan Risfaheri, 2015)
3.    Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur ruangan yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Fauzi, 2013). Proses pengekstraksian ini hampir sama dengan maserasi tetapi menggunakan pemanasan pada suhu 30˚-40˚C. Cara ini digunakan untuk sampel pada suhu biasa tidak tersari dengan baik. Jika pelarut yang digunakan mudah larut pada suhu kamar maka dapat digunakan alat pendingin tegak (Prasetiyo, 2015).
4.    Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC selama 15-20 menit (Prasetiyo, 2015). Keunggulan dari metode infus adalah alat yang dipakai sederhana dan biaya operasionalnya rendah (Fauzi, 2013). Kelemahan metode infus yaitu tidak dapat digunakan pada sampel yang mengandung albumin karena zat yang mengandung albumin akan menggumpal dan mempersulit penarikan (ekstraksi) bahan yang diinginkan.
Metode infus digunakan untuk mengekstraksi simplisia yang tidak tahan pemanasan lama (DEPKES RI, 1989). Metode infus telah digunakan untuk mengekstrak senyawa kimia dari daun jambu biji (Psidii folium) (Sukardi dkk, 2007), senyawa antioksidan dari buah jambu air (Eugena aquae Born), jambu biji (Psidium guajava Linn), jambu mete (Anacardium accidentale Linn), dan langsep (Lansium domesticum Corr). (Suradikusumah, 2008).
5.  Dekok
Dekok ekstraksi/penyarian bahan selama 30 menit dengan suhu dari 90-98oC. Perbedaan dekok dengan infus adalah metode ekstraksi dekok diperuntukkan untuk simplisia keras, bahan yang tidak mengandung minyak atsiri dan tahan terhadap pemanasan sedangkan metode ekstraksi infus digunakan untuk simplisia yang lunak, yang mengandung minyak atsiri dan bahan yang tidak tahan panas (Zamarel dan Risfaheri, 2015).

2.6.2     Faktor yang Mempengaruhi Proses Ekstraksi
Ekstraksi adalah metode pemisahan komponen terlarut dalam suatu campuran dari komponen tidak terlarut menggunakan pelarut yang sesuai (Ridawati dkk, 2008). Proses ekstraksi yang dilakukan sangat mempengaruhi kualitas mutu yang dihasilkan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi yaitu sebagai berikut:

a.   Ukuran Bahan
Ukuran bahan yang sesuai akan menjadikan proses ekstraksi berlangsung baik dan tidak memakan waktu lama. Ukuran bahan juga harus diusahakan seragam. Apabila tidak, bahan dengan ukuran kecil akan menempati celah-celah yang terbentuk antara bahan yang berukuran lebih besar. Dengan demikian kontak antara pelarut dengan bahan menjadi tidak efektif (Parekh et al., 2015). Kehalusan bubuk yang sesuai akan menghasilkan ekstrak yang sempurna dalam waktu singkat. Sebaliknya bahan yang digiling terlalu halus dapat menyebabkan pemampatan (stanasi) pada proses ekstraksi tidak maksimal (Parhusip, 2014).
Besar ukuran bahan yang umumnya digunakan untuk proses ekstraksi adalah 50-60 mesh. Ukuran bahan maksimal yang masih berhasil baik dalam skala laboratorium adalah ukuran 30 mesh dan ukuran minimalnya yaitu 60 mesh (Winata, 2013). Magdalena (2015) memperkuat bahwa ukuran bubuk daun gambir yang baik adalah 60 mesh. Hasil penelitian Istiqomah (2013) menunjukkan bahwa ukuran bubuk daun gambir masih layak digunakan untuk proses ekstraksi.

b.  Pelarut
Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah zat aktif yang diinginkan semaksimal mungkin dan seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (DEPKES RI, 1989). Jenis pelarut yang digunakan merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah daya yang melarutkan bahan, titik didih, toksisitas, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif (Haq dan Ali, 2007).
Istiqomah (2013) melakukan penelitian menggunakan aquades untuk mengekstrak senyawa fenolik dari daun gambir. Magdalena (2015) menyatakan, penggunaan aquades sebagai pelarut dikarenakan harga yang murah, ketersediaan yang melimpah dan konstanta dielektrik yang lebih tinggi dibandingkan heksana, aseton, dan etanol. Naufalin (2015) menambahkan bahwa aquades merupakan pelarut dengan kepolaran tertinggi sehingga sangat baik untuk mengekstrak fenol yang bersifat polar.

c.   Lama dan Suhu Ekstraksi
Suhu yang digunakan untuk mengekstrak bahan tidak boleh terlalu tinggi karena akan menyebabkan komponen yang mudah menguap akan terdekomposisi. Sesuai dengan P3GI (2008), ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi tetapi pada batas tertentu. Hal ini diperkuat oleh Miron and Schaffer (2010), bahwa proses pemanasan melebihi 100oC akan menyebabkan degradasi komponen. Menurut Fauzi (2013), ekstraksi yang baik dilakukan pada kisaran suhu 30-50oC tergantung zat terlarut yang diinginkan. Suradikusumah (2008) mengekstrak komponen antioksidan dari jambu air menggunakan suhu 85oC, sedangkan Ajizah (2004) mengekstrak flavonoid dari daun jambu biji menggunakan suhu 90oC.
            Semakin lama waktu ekstraksi, kesempatan kontak bahan dengan pelarut juga semakin besar sehingga hasilnya juga akan bertambah hingga titik jenuh larutan. Namun waktu ekstraksi yang terlalu lama  akan menyebabkan ekstrak menurun yang disebabkan karena larutan sudah melewati titik jenuh (Wang, 2014).

2.7 Antimikroba
Antimikroba merupakan suatu senyawa yang membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Verma et al., 2012). Antimikroba terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya antibakteri dan antifungal (Amalia dkk, 2015). Senyawa antimikroba yang berasal dari tanaman sebagian besar diketahui merupakan metabolit sekunder tanaman, terutama dari golongan fenolik dan terpen dalam minyak atsiri (Untara, 2011).
Sebagian besar metabolit sekunder dibiosintesis dari banyak metabolit primer seperti asam-asam amino, asetil ko-A, asam mevalonat, dan metabolit antara (Roslizawaty dkk, 2013). Selain itu, beberapa senyawa yang bersifat antimikroba alami berasal dari tanaman di antaranya adalah fitoaleksin, asam organik, minyak esensial (atsiri), fenolik dan beberapa kelompok pigmen tanaman atau senyawa sejenis (Widiyanti, 2006).

2.7.1 Metode Pengujian Antimikroba
Pengujian antimikroba adalah teknik untuk mengukur potensi atau konsentrasi suatu senyawa yang memberikan efek bagi mikroorganisme (Verma et al., 2012). Secara umum dikenal 3 metode utama untuk uji antimikroba yaitu difusi agar, dilusi dan bioautografi (Madigan et al., 2013).

a.   Metode Difusi
Metode difusi umum di gunakan di laboratorium (Widiyanti, 2006). Metode ini mempunyai prinsip penetapannya yaitu mengukur luas diameter daerah hambatan pertumbuhan mikroba (Untara, 2011). Terdapat beberapa jenis metode difusi diantaranya yaitu:


1.    Metode Disc Diffusion (tes Kirby-Bauer)
Metode difusi agar Kirby-Bauer adalah salah satu metode pengujian kerentanan mikroba terhadap antimikroba atau sering juga dinamakan uji daya hambat. Metode ini digunakan untuk menentukan resistensi atau sensivitas bakteri aerob dan fakultatif anaerob terhadap bahan kimia tertentu (Tamio et al., 2014). Metode difusi agar dilakukan dengan bahan uji yang telah dilarutkan dalam pelarut yang sesuai dimasukkan kedalam sumuran atau diteteskan pada paper disk kemudian ditanam dalam medium padat yang telah berisi mikroba uji. Setelah inkubasi diamati adanya zona hambat di sekitar sumuran atau paper disk. Kemampuan bahan uji menghambat bakteri uji ditandai dengan terbentuknya zona jernih/bening disekitar cakram uji dan dievaluasi : zona hambat ≥ 20 mm dianggap sebagai daya hambat sangat kuat, 10-20 mm daya hambat kuat, 5-10 mm daya hambat sedang, dan <5 mm daya hambat lemah (Suradikusumah, 2008).
2.    E-test
Metode e-test dapat digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar Hambat Minimum) (Madigan et al., 2013). Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah sampai tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar (Sukardi dkk, 2007).
3.    Ditch-Plate Technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba tersebut (Widiyanti, 2006).
4.    Cup-Plate Technique
Metode ini serupa dengan disc diffusion, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji (Sudarmadji dkk, 2009).


b.  Metode Dilusi
Metode dilusi adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui potensi suatu senyawa terhadap aktifitas mikroba dengan menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) (Tamio et al., 2014). Metode ini menggunakan medium cair dan hambatan pertumbuhan mikroba uji yang diukur dengan menentukan kekeruhan larutan secara visual atau dengan alat seperti spektofotometer (Sudarmadji dkk, 2009).
Metode ini biasanya digunakan untuk menetukan nilai MIC (minimum inhibition concentration), konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba uji metode dilusi dilakukan dengan mencampur sampel, mikroba uji dan media inokulasi dengan beberapa variasi pengenceran (Lay, 2012). Aktivitas yang diamati dengan kontrol tanpa adanya bahan uji. Microplate titer assay menggunakan prinsip dalam metode dilusi tapi dengan skala yang lebih kecil (100-250μL) (Rahayu dkk, 2011).
1.    Metode dilusi cair
Metode dilusi cair digunakan untuk mengukur KHM (Kadar Hambat Minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa ada pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18-28 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Lay, 2012).
2.    Metode dilusi padat
Metode dilusi padat digunakan untuk mengukur KBM (Kadar Bunuh Minimum). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium padat yang ditambahkan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat tanpa pada pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KBM. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Rahayu dkk, 2011).

c.   Metode Hitungan Cawan
Prinsip dari metode hitungan cawan adalah jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar dan diinkubasi. Sel mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni selama inkubasi yang dapat dilihat langsung tanpa menggunakan mikroskop dan (Roslizawaty dkk, 2013).

2.7.2 Mikroba Uji yang Digunakan
Mikroba uji yang digunakan merupakan mikroba yang dominan terdapat dalam nira tebu dan menyebabkan kerusakan nira tebu akibat reaksi inversi. Mikroba tersebut yaitu bakteri dan khamir. Hal ini mengacu pada Harsono (2012), bahwa mikroorganisme yang paling banyak terdapat pada nira tebu yaitu dari jenis bakteri dan khamir.

2.7.2.1 Bakteri

a.   Karakteristik Bakteri
Bakteri adalah sel prokariotik yang khas, uniselular dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Bakteri dapat dibedakan dari ukuran, susunan, dan responnya terhadap antibakteri. Bentuk sel bakteri meliputi kokus (bulat), basil (batang), spirilum (spiral), filamen (Ridawati dkk, 2008).
Kelompok bakteri terdiri dari organisme prokariot patogen dan nonpatogen yang terdapat di daratan dan perairan, serta organisme prokariot yang bersifat fotoautotrof (Guimaraes et al., 2009). Spesies bakteri dapat dibedakan berdasarkan morfologi (bentuk), komposisi kimia (umumnya dideteksi dengan reaksi biokimia), kebutuhan nutrisi, aktivitas biokimia, dan sumber energi (sinar matahari atau bahan kimia) (Kulkarni and Wayne, 2007).

b.  Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan mikroba adalah peningkatan semua komponen sel, sehingga menghasilkan peningkatan ukuran sel dan jumlah sel (kecuali mikroba yang berbentuk filamen) akan menyebabkan peningkatan jumlah individu didalam populasi (Guimaraes et al., 2009). Inokulum hampir selalu mengandung ribuan organisme, pertumbuhan menyatakan pertambahan jumlah atau massa melebihi yang ada di dalam inokulum asalnya (Ridawati dkk, 2008).

c.   Faktor Lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri
Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri diantaranya, yaitu:
1.    Suplai Nutrisi
Mikroba sama dengan makhluk hidup lainnya, memerlukan suplai nutrisi sebagai sumber energi dan pertumbuhan selnya. Suplai nutrisi tersebut adalah karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, zat besi dan sejumlah kecil logam lainnya (Guimaraes et al., 2009). Ketiadaan atau kekurangan sumber-suplai nutrisi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba hingga pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Kulkarni and Wayne, 2007).
2.    Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi pertumbuhan bakteri (Naidu, 2010). Suhu yang berkaitan dengan pertumbuhan bakteri digolongkan menjadi tiga, yaitu suhu minimum (suhu yang apabila berada di bawahnya maka pertumbuhan terhenti), suhu optimum (suhu dimana pertumbuhan berlangsung paling cepat dan optimum atau disebut juga suhu inkubasi), dan suhu maksimum yaitu suhu yang apabila berada di atasnya maka pertumbuhan tidak terjadi) (Fellow, 2010). Sehubungan dengan penggolongan suhu diatas, maka mikroba digolongkan menjadi lima kelompok sebagai ditunjukkan pada Tabel 2.5 berikut:

Tabel 2.5 Penggolongan mikroba berdasarkan suhu
No
Kelompok
Suhu Minimum (oC)
Suhu Optimum (oC)
Suhu Maksimum (oC)
1
Psikrofil
-15
10
20
2
Psikotrof
-1
25
35
3
Mesofil
5-10
30-37
40
4
Termofil
40
45-55
60-80
5
Termotrof
15
42-46
50
Sumber: Fellow (2010)

3.    Keasaman atau Kebasaan (pH)
Setiap organisme memiliki kisaran pH masing-masing dan memiliki pH optimum yang berbeda-beda (Amaya et al., 2009). Kebanyakan mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran pH 8,0-8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0 sampai 10,0 biasanya bersifat merusak (Childs and Chabot, 2016).
4.    Ketersediaan Oksigen
Mikroorganisme memiliki karakteristik yang berbeda dalam kebutuhannya akan oksigen. Menurut Rao et al. (2011) mikroorganisme dalam hal ini digolongkan menjadi:
1.    Aerobik                     : hanya dapat tumbuh apabila ada oksigen bebas.
2.    Anaerob                    : hanya dapat tumbuh apabila tidak ada oksigen bebas.
3.    Anaerob fakultatif     : dapat tumbuh baik dengan atau tanpa oksigen bebas.
4.    Mikroaerofilik            : dapat tumbuh apabila ada oksigen dalam jumlah kecil.

2.7.2.2 Khamir
Khamir merupakan mikroorganisme bersel tunggal, biasanya berbentuk bulat atau elips dengan diameter bervariasi antara 3 μm sampai 15 μm (DeConinck et al., 2012). Kebanyakan khamir bereproduksi dengan pertunasan. Beberapa spesies khamir membentuk tunas yang gagal melepaskan diri dari induknya dan memanjang. Proses pertunasan terus menerus akan menghasilkan rantai sel khamir memanjang yang disebut pseudohifa (Filianty dkk, 2007). Koloni khamir biasanya lembut, keabuan, berukuran 1-3 mm, dan berwarna putih kekuningan. Karena kebanyakan morfologi dari khamir memiliki bentuk mikroskopik yang mirip, spesies khamir diidentifikasi berdasarkan uji fisiologis dan beberapa perbedaan morfologi khusus (Skowronek et al., 2013).
Khamir adalah organisme kemoheterotrof yang memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya (sumber karbon dan energi), tumbuh lebih baik pada lingkungan dengan pH sekitar 5, bersifat anaerob fakultatif, lebih resisten terhadap tekanan osmosis dibandingkan bakteri, serta dapat tumbuh pada zat dengan kelembaban sangat rendah (Lakshmanan et al., 2009). Khamir bereproduksi secara aseksual dengan pembentukan tunas. Pada saat pertumbuhan tunas, sel akan tumbuh dari penonjolan kecil pada sel induk (DeConinck et al., 2012).
Pada pertumbuhan di fase vegetatif khamir mampu memproduksi spora yang akan meningkatkan kemampuannya dalam bertahan hidup (Lemmens dan Soetjipto, 2009). Spora yang sudah matang dan siap untuk disebarkan bersifat lebih tahan terhadap kondisi ekstrim dan akan tumbuh ketika kondisi pertumbuhannya terpenuhi (Downes and Ito, 2011).

2.7.3 Media Pertumbuhan Mikroba
Nutrien agar (NA) adalah medium umum digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Media ini merupakan media sederhana yang dibuat dari beef extract 10 g, pepton 10 g, NaCl 5 g, aquades 1.000 ml dan 15 g agar/L. NA merupakan salah satu media yang umum digunakan dalam prosedur bakteriologi seperti uji biasa dari air, produk pangan, untuk membawa stok kultur, untuk pertumbuhan sampel pada uji bakteri, dan untuk mengisolasi organisme dalam kultur murni (Filianty dkk, 2007). Nutrient broth merupakan media pertumbuhan bakteri yang dibuat dari beef extract, Natrium klorida (NaCl), yeast extract, dan tripton (DEPKES RI, 1989).
Potato Dextrose Agar (PDA) digunakan untuk menumbuhkan atau mengidentifikasi yeast dan kapang. PDA mengandung sumber karbohidrat dalam jumlah cukup yaitu terdiri dari 20% ekstrak kentang dan 2% glukosa sehingga baik untuk pertumbuhan kapang dan khamir tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri (Wuryantoro dan Susanto, 2013). Potato Dextrose Broth (PDB) adalah  media cair yang digunakan untuk isolasi dan pertumbuhan kapang dan khamir. PDB mengandung ekstrak kentang 200.000 Gms/liter dan dekstrosa 20.000 Gms/liter (Downes and Ito, 2011).

2.7.4 Antimikroba dan Jenisnya
Antimikroba adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Berdasarkan jenis mikroorganisme yang dimatikan atau dihambat pertumbuhannya, antimikroba terbagi menjadi antibakteri, antifungal, antivirus dan antiprotozoa (Lakshmanan et al., 2009). Menurut Sukardi (2007), zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh jamur), fungistatik (menghambat pertumbuhan khamir). DeConinck et al. (2012) menambahkan, penghambatan aktivitas antimikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat disebabakan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktifasi enzim metabolik, dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.
Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: (1) konsentrasi zat antimikroba, (2) suhu lingkungan, (3) waktu penyimpanan, (4) sifat-sifat mikroba, meliputi jenis, jumlah, umur, dan keadaan mikroba, (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis, dan jumlah senyawa di dalamnya (DeConinck et al., 2012).
Kriteria ideal suatu antimikroba antara lain harus memiliki sifat aman, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan flavor, citarasa dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena adanya komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Downes and Ito, 2011). Berdasarkan sifat toksisitas selektif (daya kerjanya), antimikroba mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikroba (Kavitha et al., 2012). Ketiga efek tersebut yaitu:
a.   Bakteriostatik dan Fungistatik
Antimikroba yang memberikan efek menghambat pertumbuhan mikroorganisme tetapi tidak membunuh, termasuk ke dalam kelompok antimikroba bakteriostatik (Madigan et al., 2013). Antimikroba baktriostatik menghambat sintesis protein atau mengikat ribosom. Hal ini dapat ditunjukkan melalui penambahan antimikroba pada kultur mikroba yang berada pada fase logaritmik (Jayanudin dkk, 2014). Penambahan antimikroba pada fase logaritmik menyebabkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap selama waktu inkubasi (Moat et al., 2012).
b.  Bakteriosidal dan Fungisidal
Efek antimikroba yang dapat membunuh sel tetapi tidak menyebabkan lisis sel adalah antimikroba kelompok bakteriosidal (Madigan et al., 2013). Hal ini dapat ditunjukkan melalui penambahan antimikroba pada kultur mikroorganisme yang berada pada fase logaritmik. Penambahan antimikroba pada fase logaritmik menyebabkan jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup berkurang (Jayanudin dkk, 2014).
c.   Bakteriolitik dan Fungilitik
Efek antimikroba yang dapat menyebabkan sel menjadi lisis sehingga jumlah sel total berkurang dikelompokkan sebagai antimikroba bakteriolitik (Madigan et al., 2013). Hal ini dapat ditunjukkan melalui penambahan antimikroba pada kultur mikroorganisme yang berada pada fase logaritmik. Penambahan antimikroba pada fase logaritmik menyebabkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup berkurang (Moat et al., 2012).

2.7.5 Perhitungan Jumlah Sel
Perhitungan jumlah sel sangat penting untuk menentukan pengaruh antimikroba terhadap sel hidup maupun sel total mikroorganisme (Jayanudin dkk, 2014). Menurut Ajizah (2004), jumlah sel total dihitung menggunakan metode perhitungan langsung (direct method) dan perhitungan tidak langsung (indirect method). Naidu (2010) menambahkan bahwa metode hitungan langsung yaitu Petroff-Hauser, Total Plate Count (TPC), filter membrane (miliphore filter). Sedangkan metode hitungan tidak langsung terbagi menjadi metode Most Probable Number (MPN) dan metode turbidimetri.
Setiap metode mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut Naufalin (2015), kelebihan dari metode hitungan langsung yaitu semua sel mikroba, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati, akan terhitung secara langsung. Hasil penelitian Parekh et al. (2015) menyebutkan bahwa kelemahan lainnya yaitu sel mikroba yang berukuran kecil sulit dilihat di bawah mikroskop sehingga tidak terhitung, dan jumlah sel mikroba dalam suspensi harus cukup tinggi (minimal 106 sel /ml untuk bakteri) karena dalam setiap bidang pandang yang diamati harus terdapat sejumlah sel yang dapat dihitung.
Metode hitungan tidak langsung memiliki kelebihan yaitu dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi bakteri (Amalia dkk, 2015), dan bakteri yang dihitung adalah bakteri yang hidup (Srivastava et al., 2006). Sedangkan kekurangannya yaitu perhitungannya kurang akurat karena ada kemungkinan beberapa sel bertumpuk, penyebaran koloni tidak rata, waktu yang dibutuhkan cukup lama, dan bahan yang digunakan relatif banyak (Fauzi, 2013).

No comments:

Post a Comment

CATATAN BIOAKTIF DAN SINDROM METABOLIK

SINDROM METABOLIK 1.        Obesitas menyebabkan inflamasi, hipertensi, resistensi insulin . Kemudian menyebabkan DM 2, penyakit kardi...