Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya dan medan elektromagnetik sebagai lensanya untuk melihat sampel hingga skala mikro dan nano (Voutou and Stefanaki, 2008). SEM menggambarkan permukaan sampel melalui pemindaian menggunakan pancaran energi tinggi dari elektron dalam pola scan raster (Sujatno dkk, 2015). SEM dilengkapi dengan mikroskop optik yang digunakan untuk mengamati tekstur, topografi, dan sifat permukaan bubuk atau padatan. Gambar yang dihasilkan SEM yaitu tiga dimensi (Faridah dkk, 2014). Selain itu, informasi yang diberikan SEM berupa topologi, morfologi, komposisi, dan informasi mengenai kekristalan benda (Setiani dkk, 2013). Karena itu, SEM dapat digunakan untuk uji mikrostruktur (termasuk porositas dan bentuk retakan) benda padat (Faridah dkk, 2014).
Prinsip kerja SEM adalah deteksi elektron yang dihamburkan oleh suatu sampel padatan ketika ditembak oleh berkas elektron berenergi tinggi secara kontinyu yang
dipercepat di dalam electromagnetic coil yang dihubungkan dengan cathode ray tube (CRT) sehingga dihasilkan suatu informasi mengenai keadaan permukaan suatu sampel (Voutou and Stefanaki, 2008). Skematik prinsip kerja SEM dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Skematik prinsip kerja SEM (Sampson, 1996)
Hasil yang dapat terlihat di layar CRT (Voutou and Stefanaki, 2008), yaitu :
a. Morfologi, yaitu bentuk dan ukuran dari partikel penyusun objek
b. Komposisi, yaitu data kuatitatif unsur dan senyawa yang terkandung di dalam objek. Jika dikombinasikan dengan sistem EDX/EDS (Energy Dispersive XRay/ Energy Dispersive Specstroscopy)
c. Informasi kristalografi, yaitu informasi mengenai bagaimana susunan dari butir-butir di dalam objek yang di amati.
3. Mekanisme Kerja
a. Morfologi, yaitu bentuk dan ukuran dari partikel penyusun objek
b. Komposisi, yaitu data kuatitatif unsur dan senyawa yang terkandung di dalam objek. Jika dikombinasikan dengan sistem EDX/EDS (Energy Dispersive XRay/ Energy Dispersive Specstroscopy)
c. Informasi kristalografi, yaitu informasi mengenai bagaimana susunan dari butir-butir di dalam objek yang di amati.
Cara kerja SEM yaitu elektron yang dihasilkan berasal dari tembakan electron gun, yang bersifat monokromatik, dimana pancaran dari elektron tersebut melewati condencing lenses lalu diteruskan ke anoda. Pada tahap ini, elektron diarahkan menuju titik fokus. Anoda berfungsi membatasi pancaran elektron yang memiliki sudut hambur yang terlalu besar. Berkas elektron yang telah melewati anoda diteruskan menuju lensa magnetik, scanning coils, dan akhirnya menembak sampel (Setiani dkk, 2013). Berkas elektron tersebut kemudian difokuskan oleh lensa magnetik sebelum sampai pada permukaan sampel. Lensa magnetik memiliki lensa kondenser yang berfungsi memfokuskan sinar elektron. Berkas elektron kemudian menghasilkan backscattred Electron (BSE) dan Secondary Electron (SE) menuju sampel, dimana SE akan terhubung dengan amplifier yang kemudian dihasilkan gambar pada monitor (Voutou and Stefanaki, 2008).
Secara keseluruhan, pada SEM, elektron dikonsentrasikan pada sampel kemudian bayangannya diperbesar menggunakan detektor sekunder atau detektor backscatter dan diproyeksikan pada layar. Gambar yang dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai topografi (Kartikasari dkk, 2016). Intensitas backscattred Electron (BSE) tergantung pada nomor atom unsur yang ada pada permukaan sampel.
4. Gambar dan Komponen SEM
Gambar 2. Blok diagram SEM
SEM tersusun dari tiga komponen utama (Voutou and Stefanaki, 2008), yaitu:
a. Electron Gun
a. Electron Gun
Electron gun merupakan sumber elektron dari bahan kawat tungsten atau berupa jarum dari paduan Lantanum Hexaboride LaB6 atau Cerium Hexaboride CeB6, yang dapat menembakkan berkas elektron yang bersifat monokromatik. Electron gun terdiri dari dua jenis yaitu thermal emission dan field emission.
Tabel 1. Karakteristik dari sumber electron gun
Parameters Units Tungsten LAB6 FEG
Operating temperature K 2700 1700 300
Current Density A/m2 5x104 106 1010
Crossover size ϥm 50 10 <0 .01="" 0.3="" 1.5="" 10-2="" 10-4="" 10-8="" 100="" 3="" 500="" 5="" energy="" ev="" hr="" lifetime="" pa="" spread="" stability="" vacuum="">1000
0>
Pada thermal emission, energi luar yang masuk ke bahan ialah dalam bentuk energi panas. Oleh elektron, energi panas ini diubah menjadi energi kinetik. Semakin besar panas yang diterima oleh bahan maka akan semakin besar pula kenaikan energi kinetik yang terjadi pada elektron, dengan semakin besarnya kenaikan energi kinetik dari elektron maka gerakan elektron menjadi semakin cepat dan semakin tidak menentu. Pada situasi inilah akan terdapat elektron yang pada ahirnya terlepas keluar melalui permukaan bahan.
Pada field emission, yang menjadi penyebab lepasnya elektron dari bahan ialah adanya gaya tarik medan listrik luar yang diberikan pada bahan. Pada katoda yang digunakan pada proses emisi ini dikenakan medan listrik yang cukup besar sehingga tarikan yang terjadi dari medan listrik pada elektron menyebabkan elektron memiliki energi yang cukup untuk lompat keluar dari permukaan katoda. Thermal emission dan Field emission dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
Gambar 3. Thermal emission (kiri) Field emission (kanan)
b. Lensa Elektromagnetik
Tiga pasang lensa elektromagnetik berfungsi memfokuskan berkas elektron menjadi sebuah titik kecil, lalu oleh dua pasang scan coil discan-kan dengan frekuensi variabel pada permukaan sampel. Semakin kecil berkas difokuskan maka semakin besar resolusi lateral yang dicapai. Kesalahan fisika pada lensa-lensa elektromagnetik berupa astigmatismus dikoreksi oleh perangkat stigmator. SEM tidak memiliki sistem koreksi untuk kesalahan aberasi lainnya. Lensa elektromagnetik dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:
Gambar 4. Lensa Elektromagnetik
c. Imaging Detector
Imaging detector berfungsi mengubah sinyal elektron menjadi gambar/image. Sesuai dengan jenis elektronnya, terdapat dua jenis detektor dalam SEM ini, yaitu detektor SE dan detektor BSE. Untuk menghindari gangguan dari molekul udara terhadap berkas elektron, seluruh jalur elektron (column) divakum hingga 10-6 torr. Tetapi kevakuman yang tinggi menyebabkan naiknya sensitifitas pendeteksian alat terhadap non-konduktifitas, yang menyulitkan analisis pada bahan bahan
non-konduktif, seperti keramik dan oksida. Untuk mengatasi hal tersebut SEM ini
memiliki opsi untuk dapat dioperasikan dengan vakum rendah, yang disebut Low Vaccum Mode. Dengan teknik low vaccum kita bahan non konduktif dapat dianalisa. Tekanan pada mode ini berkisar antara 30 hingga 70Pa.
Gambar 5. Secondary Electron Detector (atas) dan Backscattered Electron Detector (bawah)
Penggunaan backscattered electron menunjukkan hasil pemindaian yang lebih baik dibandingkan menggunakan secondary electron. Perbedaan kenampakan dari penggunaan elektron detektor tersebut dapat dilihat dari perbandingan gambar berikut :
Gambar 7. Perbedaan kenampakan dari penggunaan elektron detektor
5. Jenis Sampel yang bisa diamati
Sampel yang dapat diuji menggunakan SEM dapat berupa padatan yang kering. Sampel disimpan dalam ruang ampel yang disebut stub spesimen menggunakan penjepit mekanik. Sampel yang digunakan harus bersifat konduktif listrik (minimal di permukaanya) untuk mencegah akumulasi muatan elektrostatik. Hal ini karena sampel non konduktif cenderung bermuatan ketika dipindai oleh elektron, terutama elektron sekunder. Hal ini akan menyebabkan kesalahan pemindaian. Pada material non konduktif, perlu dilapisi lapisan ultra tipis pengkonduksi listrik (memiliki kemampuan konduktivitas listrik). Pelapis yang dapat digunakan yaitu logam dengan kondiktivitas baik diantaranya yaitu emas, kombinasi emas dengan paladium, platina, osmium, iridium, tungsten, kromium, dan grafit (Anggraeni, 2008). pelapisan dengan logam berat dapat meningkatkan rasio sinyal/bising bagi sampel dengan nomor atom rendah (Verosub and Roberts, 1995).
6. Langkah Pengujian
Langkah-langkah melakukan pengujian menggunakan SEM yaitu:
1. Mempersiapkan sampel uji yang akan di SEM
2. Membersihkan permukaan sampel uji
3. Meletakkan sampel uji pada holder dengan menempelkan karbon tipe
terlebih dahulu sebagai perekat
4. Memasukkan sampel uji kedalaman mesin SEM
5. Hasil yang diperoleh akan ditampilkan di layar komputer
7. Preparasi Sampel
Menurut Sujatno dkk (2015), saat ini telah tersedia jenis SEM yang tidak memerlukan preparasi coating sampel. Namun pada jenis SEM yang memerlukan preparasi sampel, terdapat tiga tahap persiapan sampel, antara lain sebagai berikut:
a. Seluruh kandungan air, larutan dan komponen mudah menguap apabila divakum harus dibersihkan.
b. Selanjutnya sampel dikeringkan pada suhu 60ºC minimal selama 1 jam.
c. Terakhir, sampel jenis non logam harus dilapisi dengan emas tipis. Sedangkan sampel logam dapat langsung dimasukkan kedalam tempat sampel.
Sistem penyinaran dan lensa pada SEM sama dengan mikroskop cahaya biasa. Pada pengamatan menggunakan SEM, lapisan sampel harus bersifat konduktif agar dapat memantulkan berkas elektron dan mengalirkannya ke ground. Bila sampel tidak bersifat konduktif maka perlu dilapisi dengan emas.
8. Mekanisme Munculnya Gambar
Cara terbentuknya gambar pada SEM berdasarkan deteksi elektron sekunder atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut discan dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor CRT (cathode ray tube). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar bisa dilihat dari sudut pandang 3 dimensi (Anggraeni, 2008).
Secara spesifik, ketika berkas elektron discan pada permukaan sampel, terjadi interaksi elektron dengan atom-atom di permukaan maupun di bawah permukaan sampel. Seperti terlihat pada Gambar 7, akibat interaksi tersebut sebagian besar berkas elektron berhasil keluar kembali, elektron-elektron tersebut disebut sebagai Backscattered Electrons (BSE), sebagian kecil elektron masuk ke dalam bahan kemudian memindahkan sebagian besar energi pada elektron atom sehingga terpental ke luar permukaan bahan, yaitu Secondary Electrons (SE). Pembentukan elektron-elektron sekunder selalu diikuti proses munculnya X-ray yang karakteristik untuk setiap elemen, sehingga dapat digunakan untuk mengukur kandungan elemen yang ada di dalam bahan yang diteliti (Sujatno dkk, 2015).
Gambar 7. Skema interaksi antara bahan dan
elektron di dalam SEM (Sujatno dkk, 2015)
Proses pembentukan BSE terjadi pada atom-atom di bagian permukaan sampel yang lebih dalam. Ini disebabkan tumbukan antara elektron dari sumber dengan inti atom, seperti
ditunjukan pada Gambar 8. Karena massa proton yang membentuk inti hingga 2000 kali lebih besar dari elektron, maka setiap tumbukan akan menyebabkan terpentalnya sebagian besar elektron ke arah 180o. Artinya, sebagian akan dipantulkan kembali ke arah dimana mereka datang yaitu ke luar permukan bahan. Elektron-elektron BSE ini membawa
informasi tentang atom-atom yang ditumbuknya beserta ikatannya dalam fasa. Sehingga kontras pada image yang terbentuk dari elektron-elektron BSE dalam batas-batas
tertentu dapat dipandang sebagai kontras fasa (Sujatno dkk, 2015).
Gambar 8. Proses terbentuknya BSE (Sujatno dkk, 2015)
Jika elektron sumber dalam perjalanannya di dalam bahan hanya melewati awan elektron atau orbital sebuah atom maka elektron tersebut dapat saja memindahkan
sebagian energi kinetiknya kepada satu atau lebih elektron pada orbit tersebut. Elektron itu
akan menjadi tidak stabil dan dalam kondisi tereksitasi sehingga meninggalkan posisinya
dan keluar dari permukaan bahan, maka elektron tersebut dikenal sebagai secondary electron (SE) atau elektron sekunder, Gambar 9. Karena elektron-elektron SE memiliki energi yang rendah, maka hanya elektron-elektron yang berada atau sangat dekat permukaan bahan saja yang dapat lolos ke luar. Dengan bantuan detektor khusus elektron SE dapat dimanfaatkan untuk membentuk image morfologi permukaan bahan dengan baik. Struktur permukaan berikut ciri-cirinya, seperti batas butir, edge, porositas, puncak atau lembah akan terlihat lebih detil dengan resolusi yang lebih tinggi dibanding BSE (Sujatno dkk, 2015).
Gambar 9. Proses pembentukan SE dan X-ray (Sujatno dkk, 2015)
9. Aplikasi SEM di Berbagai Bidang
Saat ini, pemindaian mikroskop elektron digunakan di berbagai bidang termasuk di bidang pangan. SEM digunakan untuk menghasilkan gambar dengan resolusi yang tinggi (Kartikasari dkk, 2016).
a. Analisis Morfologi Permukaan Edible Film (Setiani dkk, 2013)
Penggunaan SEM pada penelitian ini yaitu untuk menganalisa morfologi permukaan edible film untuk pembuatan plastik biodegradable. Hasilnya ditunjukkan bahwa masih terdapat pori dan retakan pada edible film. Hasil analisis morfologi permukaan edible film tersebut dapat dilihat pada gambar 10 berikut:
Gambar 10. Penampang edible film dengan perbesaran 5000X
b. Karakteristik Sifat Fisik Pati Garut (Faridah dkk, 2014)
Pada penelitian ini SEM digunakan untuk mengamati bentuk granula pati garut dimana terlihat penampakan birefrigence-nya. Adanya penampakan birefringence ini
menunjukkan bahwa pati garut hasil ekstraksi belum mengalami gelatinisasi (Tester dan Karkalas 2002), bentuk granula pati garut berbentuk oval dengan ukuran rata-rata granula sebesar 50-60,0 µm. Karakteristik fisik permukaan edible film tersebut dapat dilihat pada gambar 11 berikut:
Gambar 11. Struktur granula pati garut menggunakan SEM dengan perbesaran (a) 500X dan (b) 800X
c. Analisis Mikrostruktur Bakso Sapi (Dewi dan Widjanarko, 2015)
Pada penelitian ini SEM digunakan untuk mengetahui perbandingan antara mikrostruktur bakso sapi perlakuan terbaik dan bakso sapi perlakuan kontrol. Hasil Scanning Electron Microscopy (SEM) menunjukkan bahwa pada perlakuan terbaik secara fisik yaitu bakso sapi dengan proporsi porang 5% : tepung tapioka 27% dan penambahan NaCl 6% memberikan perbedaan terhadap bakso kontrol (bakso sapi tanpa porang, tapioka 32%, STPP 0.30% dan NaCl 3%) terutama pada tekstur. Hasil analisa SEM dapat dilihat pada gambar 12 berikut:
Gambar 12. Mikrostruktur Bakso Sapi Kontrol dan Perlakuan Terbaik Perbesaran 500X dan 1500X
Hasil analisa SEM menunjukkan bahwa bakso sapi perlakuan memiliki ukuran rongga pada matriks sel lebih kecil daripada bakso sapi kontrol. Semakin banyak dan semakin besar ukuran rongga yang terbentuk pada matriks 3 dimensi, menunjukkan matriks tebentuk kurang homogen dan kurang kompak sehingga tidak bisa menahan komponen komponen lain pada struktur bakso sapi (Purnomo and Rahardiyan, 2008).
d. Analisa Pati Termodifikasi (Kartikasari dkk, 2016)
Pada penelitian ini SEM digunakan untuk menganalisa morfologi pati termodifikasi berdasarkan lama fermentasi pada 0, 24, 48, dan 72 jam. Hasil analisa SEM dapat dilihat pada gambar 13 berikut:
Gambar 13. Morfologi Pati Termodifikasi dengan lama fermentasi (a) 0 jam, (b) 24jam, (c) 48 jam, dan (d) 72 jam dengan perbesaran 1500X menggunakan SEM
Hasil analisa SEM menunjukkan, semakin lama fermentasi maka granula mulai memisah dan tidak bergerombol serta mulai berlubang pada beberapa bagian granulanya. Menurut Subagio (2006) perubahan granula pati tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim sellulolitik yang mulai intensif dalam mendegradasi sellulosa dinding sel, sehingga dinding sel rusak dan granula pati mengalami liberasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, N. D. 2008. Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) dalam Pemantauan Proses Oksidasi Magnetite Menjadi Hematite. Seminar Nasional – VII Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri Kampus ITENAS - Bandung, 28-29 Oktober 2008. ISSN 1693-3168.Dewi, N. R., dan S. B. Widjanarko. 2015. Studi Proporsi Tepung Porang : Tapioka dan Penambahan NaCl Terhadap Karakteristik Fisik Bakso Sapi. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 3 p.855-864, Juli 2015.
Faridah, D., D. Fardiaz, N. Andarwulan, dan T. C. Sunarti. 2014. Karakteristik Sifat Fisikokimia Pati Garut (Maranta arundinaceae). AGRITECH, Vol. 34, No. 1, Februari 2014.
Kartikasari, S. N., P. Sari, dan A. Subagio. 2016. Karakterisasi Sifat Kimia, Profil Amilografi (RVA) dan Morfologi Granula (SEM) Pati Singkong Termodifikasi Secara Biologi. Jurnal Agroteknologi Vol. 10 No. 01 (2016).
Purnomo, H. and Rahardiyan, D. 2008. Review Article Indonesian Traditional Meatball. International Food Research Journal 15:2, 101-108
Setiani, W., T. Sudiarti, dan L. Rahmidar. 2013. Preparasi dan Karakterisasi Edible Film Dari Poliblend Pati Sukun-Kitosan. Valensi Vol. 3 No. 2, November 2013 (100-109). ISSN : 1978 – 8193.
Subagio, A. 2006. Ubi Kayu Substitusi Berbagai Tepung-Tepungan. Food Review, 1 (3): 18-22.
Sujatno. A., R. Salam, Bandriyana, dan A. Dimyati. 2015. Studi Scanning Electron Microscopy (SEM) Untuk Karakterisasi Proses Oxidasi Paduan Zirkonium. Jurnal Forum Nuklir (JFN), Volume 9, Nomor 2, November 2015.
Verosub, K. L., and A. P. Roberts. 1995. Environmental Magnetism Past, Present and Future. Journal of Geophysical Research 100, b2, 1995, 2175-2192
Voutou, B. and Stefanaki, E. C. 2008. Electron Microscopy The Basics. Physics of Advanced Materials Winter School, pp. 7-8.